Rakyat Bukan Tidak Taat, Tapi Didesak Sekarat

Oleh: Shafayasmin Salsabila
(Anggota Muslimah Peduli Umat, Revowriter) 

Gila! Teriak spontan dari pemirsa, sambil menutup muka dengan kedua telapak tangan sedang mulut masih ternganga, ngeri. Apa yang ditangkap matanya bukan adegan dari film thriller, "Scream" yang fenomenal itu. Tapi ketika melihat kerumunan manusia memadati pusat perbelanjaan, baik Mall sampai pasar tradisional.

Layar berganti, kini liputan antrian bansos (bantuan sosial) menambah berdirinya bulu roma. Seperti semut mengerubuti ceceran gula. Berdesak, tanpa jarak, bahkan beberapa nampak tanpa memakai masker. Meragu, apakah mereka pun sudah mencuci tangan dengan sabun. 

Entah kemana perginya protokol kesehatan. Social distancing ambyar, PSBB buyar. Semua menjadi tidak terpikirkan, terlindas urusan perut. Rakyat sekarat, mereka butuh udara segar untuk menyambung nafas. Bukan hanya nafasnya sendiri, tapi nafas anak istri, bahkan calon bayi di perut sang istri. Mereka terdesak.

Di sisi lain, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengumumkan penambahan korban positif Covid-19 secara drastis. Sampai tanggal 21 Mei 2020, 973 orang terindikasi positif dalam satu hari. Dan pecah rekor, inilah jumlah penambahan tertinggi sejak diumumkan pertama kali pada 2 Maret 2020 lalu. Sedangkan, total keseluruhan sudah tembus di angka dua ribu, tepatnya 20.162 orang. (okezone.com, 21/5/2020)

Namun demikian, kebijakan pelonggaran PSBB (Pengendalian Sosial Bersekala Besar) tetap diberlakukan dan jargon terbaru yakni "Berdamai dengan Corona", masih nyaring terdengar. Entah jenis perdamaian seperti apa namanya, jika nyawa manusia yang dipertaruhkan. 

Lantas apakah rakyat salah, jika menafsirkan itu semua sebagai lampu hijau untuk kembali berkehidupan normal. Kembali menyambung nafas setelah tiga bulan terasa seperti orang sedang tenggelam. Apalagi yang terbaru, terselenggara konser meski dalam rangka penggalangan dana yang dihadiri beberapa artis. Dan nampak kurang mengindahkan protokol kesehatan. Dengan foto bersama berdekatan dan tanpa menggunakan masker. 

Rakyat terbentur pilihan yang tidak mudah. Mereka ke luar rumah bukan untuk bersenang-senang. Bukan pula bermaksud tidak mau taat terhadap peraturan, atau merasa kebal dengan Covid-19, tapi membiarkan keluarga mati kelaparan itu jauh lebih memilukan. Insting bertahan hidup, alami dimiliki oleh tiap makhluk. Itulah sebab kaki-kaki mereka memenuhi pasar-pasar dan antrian bansos.

Para pedagang laksana hendak pergi ke medan perang. Kembali membuka lapak meski sadar, petugas keamanan mengancam. Penutupan lapak ataupin pengusiran paksa adalah resiko paling mungkin terjadi. Tapi apa daya, tatapan nanar istri serta air mata jabang bayi yang lapar, menyulutkan nyali untuk mencoba membuka satu pintu rezeki. Rela pula dihujat masyarakat kelas atas, atau nakes (tenaga kesehatan) atas kontribusinya menciptakan kerumunan. 

Meski apa yang ditakutkan terjadi pula. Belum lama lapak digelar dan pembeli mulai bermunculan bersama secercah harapan akan sedulit keuntungan, razia pun digelar. Petugas berseragam berdatangan untuk menertibkan. Seorang pedagang napak kesal saat lapaknya dipaksa kembali tutup. Tangannya melemparkan manekin kepala berkerudung. Kakinya menendang masuk barang dagangannya sendiri. Wajahnya merah padam. Bisa jadi keinginan untuk melawan itu ada, tapi nyali redup saat bayangan akan penjara melintas. Bukannya apa-apa, siapa nanti yang akan menjaga anak istrinya. 

Pilu ini sejatinya tidak perlu mereka rasakan. Bentrok atau adu mulut dengan petugas pun tidak akan terjadi, seandainya kebutuhan perut mereka ada yang menjamin. Bukankah kedudukan mereka sebagai rakyat adalah bak raja. Ada penguasa yang didaulat sebagai pelayan mereka (Red. Rakyat). Tapi kenapa pelayan tersebut justru berlaku kurang menyenangkan bahkan meyerang balik sembari menodongkan pisau kezaliman. Susah masuk di akal. 

Gambaran tidak ideal ini amat kontras dengan pengalaman sejarah. Saat duo Umar menjadi pemimpin kekhilafahan. Adalah mereka Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz. Keduanya menjadi refleksi indahnya praktek kenegaraan dalam sistem Islam. Yakni saat hak dan kewajiban pemimpin dan rakyat berjalan di atas syariat (aturan Alqur'an dan As sunnah). 

Bagaimana seorang Umar bin Khattab memanggul sendiri sekarung gandum untuk seorang ibu yang menjadi warganya. Ketika itu umar blusukan dan mendapati satu keluarga dalam kelaparan. Betapa hal tersebut menusuk hati sang amirul mu'minin. Meyakitinya sedemikian rupa, sehingga sekejap itu pula Umar bin Khattab menebus kelalaiannya, dengan mendatangkan sekarung gandum yang dipanggulnya sendiri.

Beratnya karung, angin dingin di malam hari yang menusuk, lelah kaki menapak di sepanjang jalan, tidak dihiraukan. Umar bin Khattab amat takut akan beratnya hisab atas kelalaiannya terhadap rakyat yang dipimpin. Satu keluarga saja mengusik hati, menjadi air mata dan penyesalannya. Bayangkan, jika beliau hidup saat ini, di negeri ini. Betapa banyak air mata yang ditumpahkannya. 

Tak jauh berbeda dengan sang kakek, Umar bin Abdul Aziz pun demikian. Meninggalkan kemewahan hidup sejak diangkat menjadi pemimpin. Bahkan di malam setelah pelantikannya. Umar bin Abdul Aziz membatalkan waktu istirahatnya ketika datang laporan dari sang anak akan permasalahan seorang warganya. Padahal lelah seharian setelah prosesi pelantikan, menggedor-gedor hasrat untuk terlelap. Teringat teguran dari ananda tercinta ketika Umar bin Abdul Aziz sempat mengatakan untuk menunda di keesokan hari. Sang anak menusuknya dengan satu pertanyaan. Apakah ayahnya yakin besok masih hidup sementara ada urusan yang belum diselesaikan. 

Dua tahun Umar bin Abdul Aziz memimpin, rakyatnya hidup dalam kesejahteraan, sampai-sampai tidak ada seorang warga pun yang mau menerima zakat. Tidakkah berbanding terbalik dengan tabiat kebanyakan masyarakat saat ini, yang cenderung agresif dan berebut saat ada pembagian sembako gratis. 

Jika saja di negeri ini, basis pemerintahannya menginduk kepada apa yang dahulu menjadi sandaran duo Umar, niscaya sejarah kesejahteraan itu akan terulang. Sistem Islam yang dijadikan pijakan akan mengantarkan siapapun yang berada di tampuk kepemimpinan untuk menjadi pemimpin idaman yang dicintai rakyat. 

Inilah sebabnya Allah menurunkan ajaran Islam. Untuk memandu manusia dalam berkehidupan. Dalam membina keluarga, membentuk masyarakat juga penataan negara. Mengabaikannya hanya akan mendatangkan sengsara, memancing dan  memelihara konflik, serta mengijinkan kepiluan juga segudang dilema memenuhi benak warga. Maka mari sudahi kecewa. Urusan perut akan beres, jika pengelolaan ekonomi negara dikembalikan sesuai konsep ekonomi Islam. Begitupun penanganan wabah, Islam memiliki mekanisme yang khas dan sistemik. 

Jika sudah begitu, rakyat akan taat, tunduk dan respek terhadap penguasa. Sedang penguasa pun akan dijamin masuk surga, selama mampu mengampu rakyat dengan baik. Inilah cara untuk memancing kedamaian agar hadir mengusir kisruh dan rusuh warga akibat pandemi Covid-19. 

Wallâhu a'lam bish-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post