Jokowi Marah, Solusikah Reshuffle Menteri di tengah Pandemi?

Oleh : Alfiah, S.Si

Presiden Joko Widodo atau Jokowi marah dan mengancam akan mereshuffle kabinetnya. Ia kesal lantaran kinerja para pembantunya di Kabinet Indonesia Maju tak kunjung menunjukkan kemajuan yang berarti di tengah pandemi virus corona Covid-19.

Kemarahan Jokowi ini tepatnya pada rapat tertutup kabinet tanggal 18 Juni 2020, yang videonya baru disebarkan 10 hari kemudian. Jokowi menganggap banyak menterinya yang belum mempunyai sense of crisis, bekerja seperti kondisi normal. Dirinya bahkan siap mempertaruhkan reputasi politiknya untuk membuat kebijakan ekstraordinary mulai dari membuar perppu, membubarkan lembaga hingga reshuffle atas nama kepentingan 267 juta rakyat Indonesia (news.detik.com, 30/06/2020).

Kinerja beberapa lembaga kementerian menjadi sorotan Jokowi. Ia menyebutkan bahwa anggaran kesehatan sebesar Rp. 75 triliun baru cair sebesar 1,53 persen. Jokowi juga menyinggung penyaluran bantuan sosial untuk rakyat serta stimulus ekonomi bagi dunia usaha juga belum optimal 100% di saat masyarakat menunggu bantuan tersebut ( katadata.co.id, 28/06/2020).

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa kecilnya serapan anggaran kebijakan stimulus fiskal untuk penanganan Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menghadapi musuh baru, yaitu permasalahan terjadi di level operasional dan proses administrasi (idntimes.com, 30/06/2020).

Kekesalan Jokowi yang dipertontonkan ke publik sebenarnya mengkonfirmasi kegagalan pemerintah menangani wabah. Buruknya kinerja para menteri tentu menjadi tanggung jawab  presiden yang memberi arahan dan menunjuk mereka pada posisinya saat ini.

Sebagaimana diketahui saat pengukuhan Kabinet Indonesia Maju, Jokowi mengatakan bahwa tidak ada visi dan misi menteri selain visi dan misi presiden. Hal ini tentu memberi konsekuensi bahwa hasil kinerja para menteri merupakan tanggung jawab penuh presiden. Sejak awal Presiden pun mengangkat menteri bukan berdasarkan pertimbangan sang menteri memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjalankan tugasnya, namun lebih karena kompromi bagi- bagi jatah kursi kekuasaan karena andilnya dalam Pilpres.

Perlu disadari bahwa mustahil menangani pandemi jika orang-orang yang diamanahkan menangani urusan masyarakat tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas. Bagaimana mungkin para menteri akan memiliki sense of crisis jika mereka hanya perpanjangan para kapitalis? Selama dalam koridor kapitalis tidak akan dihasilkan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Justru keuntungan para kapital yang lebih diutamakan.

Kalau memang kepentingan 267 juta rakyat Indonesia lebih diutamakan, harusnya sejak awal pemerintah menetapkan lockdown total dan memenuhi seluruh kebutuhan rakyat selama lockdown diberlakukan. Tapi ternyata pemerintah tidak mengambil kebijakan itu.  Lagi-lagi ekonomi lebih dipentingkan daripada nyawa rakyat. Padahal jika nyawa rakyat (SDM) lebih diutamakan, ekonomi negara mudah dipulihkan.

Terakhir, kebijakan yang benar dan solutif tentu hanya lahir dari pemimpin yang tunduk pada Dzat yang Maha Benar, dialah Allah SWT, yang menciptakan alam semesta dan seluruh makhluk-Nya tak terkecuali virus corona Covid-19. 
Previous Post Next Post