Antara Tunangan, Ta'aruf, dan Khitbah

Oleh : Sri Rahmawati 

Ada seorang ibu yang ditanya apa rencananya setelah anaknya bertunangan dan kapan anaknya akan ditikahkan, sang ibu menjawab, Biar hati saya tenang aja anak sudah ditunangkan, perkara nikahnya kapan pihak saya dan calon besan belum mentargetkan kapan, bisa tiga atau empat tahun lagi enggak masalah, enggak perlu buru-buru nikah, kalau sudah tunangan saya tenang dia enggak nyari-nyari yang lain, bikin saya pusing kalau anak gonta ganti pacar”

Ada juga pendapat ibu yang lain, “Kalau sudah ditunangkan, saya tenang, kapanpun pacarnya datang ke rumah kan aman, kapanpun pacarnya ngajak anak saya pergi-pergi jauh juga aman kan hubungan mereka sudah 25 persen ‘halal’.”

“Saya dengar-dengar sih kalau anak sudah bertunangan, maka 50% hubungan mereka halal ya, aduh benar enggak sih, jadi simpang siur. Saya sih dukung banget anak saya bertunangan karena berarti dia berhak dinafkahi oleh pacarnya”  

Saat ini banyak kondisi pasangan insan bertunangan setelah sekian tahun lamanya berpacaran. Sehingga saat pertunangan bukan lagi proses ta’aruf atau pengenalan lagi, karena kedua pasangan calon suami dan istri sudah saling mengenal satu sama lain secara detail dan mendalam, bahkan ngerinya mereka sudah melakukan perbuatan zina atau yang mendekati zina semasa berpacaran. Apabila sebelum bertunangan kondisinya seperti itu, bagaimana setelah bertunangan ? bisa lebih bahaya dari itu. Sementara kedua orangtuanya tutup mata mengenai kebebasan hubungan anaknya dengan calon istri atau suaminya. Hal ini tidak dibenarkan dalm Islam. Karena ternyata pertunangan dan paska pertunangan pun ada syariatnya yang tidak boleh dilanggar.

Di tengah masyarakat, karena awamnya pengetahuan, banyak yang mengartikan seolah-olah setengah pernikahan, nah bagaimana status mereka apakah dari non mahrom menjadi separuh mahromnya?  Apakah benar tunangan adalah pacaran islami yang sah ?

Tunangan itu ada yang mengartikan khitbah. Arti khitbah adalah prosesi lamaran di mana pihak keluarga calon mempelai pria bersilaturahmi ke rumah calon mempelai wanita. Dalam pertemuan itu, keluarga calon mempelai pria akan mengutarakan keinginan mereka. Namun pengajuan ini sifatnya belum lantas berlaku, karena belum tentu diterima. Pihak wanita bisa saja meminta waktu untuk berpikir dan menimbang-nimbang atas permintaan itu untuk beberapa waktu.

Apabila khitbah itu diterima, maka barulah wanita itu menjadi wanita yang berstatus makhthubah (مخطوبة), yaitu wanita yang sudah dilamar, sudah dipinang, atau bisa disebut dengan wanita yang sudah dipertunangkan.

Namun apabila khitbah itu tidak diterima, misalnya ditolak dengan halus, atau tidak dijawab sampai waktunya, sehingga statusnya menggantung, maka wanita itu tidak dikatakan sebagai wanita yang sudah dikhitbah. Dan pertunangan belum terjadi.
Sebelum khitbah dan statusnya ditetapkan, langkah yang paling awal adalah pengajuan khitbah yang dilakukan oleh pihak calon suami. Esensi yang paling utama dari pengajuan khitbah ini adalah keinginan untuk menikahi calon istri.

Namun khitbah bukan hanya berisi penyampaian keinginan untuk menikah, tetapi juga berisi tukar menukar informasi dari kedua belah pihak. Pengajuan khitbah ini bisa diibaratkan sebuah pengajuan proposal kegiatan yang di dalamnya ada penjelasan-penjelasan yang rinci dan spesifik. Semua informasi itu akan sangat berguna bagi wali untuk membuat pertimbangan dan keputusan.

Di antara spesifikasi itu misalnya tentang kesiapan pihak calon suami dalam pemberian nilai mahar, nilai nafkah, tempat tinggal, dan berbagai pemberian lainnya. Dan termasuk juga di dalamnya adalah rincian tentang hak dan kewajiban yang akan disepakati oleh masing-masing pihak.

Di masa khitbah inilah ta’aruf, proses saling mengenal karakter, visi misi rumah tangga, keluarga, dan lain-lain.

Bagaimana caranya ta’aruf dilakukan? Tentu saja harus dengan koridor syara’, tidak boleh berdua-duaan, jadi ketika berbicara masalah khusus maka calon perempuan harus didampingi oleh mahromnya atau perempuan. Saat khitbah diperbolehkan ihwan menanyakan hal pribadi akhwat misalnya apa kesukaan calon perempuan, memberikan hadiah, dan sebagainya, namun tetap ada aturannya.

Pihak calon suami juga berhak mendapatkan informasi yang dibutuhkan terkait dengan calon istri, baik yang terkait dengan kondisi fisik ataupun keadaan-keadaan yang lain.

Apabila calon istri memiliki catatan tertentu, seperti kondisi kesehatan, cacat, aib atau hal-hal yang sekiranya akan mengganggu keharmonisan rumah tanggal, maka pihak wali wajib bersikap terbuka dan kooperatif, tidak boleh menutup-nutupi apalagi berusaha untuk menipu.

Proses tukar menukar informasi ini sangat berguna bagi kedua belah pihak untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya.

Sedangkan praktik tunangan dengan saling memakaikan cincin, saling pegangan atau bahkan dengan cium kening atau pipi pasangannya, dalam syari’at Islam termasuk sesuatu yang dilarang, karena dua insan yang menjalin ikatan pertunangan maupun khitbah tetaplah sebagai pasangan yang belum diikat dengan pernikahan yang syar’i, sehingga mereka tidak bisa leluasa untuk melakukan berbagai tindakan sebagaimana layaknya pasangan suami-istri, seperti berduaan, berpegangan tangan, maupun hidup serumah.

Dengan demikian, ungkapan yang menyatakan bahwa “Seorang tunangan laki-laki mempunyai setengah kewajiban dari calon istrinya”, tentu merupakan pernyataan dan sikap yang tidak memiliki dasar sama sekali. Dengan ungkapan lain; bahwa orang yang bertunangan tidak memiliki kewajiban maupun hak untuk memberi dan mendapatkan nafkah baik lahir (sandang, pangan dan papan) maupun nafkah batin. Namun jika yang dimaksudkan itu adalah kewajiban untuk menjaga janji atau kesepakatan bersama atau menjaga nama baik masing-masing pihak, maka itu merupakan kewajiban setiap orang yang menjalin perjanjian atau hubungan kerjasama (muamalah) selama hal tersebut tidak bertentangan dengan norma dan hukum agama. 

Oleh sebab itu, sebagai sebuah tradisi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat, tunangan perlu diatur dan diberikan rambu-rambu atau ketentuan-ketentuan agar tidak bertentangan dengan syari’at Islam, antara lain:

1. Laki-laki dan wanita yang menjalin ikatan pertunangan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum agama Islam, seperti bersentuhan, berduaan, atau tinggal serumah layaknya pasangan suami-istri serta berbagai tindakan yang dilarang oleh agama. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi saw:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ [رواه البخاري ومسلم].

“Dari Ibnu Abbas [diriwayatkan] dari Nabi saw., beliau bersabda: Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

2. Hendaknya saling menjaga nama baik diri dan keluarga besar masing-masing pihak, dengan tidak menceritakan aib atau kekurangan pihak lain serta tidak melakukan berbagai tindakan dan pernyataan yang dapat merusak nama baik diri maupun keluarga besarnya.

“Dari Ibnu Syihab bahwa Salim mengabarkannya bahwa Abdullah bin Umar ra. mengabarkannya bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak boleh menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan suatu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

3. Menjaga dan menepati janji yang telah diikrarkan di hadapan keluarga besarnya, karena melanggar janji merupakan perbuatan tercela dan termasuk ciri-ciri orang munafik.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ [رواه البخاري ومسلم].

“Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] dari Nabi saw., beliau bersabda: Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

4. Pada prinsipnya, seseorang tidak boleh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada pihak lain, kecuali jika terjadi pengkhianatan terhadap kesepakatan yang telah diikrarkan sejak awal, hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ [رواه البخاري ومسلم].

“Dari Ibnu Abbas ra. [diriwayatkan] dari Rasulullah saw., beliau bersabda: Orang yang menarik (mengambil) kembali pemberiannya, seperti seekor anjing yang muntah dan memakan (menjilat) kembali muntahannya” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

5. Seseorang yang sudah berniat untuk menikah, sepatutnya segera menikah tanpa harus menunggu-nunggu atau menunda-nunda, baik dengan cara bertunangan atau sejenisnya untuk menghindari sesuatu yang dilarang oleh agama seperti berkhalwat (berdua-duaan), pegang-pegangan dan tindakan lain yang dilarang oleh agama.

عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ … لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ [رواه البخاري ومسلم].

“Dari Alqamah [diriwayatkan] ia berkata: Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda kepada kita: Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan menanggung beban pernikahan, maka hendaklah ia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Namun jika hal tersebut dilakukan karena pertimbangan tertentu yang sangat vital, maka hendaknya dilaksanakan layaknya silaturrahim dua keluarga besar untuk menjalin sebuah komunikasi dan komitmen tentang masa depan hubungan anaknya sebelum melangkah ke pelaminan (ta’aruf), serta menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama seperti berduaan (berkhalwat), tinggal serumah, berpegangan, maupun mengadakan kegiatan (seremonial) yang berlebihan (tabzir). Hal ini karena sesuatu yang disyari’atkan dalam konteks pernikahan adalah; khitbah untuk mengenal calon pasangan, akad nikah dan walimah, dan bukan dengan cara-cara yang tidak dituntunkan oleh agama serta membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap ajaran agama.

Muslim yang baik selalu berhati-hati melangkah dalam bermuamalah, terutama merencanakan proses persiapan menuju jenjang pernikahan. Semoga Alloh senantiasa menuntun dan membimbing kita semua untuk selalu melaksanakan muamalah tersebut sesuai dengan syariatnya. Oleh karena itu, jangan bosan dan lelah dalam mencari tahu, mencari ilmunya. Agar tak salah melangkah. 

Wallohu a’lam bish showab
Previous Post Next Post