Menghadang Laju LGBT, Bukan Dengan Boikot

Oleh: Hafsah Ummu Lani
‌(Pemerhati Sosial) 
Kaum pelangi (sebutan bagi pelaku LGBT) semakin berkibar di negeri ini. Mereka semakin menunjukkan eksistensinya dalam masyarakat dengan adanya dukungan dari perusahaan raksasa yaitu Unilever. Dukungan Unilever terhadap gerakan lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ+) telah menuai kecaman di dunia maya. Tak sedikit seruan untuk memboikot produk Unilever.

Perusahaan yang berbasis di Belanda ini melalui akun Instagramnya pada 19 Juni lalu resmi menyatakan diri berkomitmen mendukung gerakan Lesbian Gay Biseksual Transgender Queer (LGBTQ+).

Dalam upaya mendukung kampanye tersebut, mereka bahkan sudah menandatangani deklarasi Amsterdam, bergabung dengan Open for Business untuk menunjukkan bahwa Unilever dengan inklusi LGBTQI+ serta meminta Stonewall mengaudit kebijakan dan mengukur tindakan Unilever dalam bidang ini. Stonewall adalah lembaga amal untuk kaum LGBT. (CNBC 25/06/2020)

Seruan boikot juga disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua Komisi Ekonomi MUI, Azrul Tanjung, menegaskan dan mengajak masyarakat untuk beralih pada produk lain. “Saya selaku ketua komisi ekonomi MUI akan mengajak masyarakat berhenti menggunakan produk Unilever dan memboikot Unilever,” kata Azrul saat dihubungi Republika, Ahad (Republika.Co.Id 28/06/2020). 

Aksi boikot sudah lumrah terjadi, manakala masyarakat merasa terusik. 
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) boi·kot , mem·boi·kot  adalah bersekongkol menolak untuk bekerja sama (berurusan dagang, berbicara, ikut serta, dan sebagainya. 
Jadi, boikot adalah suatu wujud protes sekelompok orang terhadap seseorang atau organisasi tertentu dengan cara menolak untuk menggunakan, membeli, atau berurusan dengan pihak yang diboikot.
Umumnya boikot dilakukan secara terorganisir dan tidak melibatkan tindak kekerasan dengan tujuan untuk memaksa pihak yang diboikot mengubah suatu kebijakan. 

Boikot bertujuan untuk membuat sanksi dan efek jera kepada pelaku. Namun melihat aksi-aksi boikot yang selama ini terjadi, belum memberikan dampak  yang signifikan. Menghentikan kerjasama dan tidak membeli produk yang dipasarkan, bisa jadi hanya membuat kerugian bagi pelaku (Unilever). Mengingat pangsa pasar bukan hanya di Indonesia dan kaum muslim saja, masih banyak negara dan non muslim yang menjadi target pemasarannya, artinya perusahaan paling banter hanya mengalami kerugian dan belum sampai jatuh bangkrut. 
PT Unilever Indonesia Tbk, adalah perusahaan consumer terbesar, paling terkemuka, dan termapan di Indonesia yang sudah beroperasi sejak tahun 1933, yang merupakan bagian dari Grup Unilever BV asal Inggris – Belanda. Unilever saat ini memiliki 9 pabrik di Jawa Barat dan Jawa Timur, dan setidaknya 42 merk produk konsumer yang hampir seluruhnya merupakan market leader di bidangnya. 

Tujuan dalam mendukung dan mendanai komunitas LGBT selain untuk mendongkrak nilai saham juga berkomitmen untuk membuat rekan LGBTQ+ bangga.  Secara tegas mereka melakukan dukungannya secara terbuka. Beberapa pengamat menilai, dukungan Unilever kepada kaum LGBT bakal membuat konsumen di Indonesia yang mayoritas muslim meninggalkan produk Unilever. 
Hal seperti ini akan selalu terjadi manakala tidak ada aturan yang mengikatnya. Dalam sistem liberal, kebebasan berpendapat dan bertingkah laku dilindungi atas nama hak asasi manusia. Sehingga pelaku LGBT yang nyata merusak generasi justru bebas mengembangkan komunitasnya, ditambah dengan sokongan dana dari perusahaan raksasa untuk mendukung kampanye global yang digawangi oleh MNC. 

Menghadang gerak mereka tidak cukup dengan aksi boikot karena hanya melibatkan individu, kelompok atau massa. Dengan memboikot tidak lantas menghentikan kegiatan mereka dan aksi seperti ini hanya sebagai bentuk penolakan terhadap sikap mereka, belum sampai kepada tahap menghentikan. Maka idealnya harus disikapi dengan cara yang bijak untuk menghentikan aksi mereka melalui tangan penguasa  dengan menutup pintu liberalisme yang menjadi biang masalah. 

Pada masa Rasulullah Saw, aksi boikot pernah dilakukan oleh kaum kafir quraish terhadap Nabi Saw dan kaumnya, namun Rasul Saw tidak pernah membalas. Begitupun kepada kaum yahudi yang terkenal licik, Rasul dan kaum muslim saat itu tidak melakukan aksi boikot terhadap produk orang yahudi. Perdagangan tetap berlangsung padahal jika Rasul mau hal tersebut bisa saja terjadi.

Adapun aksi boikot yang dilakukan oleh kaum muslim saat ini adalah bentuk protes terhadap produsen besar karena dukungannya terhadap sebuah komunitas yaitu LGBT. Maka perlu didudukkan perkara ini dengan akal yang jernih. Aksi boikot tidak akan menghentikan adanya komunitas LGBT. Lalu bagaimana Islam menyikapi perkara seperti ini? 

Pertama, bahwa perilaku LGBT dilarang dan dilaknat oleh Allah dan Rasulnya. Dalam Al Qur'an Allah Swt berfirman yang artinya: "Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas". [Al-A’raaf: 81].

Dalam hadist Rasul Saw bersabda:
“Allah mengutuk orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth. Allah mengutus orang yang berbuat seperti perbuatan Nabi Luth. Beliau bersabda sampai tiga kali”. (H.R Ahmad).

Pokok masalahnya ada pada pembiaran perilaku yang menyimpang, maka wajib dihilangkan agar tidak menimbulkan kemudharatan selanjutnya. Apapun alasannya, perilaku LGBT tidak dibenarkan karena menyimpang dari sisi syariat dan menimbulkan penyakit berbahaya dari sisi medis. Sehingga pintu-pintu masuknya kelainan ini akan dibasmi. Adapun aksi boikot tidak perlu terjadi karena pemicu aksi tersebut adalah adanya komunitas tadi. Maka bentuk protes terhadap pendukung maksiat tidak akan menghentikan maksiat berikutnya. 
Terbukti, dari dahulu sampai hari ini, boikot terhadap produk yahudi tidak menghentikan pembantaian mereka terhadap rakyat palestin. Untuk menyelesaikan hal ini, solusi tuntas adalah kembali kepada syariat Allah dan RasulNya melalui institusi Khilafah. 

Wallahu a'lam bisshowab
Previous Post Next Post