Surga Itu Disini

By : Yuli Mariyam

Udara dingin masih terasa begitu menggigit diantara lapisan kulit putih bersih yang berbalut sweater rajutan buah karya tangannya sendiri, selimut bulu yang tebal itupun masih setia menutup sebagian tubuhnya yang menggigil kedinginan di samping perapian. Ini sudah bagian sepertiga malam yang kedua, mata itu sebenarnya sudah mengantuk, tapi tetap bertahan membola dengan dzikir di bibir merah delimanya memohon keselamatan sang kekasih yang belum pulang juga semenjak siang tadi.

Tasbih pemberian suaminya masih berputar di genggaman, saat pintu rumah terdengar terbuka dengan kunci dari luar. Diyah menghentikan dzikirnya dan mengalihkan perhatiannya ke pintu, tampak sosok lelaki setengah baya mendorong pintu perlahan agar tak terdengar berderit.

“Assalamualaikum“ Diyah mengucap salam mengagetkan suaminya.

“Waalaikum salam, kok belum tidur?“ Khalil, suami Diyah menuju washtafel untuk mencuci kedua tangannya dengan sabun, setelah mengelapnya ia mengulurkan tangan dan disambut oleh istrinya dengan ciuman di punggung tangannya dengan takzim.

“Iya Kang, daripada tidurnya nggak tenang karena Akang belum pulang, mending Neng disini, nunggu” Jawab Diyah sambil menyodorkan ember untuk tempat pakaian suaminya yang harus segera dilepas dan direndam dengan air sabun, dingin namun harus dilawan, sedang Khalil berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.

‘’Sudah makan Kang?”Tanya Diyah sambil menyodorkan baju hangat untuk suaminya.

“Sudah, tadi di pengajian banyak disuguhin makanan, Neng sudah makan? Tadi bang Aslan bawakan sesuatu di motor Akang barangkali makanan, coba atuh di liat!” 

Diyah mengambil kerudung dan baju gamisnya di gantungan belakang pintu ruang tamunya, khusus ia sediakan jika ingin keluar rumah, ia paham bahwa menutup aurot bagi muslimah dengan khimar atau kerudung dan juga gamis adalah kewajiban yang di tetapkan Allah, maka iapun melakukan meski itu hanya di depan pintu rumahnya dan dalam keadaan gelap gulita, karena ia tahu Allah Maha Melihat.

Sesaat kemudian ia telah kembali dengan kantong plastik yang ia ambil dari sepeda motor Astrea 80an, yang meskipun butut tapi masih sangat terawat. Ia menuju meja makan dan melihat isi kantong tersebut, ada beberapa macam kue basah dan sebungkus nasi beserta lauknya.

“Alhamdulillah, insyaallah cukup buat sahur bertiga nanti Kang” senyum merekah di bibir Diyah.

Diyah berjalan memasuki dapur dan menghangatkan makanan yang sudah diterpa dingin di perjalanan tadi sembari menyajikan teh bunga belimbing dengan gula batu kesukaan suaminya. Khalil memasukkan sepeda motornya dan mengunci pintu rumahnya, dilihatnya putri semata wayang mereka Nadia telah tidur dengan pulasnya, Khalil tersenyum melihat putrinya yang telah beranjak remaja itu memeluk boneka bear berwarna merah jambu dengan selimut tebal menutupi hampir seluruh tubuhnya.

“Dia baru saja sejam yang lalu tidur, banyak tugas dari sekolahnya yang harus ia kerjakan dirumah selama sekolah masih mengambil kebijakan sekolah dirumah akibat wabah yang  belum sepenuhnya hilang, Akang sendiri bagaimana tadi saat di pengajian?, Neng berharap semoga ada perubahan dengan cara pandang para ulama disini”

“Iya Neng, Kyai Ja’far bilang habis ini kajian yang tadinya seminggu sekali akan ditiadakan dulu, kita akan ngaji lewat online untuk sementara waktu, beliau sanjang apapun jenis pertemuannya mau itu kopidarat atau dunia maya, kalau dimulai dengan basmallah dan diakhiri hamdalah dan doa kafarotul majlis itu sama, insyaallah tak akan hilang keberkahannya, apalagi didalamnya untuk menuntut ilmu agama, tadi juga saat memasuki ruang utama pondok disediakan ruang sanitiser dan memakai masker, saat duduk para santri diberi jeda satu meter, yang biasanya di dalam ruangan saja sudah muat, tadi sampai meluber ke halaman pondok, kata kyai ini bentuk ikhtiyar kita, yang kita sebut sebagai penyebab wabah juga makhluknya Allah, karena itu kita berlindung kepada Allah saja sambil tetap menjalankan apa yang disampaikan oleh para ahli kesehatan” Terang Khalil yang tetap disimak oleh istrinya.

“Iya kang, sudah sepertiga malam terakhir, Neng bangunkan Nduk dulu biar ikut qiyamullail bersama” Diyah menuju kamar tidur anaknya.

“Sayang, sholikhahku bangun yuk, kita qiyamullail dulu, nanti dilanjutkan sahur, katanya mau ikut puasa sunnah” belaian lembut di kepala putrinya membuat buah hatinya itu terbangun.  

Sambil mengucek matanya dan merenggangkan badan, Nadia membaca doa bangun tidur.

“Alhamdulillahilladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wailaihinnusuur”

“Aamiiin” Sahut ibunya yang kemudian menuju tempat wudhu disamping mushollah, Ayahnya sudah berada di mushollah, berdzikir.

Keluarga kecil itupun bermunajat bersama dengan merendahkan diri di atas cinta pada Rabbnya, mengurangi tidur malamnya demi bisa mencurahkan rindu dengan pemilik jiwa mereka, lantunan ayat suci menghiasi rumah sederhana itu, seakan terasa sejuta keberkahan disana.

“Ini adalah petengahan bulan sya’ban, bulan yang diapit dua bulan mulia, yaitu Rajab dan Ramadhan, ketuklah pintu-pintu surga itu dengan puasa, shalat dan qiamullail, saat orang terleleap dalam tidurnya. Ketuklah pintu-pintu itu dengan terus berharap, memohon dan berdo’a kepada-Nya.

Disampaikan oleh Abu Darda” Bersungguh-sungguhlah dengan berdoa, karena siapa saja yang mengetuk dengan sebanyak-banyaknya maka dipastkan Dia(Allah) akan membukakan pintu untuknya”, Semoga wabah ini segera berakhir dan kit dipertemukan dengan indahnya Ramadhan, Aamiin” Khalil berpesan.

“Aamiiin” ucap Diyah dan Nadia hampir bersamaan.
  
Menjelang waktu subuh mereka mengisi perut mereka dengan sunnah sahur, sholat subuh berjamaah dan melanjutkan hari dengan berpuasa. Karena pekerjaan mereka sekarang banyak dilakukan dirumah, jadi qailullah atau tidur siang mereka sudah cukup menggantikan tidur malam mereka. Subhanallah.

Post a Comment

Previous Post Next Post