Ironi Kurva Landai, Keselamatan Jiwa Taruhannya

Oleh : F Dyah Astiti

Publik kembali dikejutkan dengan pernyataan presiden RI untuk berdamai dengan covid-19. Menurut Presiden, masyarakat harus hidup berdampingan dan berdamai dengan covid-19.  Hal itu dilakukan karena informasi dari WHO yang menyatakan bahwa virus ini tidak akan hilang. Dari sini, masyarakat diajak beradaptasi untuk hidup normal tapi dengan standar yang memenuhi protokol kesehatan. Sering cuci tangan menggunakan sabun, menggunakan masker, menjaga kebersihan, mengonsumsi makanan yang bergizi. membawa hand sanitizer dan semprotan desinfectant. Selain acuan informasi dari WHO  bahwa virus ini tidak akan hilang. Pernyataan pemerintah ini mantab dikeluarkan karena pemerintah mengklaim pandemi COVID-19 berhasil dikendalikan. Klaim itu didasari kurva penambahan kasus baru yang terus menurun dalam beberapa hari. Pemerintah bahkan sudah bicara soal prediksi waktu kehidupan akan kembali normal (tirto.id,12/05/2020)

Namun menurut Tim Peneliti Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) menyatakan hingga saat ini Indonesia belum menampilkan kurva epidemi. Mereka meragukan klaim penurunan kasus Covid-19 yang disampaikan sebelumnya(theconversation, 8/5/20). Bagaimana mungkin dikatakan melandai namun kurva epidemi saja belum ditunjukkan. Sedangkan dalam membuat kurva epidemi diperlukan data-data yang akurat. Tidak cukup hanya sekedar jumlah kasus harian. Apalagi Indonesia mengalami keterbatasan dalam pengujian reaksi berantai polimerase(PCR), khususnya soal laboratorium dan reagen.

Hal itu senada dengan yang disampaikan oleh para pakar epidemiologi. Para pakar menilai klaim itu didasarkan pada kurva dan cara membaca data yang keliru. Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Syahrizal Syarif mengatakan setidaknya, penurunan kasus harus terjadi dalam waktu 14 hari untuk mengatakan wabah hampir selesai(tirto.id,12/05/2020). Keputusan pemerintah yang terlalu cepat menilai bahwa kurva epidemi telah melandai, justru akan menimbulkan masalah besar. Apalagi ketika itu tidak didasari data yang akurat. Bisa saja informasi kurva melandai di telan mentah-mentah masyarakat. Menjadikan masyarakat merasa aman untuk kembali beraktifitas untuk memenuhi kebutuhannya. Di tambah penggunaan diksi "damai" dengan covid-19. Belum lagi pelonggaran-pelonggaran yang terjadi, seperti moda transportasi. Hal ini berpotensi justru menjadikan kondisi semakin buruk bukan semakin mereda. Semua dilakukan semata-mata karena alasan ekonomi. Agar masyarakat kembali produktif.

Kondisi ini tentu sesuatu yang tak bijak. Menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi lebih utama dari keselamatan jiwa rakyat. Namun, memang seperti itulah ciri khas sistem kapitalisme. Sistem yang memandang manfaat adalah segalanya. Pertumbuhan ekonomi adalah yang utama. Meskipun mengkesampingkan keselamatan jiwa masyarakat.  Produktifitas masyarakat dalam perekonomian adalah sesuatu yang haru terus terpelihara. Negarapun hanya sekedar regulator yang kehilangan peran sebagai pengurus urusan masyarakat.

Kondisi tersebut sangat berbeda dengan Negara yang menerapkan Islam. Dalam Islam, pemimpin memiliki dua fungsi utama. Yaitu sebagai raa’in(pengurus) dan junnah (penjaga) bagi masyarakat. Fokus negara hanyalah mengurusi urusan masyarakat dengan islam. Termasuk menjaga keselamatan jiwa. Penerapan islam secara kaffah di seluruh bidang menjadikan negara sangat berhati-hati dengan kebijakan yang dikeluarkan. Karena setiap kebijakan akan dipertanggung jawabkan pada Sang pemilik kehidupan. Permasalahan mengukur kurva epidemi akan diserahkan pada ahlinya.  Sebelum membuat keputusan, pemimpin muslim akan menunggu hasil analisis dari para ahli. Agar kebijakan yang dikeluarkan tidak srampangan.

Wallahu a'lam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post