Kebijakan Tanpa Solusi, Lebih Pentingkan Korporasi

Oleh   : Melitasari 
(Member Revowriter &KAM)

Keresahan akibat diberlakukannya belajar dari rumah(BDR) kini kian menjadi dikalangan orang tua siswa yang mulai kelelahan memberikan pengajaran sebab tak biasa. Hal itu juga semakin mempengaruhi kondisi olekonomi warga terutama orang tua dari kalangan keluarga tidak mampu. Pasalnya selain harus membeli bahan pangan untuk bertahan hidup, kini harus ditambah beban pengeluaran untuk membeli _handphone_ canggih dan paket internet untuk mendukung pembelajaran daring.

Hal ini dirasakan oleh salah satu siswa SMP di Rembang, dia memutuskan untuk tetap berangkat sekolah setiap hari sebab tidak bisa mengikuti belajar  daring karena tak memiliki HP. Dimas adalah anak dari pasangan Didik Suroyo, seorang nelayan, dan Asiatun, yang bekerja sebagai buruh pengeringan ikan. Bagi mereka mungkin untuk bisa makan dan bertahan hidup saja masih kesulitan ditambah harus terbebani membeli HP dan data internet.

**Keluhan Masyarakat
Kendala dalam berlangsungnya kegiatan belajar dari rumah (BDR) lainnya adalah terkait dengan akses sinyal, tidak semua daerah/kota mempunyai akses sinyal yang baik. Kampung Todang Ili Gai, Desa Hokor, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Provinsi NTT menjadi salah satu wilayah yang terisolir dari berbagai akses kehidupan saat ini. Untuk menuju kampung Todang Ili Gai, harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer dengan jalan setapak yang berbukit. Sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, kehidupan masyarakat kampung Todang memang masih jauh dari semua akses baik, listrik, jalan hingga telekomunikasi.

Seperti dilansir Merdeka.com, 26/07/20  kebijakan BDR tidak bisa diterapkan pelajar di kampung Todang. Pasalnya, orangtua siswa mengaku tidak bisa membeli radio. Hal ini membuat aktivitas belajar mengajar di SDN Todang pun tidak berjalan karena sekolah juga tidak menyiapkan radio. Lukas mengatakan, hampir seluruh orang tua murid di SDN Todang adalah petani miskin dengan pendapatan pas-pasan. Telepon genggam yang dimiliki pun hanya ponsel biasa yang dipakai untuk menelepon dan mengirim pesan singkat. Lantaran tidak ada radio, anak-anak tidak bisa belajar dan hanya bermain di rumah. Bahkan, hingga kini pembagian rapor dan pengumuman kenaikan kelas pun tak kunjung dilaksanakan.

**Kebijakan tanpa solusi
Masa pandemic menyingkap kegagalan pembangunan kapitalistik yang jor-joran membangun infrastruktur namun tidak memberi daya dukung/manfaat bagi pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Pembelajaran jarak jauh yang menuntut sarana telekomunikasi dan ketersediaan jaringan, memaksa puluhan juta pelajar kehilangan haknya. Kebijakan Kemendikbud untuk menetapkan pembelajaran secara daring tidak dibarengi dengan solusi yang tepat dan pasilitas memadai agar kegiatan BDR dapat berlangsung sesuai yang diharapkan.

Pemerintah tidak memperhatikan persoalan yang ada pada masyarakat secara keseluruhan. Sehingga kebijakan yang ditetapkan tidak pernah tuntas dalam menyelesaikan masalah, yang ada hanya mendatangkan masalah baru secara berkesinambungan. Begitupun dengan infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah hanya dialokasikan pada kepentingan korporasi bukan kepentingan umat saat ini.

**Pembangunan Infrastruktur Dalam Islam
Dalam Islam, pembangunan infrastruktur berporos pada kepentingan umat bukan korporasi sehingga pemerintah akan menjamin kebutuhan dasar bagi rakyatnya dan menempatkannya sebagai prioritas utama dalam pembangunan . Pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi masyarakat. Sehingga pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak mereka mendapatkan pendidikan dalam kondisi apapun. Baik dalam keadaan normal ataupun abnormal seperti saat terjadi pandemi.

Pembangunan infrastruktur dalam Islam tidak akan terjadi ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan. Semua akses yang dibutuhkan masyarakat kota ataupun desa akan disamaratakan oleh pemerintah, termasuk dalam ketersediaan jaringan dan layanan telekomunikasi untuk keberlangsungan hidup rakyatnya. Berbeda dengan sistem kapitalis yang pembangunan infrastrukturnya berporos pada kepentingan korporasi. Menjadikan persoalan dan ketimpangan antara masyarakat yang hidup di kota dan masyarakat yang hidup di pedesaan yang infrastrukturnya kurang.

Saat terjadi pandemi seorang khalifah akan sigap dalam mencari solusi agar kegiatan belajar mengajar tetap berlangsung, ia juga tidak akan merasa kebingungan perihal akses yang dibutuhkan umat untuk kegiatan BDR. Hal ini karena pemerintah telah menyediakan infrastruktur dan akses yang memadai untuk rakyatnya baik yang tinggal di perkotaan ataupun pedesaan.

Dengan begitu kebutuhan dasar atas pendidikan dalam Islam tidak akan menemui kesulitan walau saat terjadi pandemi. Hal ini seharusnya menjadikan kesadaran masyarakat bahwa sistem pemerintahan yang pro terhadap korporasi hanya akan membangun infrastruktur sesuai kepentingan korporasi bukan kebutuhan umat. Sudah seharusnya umat beralih pada sistem yang bisa memberikan haknya dalam kondisi apapun waLlahu 'alam bishowab.
Previous Post Next Post