Rezim Cuek, Rakyat Panic Game



Oleh : Nur Elmiati
Aktivis Dakwah Kampus dan Member Akademi Menulis Kreatif

Virus corona bak artis yang naik daun, popularitasnya makin tenar dari hari ke hari. Tidak sedikit yang memperbincangkan COVID-19 ini, bahkan menjadi topik terviral di seluruh penjuru negara, World Health Organitation (WHO) pun menetapkan bahwa COVID-19 sebagai sebuah pandemi global.

Penyebaran virus corona atau  COVID-19 di berbagai negara totalnya mencapai 141 negara yang mengonfirmasi terkena virus corona dan Indonesia merupakan salah satu dari negara yang positif terkena COVID-19. 

Hal ini teridentifikasi ketika presiden RI Jokowi mengumumkan pada masyarakat Indonesia, bahwa status dua Warga Negara Indonesia (WNI) Depok Jawa Barat positif corona. Penyampaian informasi tersebut membuat masyarakat Indonesia panic game, kehebohan atau panic game yang tengah terjadi membuat masyarakat memborong cairan antiseptik, hand sanitizer, masker, hingga sembako.

Namun anehnya, di tengah kepanikan publik merespon pengumuman corona, pemerintah malah memanfaatkan situasi ini sebagai ajang bisnis. Padahal bisnis yang diperjualbelikan berupa masker yang merupakan barang hasil sitaan dari penimbun. Hal ini perlu diketahui bahwa polisi  mengamankan 72 ribu lembar masker, yang sebelumnya mereka jual hampir 10 kali lipat dari harga normal. Satu dus berisi 50 lembar masker dijual Rp200 ribu, padahal harga normalnya hanya Rp22 ribu.

Dilansir oleh tirto.id (06/03/2020), kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Pol Budhi Herdi Susianto, mengatakan bahwa masker-masker ini akan dijual dengan harga normal. Dengan berdalih demi kepentingan umum, maka polisi menjual per paket berisi 10 lembar seharga Rp4.400. Harga ini telah ditetapkan bersama dinas kesehatan dengan mempertimbangkan harga jual di pasaran.

Melihat hal ini, akan sangat kentara sekali bahwa rezim memiliki watak korporatokrasi. Bagaimana tidak? Pemerintah malah memanfaatkan keadaan yang genting sebagai sumber mencari untung. 

Padahal pemerintah mempunyai peranan penting dalam mengurusi rakyatnya, dimana seharusnya eksistensi pemerintah menjadi garda terdepan dalam melindungi dan  menjamin keselamatan masyarakatnya, termasuk dalam kondisi seperti saat ini, agar masyarakat tidak panik terhadap pengumuman corona.

Tapi pada faktanya pemerintah tidak menempuh langkah-langkah untuk menghentikan sumber kepanikan masyarakat. Bahkan untuk menanamkan keyakinan publik bahwa pemerintah mengupayakan langkah antisipasi yang maksimal saja tidak, justru rezim menyalahkan kepanikan rakyat.

Hal ini terlihat sekali dalam tanggapan Terawan Agus Putranto selaku Menteri Kesehatan, ia mengungkap keheranannya terkait mengapa masyarakat begitu heboh dengan virus corona. Menurutnya, angka kematian penyakit flu biasa justru jauh lebih tinggi dari virus corona. (Pinterpolitik.co, 04/03/2020)

Seharusnya pemerintah bersikap pro rakyat dengan memberi jaminan keselamatan terhadap rakyat, bukan menyalahkan atas kepanikan rakyat.

Apatah lagi ditambah dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang ingin tenaga kerja asing (TKA) asal Cina untuk segera kembali ke Indonesia, dengan berdalih tidak ada larangan WHO bagi orang Cina yang datang ke Indonesia kecuali Wuhan Provinsi Hubei yang menjadi pusat wabah corona, dan sejumlah proyek Indonesia saat ini bergantung pada tenaga kerja asing asal Cina seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung hingga aktivitas produksi di Morowali, Sulawesi Tengah serta PT Vale Indonesia. (Tirto.id, 21/02/2020)

Alih-alih untuk menunjukkan respek terhadap rakyatnya, rezim malah cuek dan menginginkan tenaga kerja asing cina untuk kembali berkerja, sementara Cina merupakan sarang dari wabah virus corona. Tapi rezim lebih mengkhawatirkan dan mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan nyawa rakyatnya. Dengan melihat sikap rezim seperti ini, justru rakyat patut menyadari bahwa rezim yang sedang menduduki tahta di Istana adalah rezim sosialis berotak kapitalis, yang hanya memikirkan materi dan mengesampingkan nyawa manusia.

Tidak dapat dipungkiri lagi, pemimpin yang dilahirkan dari sistem demokrasi adalah pemimpin korporatokrasi, yang tidak memiliki empati apalagi belas kasih. Bahkan urusan nyawa pun didagangkan. 

Memang kematian merupakan sesuatu yang pasti dalam kehidupan ini, tapi mati dalam kondisi tanpa pengurusan yang baik dari pemimpinnya sungguh sangat menyedihkan. 

Lantas apakah mungkin pemimpin yang mampu meriayah rakyatnya terlahir dari sistem demokrasi? Tentu tidak. Pemimpin yang mampu mengurusi rakyatnya dengan baik hanya terlahir dari sistem khilafah yang menerapkan aturan Islam secara kafah.

Dalam Islam, khilafah akan memaksimalkan berjalannya fungsi riayah dan junnah bagi masyarakatnya. Khalifah yang menjadi pemimpin di Negara Khilafah dengan berasaskan aturan Islam, memandang bahwa kesehatan merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat baik muslim maupun nonmuslim. Maka pelayanan kesehatan akan disediakan oleh negara secara gratis, tanpa ada kapitalisasi serta eksploitasi kesehatan.

Di sisi lain, khalifah bersama aparaturnya dan umat muslim, diwajibkan untuk mencegah mudarat dan menciptakan kemaslahatan bagi manusia, termasuk dalam bidang kesehatan. Semua itu dilakukan atas dorongan kemanusiaan (qimah al-insaniyyah).

Wallahu’alam bi ash-shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post