Resesi Ekonomi Indonesia Sudah Di Depan Mata

Oleh : Rela Dika Fitriah

Sejak pertama kali muncul di Wuhan-China, hingga saat ini virus Corona menjadi pandemi dan belum bisa diatasi bahkan belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Di Indonesia, sejak diumumkan pemerintah pada awal Maret lalu virus ini terus menggila dan mewabah di hampir seluruh nusantara.

Meruaknya pandemi ini berdampak di berbagai sektor termasuk sektor ekonomi. Imbas dari pandemi menyebabkan pertumbuhan ekonomi Negara Singapura mengalami kemerosotan selama 2 kuartal berturut-turut yang mana pertumbuhan ekonomi Singapura bertumpu pada kegiatan ekspor. Pada kuartal I 2020, pertumbuhan ekonomi Singapura tercatat minus 0,7 persen. Lalu, pada Selasa (14/7) Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura (MTI) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Negera Singa anjlok 41,2 persen pada kuartal II 2020 (m.cnnindonesia.com 15/7/20).

Bukan tidak mungkin hal serupa akan terjadi di Negara tercinta Indonesia.  Melihat Indonesia juga terdampak pandemi sehingga pemerintah mengambil langkah-langkah strategis guna menekan penyebaran wabah, salah satu di antaranya adalah kebijakan PSBB yang menyebabkan beberapa kegiatan terbatas termasuk kegiatan ekonomi. Namun selang beberapa pekan, kebijakan PSBB dilonggarkan bahkan diberlakukan kebijakan baru yaitu "New Normal". 

New Normal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengembalikan kestabilan ekonomi Indonesia akibat pandemi. Sayangnya, kebijakan yang diambil pemerintah dapat menyebabkan masalah baru yaitu jumlah korban Covid-19 semakin meningkat tajam dan biaya penanganan yang akan dikeluarkan pemerintah juga semakin membengkak. Alhasil, bukan kestabilan ekonomi yang akan dihasilkan dari kebijakan tersebut, melainkan Indonesia akan masuk pada jurang resesi ekonomi. 

Resesi adalah suatu kondisi ketika produk domestik bruto (PDB) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama II kuartal atau lebih dalam satu tahun, sehingga bisa mengakibatkan penurunan secara simultan pada seluruh aktivitas ekonomi, seperti lapangan kerja, investasi dan keuntungan perusahaan (Wikipedia.org).

Dalam peluncuran laporan Bank Dunia untuk ekonomi Indonesia edisi juli 2020, tidak ada jaminan bagi ekonomi Indonesia akan terbebas dari resesi. Bahkan ekonomi Indonesia bisa mengalami resesi jika kasus Covid-19 terus bertambah. Terkait hal tersebut Presiden Joko Widodo sudah beberapa kali mengingatkan kepada para mentrinya terkait ancaman resesi ekonomi yang akan terjadi kedepan (Detik.com,18 Juli 2020).

Dikutip dari laman detik.com (18 Juli 2020), Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad memaparkan, bahwa resesi dapat dilihat dari masyarakat beberapa tanda, diantaranya pendapatan menurun, angka kemiskinan bertambah, penjualan alat transportasi seperti motor dan mobil anjlok, dan lain-lain. Dalam dunia perbankan, resesi dilihat dari meningkatnya angka kredit macet atau non performing loan (NPL). Sedangkan pada skala pemerintahan, resesi terlihat pada meningkatnya hutang luar negeri.

Dengan adanya ancaman terjadinya resesi tersebut, banyak para ahli mendorong masyarakat uktuk mengantisipasi hal tersebut dengan merubah gaya hidup dari yang boros menjadi gaya hidup hemat dan perlu juga menyiapkan alternatif pekerjaan.

Hal tersebut serupa dengan yang disampaikan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira yang mengatakan bahwa, masyarakat harus berhemat mulai dari sekarang untuk menyiapkan dana darurat selama resesi terjadi, serta berbelanja sesuai kebutuhan dan fokus pada pangan dan kebutuhan kesehatan (Detik.com, 17 Juli 2020).

Ketika berbicara diluar bahasan pandemi, tentu resesi bukan pertama kalinya terjadi didunia ataupun Indonesia. Pada tahun 1998 Indonesia terkahir kali mengalami resesi bahkan ekonomi depresi. Resesi yang begitu pahit bagi ekonomi rakyat Indonesia, yang diawali dengan melemahnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Tentu siapapun tidak menginginkan resesi kembali terjadi. Namun apalah daya kehidupan jika diatur dengan sistem kapitalisme yang berasal dari buatan manusia, yang notabene sifat manusia sebagai makhluk adalah lemah dan terbatas, tentu akan kerap menimbulkan kekacauan dalam segala aspek kehidupan tanpa terkecuali.

Resesi yang terjadi diseluruh negara-negara ang ada saat ini, tidak semata-mata karena dampak dari Covid-19, melainkan karena pengelolaan keuangan pada sistem ekonomi kapitalisme yang sifatnya semu, mengambil porsi yang begitu besar yakni diterapkannya sektor ekonomi non riil, sedangkan sektor ekonomi riil begitu kecil porsinya. Tidak hanya itu, hegemoni ekonomi pun menyelimuti aktivitas ekonomi hari ini, seperti penyerahan kepimilikan umum kepada para pihak swasta/pemilik modal baik yang bersifat lokal maupun asing. Sehingga solusi untuk menghadapi resesi yang diberikan oleh para ahli, dengan menghimbau rakyat agar hidup dengan gaya hemat bukanlah solusi yang bisa menuntaskan masalah resesi. Memenuhi kebutuhan denga cara tidak boros memang merupakan ajaran islam, namun hal tersebut hanya solusi yang bersifat individual, sedangkan penyebab resesi yang sedang dihadapi bersifat sistemis bahkan fundamentalis.

Maka sudah seharusnya negara menghentikan penerapan sistem kapitalisme beserta turunannya tanpa terkecuali.  Serta diganti dengan sistem yang shahih yaitu sistem islam yang berasal dari Allah SWT. Islam memiliki sistem ekonomi yang dapat memberi solusi tuntas terhadap resesi bahkan terhadap segala aspek kehidupan. Islam adalah agama sekaligus sistem kehidupan yang Rahmatan Lil Alamin. Sebab dalam sistem ekonominya islam menerapkan sistem ekonomi riil. Dalam hal ini islam telah terlebih dulu menempatkan pembagian kepemilikan ekonomi secara tepat. Islam membaginya dalam tiga bagian, yaitu :
1. Kepemilikan pribadi adalah hak setiap individu untuk memperoleh kekayaan namun dengan aturan yang sesuai dengan hukum syarah.
2. Kepemilikan umum seperti padang rumput, air dan api sebagai sumber daya alam yang ada, akan dikelola oleh negara secara mandiri dan hasilnya akan dikembalikan kepada kemaslahatan umat. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.”(HR. Abu Dawud dan Ahmad).
3. Kepemilikan negara seperti ghanimah (harta yang diperoleh dari rampasan perang melawan kaum kafir), fai’  (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan), jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari kaum kafir sebagai ketundukan mereka kepada daulah islam), kharaj (hak kaum muslim atas tanah dari orang kafir baik dengan perang atau tidak), harta yang ditinggalkan oleh orang-orang yang murtad dan lain sebagainya.

Dengan adanya pembagian kepemilikan tersebut maka tidak akan ada hegemoni ekonomi sebagaimana yang terjadi pada sistem kapitalisme saat ini, yang begitu mudahnya menyerahkan kepemilikan umum kepada pihak swasta baik lokal maupun asing. Islam juga menghapus aktivitas ekonomi yang bersifat non riil, sehingga aktivitas ekonomi riil akan berjalan dengan baik. Sehingga, ketika terjadi wabah daulah islam akan tetap stabil, sebab khilafah memilki jalur keuangan untuk mengatasi wabah pada bagian belanja negara yakni baitul mal, yang dibagi atas delapan seksi. Adapun wabah tedapat pada seksi urusan darurat atau bencana alam (Ath Thawari), seksi ini memberikan bantuan kepada rakyat atas setiap kondisi darurat atau bencana yang mendadak terjadi menimpa mereka. Biaya yang dikeluarkan dari seksi ini diperoleh dari pendapatan fai dan kharaj serta dari harta kepemilikan umum, bahkan jika keduanya kosong maka kebutuhannya akan dibiayai dari harta kaum muslim dengan secara suka rela (Kitab Sistem Keuangan Negara Khilafah, hal 31).

Demikianlah islam mengatur sistem ekonominya dan mampu mengatasi wabah ketika sewaktu-waktu terjadi. Maka, sudah seharusnya solusi tuntas tersebut kita gunakan untuk mengatasi berbagai persoalan yang ditimbulakan dari adanya wabah Covid-19.

Wallahu ’alam bis shawab.
Previous Post Next Post