Di Balik New Normal Adakah Konspirasi?


Oleh : Nur Fitriyah Asri
Pegiat Literasi Opini, Member AMK

Ekonomi hancur lebur, rakyat makin babak belur.
Alih-alih menuntaskan virus Corona (Covid-19). Pemerintah justru seakan sibuk mengotak-atik narasi dan diksi untuk menenangkan masyarakat. Kini pemerintah minta rakyat hidup berdamai dengan Covid-19, lalu narasinya diubah kompromi dengan Corona, sekarang dengan istilah "New Normal." Kritik Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS). (merdeka.com. Jumat, 29/5/2020)

New normal adalah perubahan perilaku untuk menjalankan aktivitas normal di tengah wabah, dengan tetap menerapkan protokol kesehatan (menjaga jarak). Kebijakan new normal ini dinilai kontradiksi. Jadi wajar, jika menuai kecaman, hujatan dan kritikan.

Menurut Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr. Hermawan Saputra, sejatinya untuk menetapkan new normal ini, banyak prasyaratnya, yaitu:
Pertama, harus sudah terjadi perlambatan kasus.
Kedua, sudah dilakukan optimalisasi PSBB.
Ketiga, masyarakatnya sudah lebih mewawas diri dan meningkatkan daya tahan tubuh masing-masing.
Keempat, pemerintah sudah betul-betul memperhatikan infrastruktur pendukung untuk new normal.
Dari fakta prasyaratan di atas, jelas bahwa Indonesia belum saatnya new normal. (merdeka.com, Senin, 25/5/2020)

Oleh sebab itu, mewacanakan new normal dinilai sangat gegabah. Hal ini membuat persepsi masyarakat seolah-olah telah melewati puncak pandemi Covid-19. Akibatnya, sangat berbahaya sekali karena menyebabkan masyarakat menjadi lengah dan sembrono terhadap kesehatan dirinya sendiri maupun orang lain.Terbukti banyak orang berjubel di mal-mal dan tempat publik lainnya, tanpa memperhatikan physical distancing. Mereka seakan sudah melupakan bahaya pandemi virus Corona. Inilah yang dikhawatirkan akan terjadi gelombang kedua yang kenaikannya jauh lebih tinggi dan pengendaliannya akan jauh lebih sulit.

Benarkah di balik new normal ada sebuah konspirasi atau kongkalikong? Karena ada pihak yang diuntungkan bisa menangguk keuntungan yang sangat fantastis. 
Sebagaimana pernyataan mantan Menkes Siti Fadilah Supari. Pahlawan kesehatan Indonesia yang berhasil membongkar konspirasi WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), terkait vaksin virus flu burung (H5N1) tahun 2005, yang telah dituangkan ke dalam bukunya berjudul, "Saatnya Dunia Berubah."

Selama ada dua aktor yaitu WHO dan Industri farmasi masih merajai, maka pandemik tetap terjadi seperti sekarang ini dan ada konspirasi bisnis vaksin. Mereka itulah mafia-mafia internasional yang memaksakan kehendaknya kepada negara-negara di dunia, agar membeli vaksin. Ini benar-benar zalim, tidak punya naluri. Justru mencari kesempatan dalam kesempitan.

Narasi yang selalu digaungkan adalah, 
"Hanya dengan vaksinasi,  dipandang sebagai satu-satunya solusi medis yang dapat mengakhiri pandemi Covid-19, yang telah menginfeksi lebih dari 5,3 juta orang dan membunuh lebih dari 340.000 di seluruh dunia." 
Itulah taktik dan strategi mereka untuk menyukseskan bisnisnya.

Termasuk Indonesia, merupakan salah satu negara yang dijadikan target jajahannya menjadi negara boneka. Seperti pernyataan Jokowi (melalui akun resmi media sosial Twitter @jokowi, dinyatakan, “Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan.” (7/5/2020)   Artinya, selama belum diketemukan vaksin, rakyatnya dibiarkan bertarung melawan virus sendiri. Nyawa taruhannya. Terbukti sudah, yang sesungguhnya sedari awal ingin lepas tangan dari tanggung jawab kepada rakyatnya. 

Virus Corona berhasil menghancurkan ekonomi global, termasuk Indonesia. Hal ini menjadi peluang emas para  kapitalis  memanfaatkan situasi dengan meminjamkan utang berbasis riba. Bagi Indonesia, ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga. Betapa tidak. Mana sudah waktunya jatuh tempo membayar utang riba, tapi tidak bisa melunasinya. 
Dengan cara gali lubang tutup lubang, mencari utangan. Alasannya untuk program pemulihan ekonomi nasional. Akhirnya pemerintah nekat akan menerbitkan utang baru sekitar Rp 990,1 triliun. (detik.com, 25/5/2020)
Padahal sebelum wabah virus Corona pun utang Indonesia sudah menggunung. Sungguh,
tidak ada istilah makan siang gratis. Jeratan utang itulah yang membuat Indonesia tidak berdaulat menjadi negara boneka.

Ideologi kapitalis benar-benar tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan fitrah. Mereka lebih memilih menyelamatkan ekonomi dari pada nyawa manusia. Fatalnya, Indonesia mengadopsi sistem batil tersebut ikut-ikutan menerapkan new normal. Padahal, pemerintah belum memiliki peta jalan, hanya mengikuti tren internasional.
Alih-alih ekonomi bangkit, justru akan membahayakan nyawa manusia.

Indonesia tidak berdaulat, karena di balik new normal, ada konspirasi (kongkalikong). 
Ketika pemilu ada perjanjian politik di antara eksekutif, yudikatif dan legislatif dengan korporasi pemilik modal. Itulah borok demokrasi.
Untuk menduduki sebuah jabatan atau kekuasaan  membutuhkan biaya politik yang tinggi, dan bukan rahasia lagi. Terjadilah perselingkuhan politik. 

Ketika pengusaha atau korporasi mengalami kebangkrutan, mereka mengintervensi penguasa, salah satunya menuntut relaksasi atau pelonggaran aturan PSBB. Sehingga usaha-usaha mereka seperti, mal-mal, hotel, transportasi, tempat rekreasi dan kegiatan publik lainnya dibuka. Alasannya untuk perbaikan ekonomi.
Faktanya yang diuntungkan adalah pemilik modal atau pengusaha asing dan aseng. Rakyat yang dikorbankan dan dijadikan tumbal.

Menurut mantan Menkes, Siti Fadilah Supari, sudah jelas WHO gagap tidak mengerti esensinya pandemik, dan banyak hal yang dilakukannya menjadi blunder. Harusnya Indonesia memimpin negara-negara lain untuk menuntut WHO karena tidak mampu menyelamatkan umat manusia di dunia. Bukan malah menjadi negara pembebek.

Tidak habis pikir, jika new normal tujuannya untuk membangkitkan ekonomi, dengan nyawa taruhannya. Kenapa ekonomi kapitalis yang berbasis riba, sudah jelas-jelas terbukti menyengsarakan rakyat, dan dilarang Allah, tidak diganti saja dengan ekonomi alternatif yaitu ekonomi Islam? 

Ekonomi Islam, sudah terbukti menyejahterakan per individu rakyatnya selama berabad-abad. Karena di dalamnya mengatur hak kepemilikan, bagaimana cara mengembangkan harta dan cara mendistribusikannya, yang semuanya itu diatur oleh syariat Islam.

Itulah akibat dari mencampakkan aturan yang berasal dari Allah. Indonesia mengalami krisis multidimensi di semua lini. Banyak kata-kata sumbang, bahwa sekarang ini tidak butuh new normal tapi yang dibutuhkan new leader dan kembali ke sistem Islam yakni khilafah ala minhajin nubuwwah. Selama 13 abad telah membuktikan  kejayaannya dan berhasil menyejahterakan semua manusia baik muslim maupun nonmuslim.

Hanya sistem Islam yang bisa memuliakan dan menghargai nyawa manusia. Sebagaimana firman Allah Swt.

مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ

"Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS. al-Maidah [5]: 32)

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post