Pendidikan Wanita Dalam Nalar Sesat Feminisme

Oleh ; Wulansari Rahayu S.Pd
Penulis 

Lima hak perempuan (Human Rights Of Women) yang dipromosikan oleh feminis dalam kesepakatan Global Beijing Platfrorm for Action (BPFA+25) di Indonesia salah satunya adalah hak perempuan dalam bidang pendidikan. Perempuan diharapkan mendapat kesempatan  yang sama dalam dunia pendidikan dan juga memiliki kesempatan  yang sama dalam produktivitas kerja. Tenaga kerja perempuan dituntut untuk memperoleh pendidikan tinggi sehingga perempuan juga mempunyai kecakapan dan keahlian untuk menentukan kualitas produksi dalam sebuah perusahaan.

Di Indonesia pada data BPS 2019 dilaporkan jumlah penduduk bekerja sebesar 129,4 juta. Dari jumlah tersebut didapat lulusan SD (41%) dan SMP (18%), artinya 58% penduduk Indonesia bekerja hanya berijazah SD/SMP dan sebagian besar yang masuk dalam 57% bekerja disektor informal. Sisanya SMA (18%), SMK (11%) dan Universitas (13%). Disamping itu terbatasnya lapagan kerja disektor formal yang disediakan pemerintah menjadikan banyak yang memilih sektor informal.

Sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja di februari 2019, data BPS mencatat angkatan kerja laki-laki mengalami kenaikan 0,17% sedangkan perempuan hanya 0,06%. Kenaikan ini masih dianggap kecil bagi para pengiat gensder sehingga mereka terus melantangkan suaranya agar perempuan di Indonesia mendapatkan kesempatan yang sama dalam bidang partisipasi kerja dengan laki-laki.

Ada beberapa hal yang konsen ingin diubah oleh feminis ini, yang dinilai sangat merugikan kaum perempuan di Indonesia. Salah satunya adalah larangan wanita hamil untuk sekolah. Peraturan ini dinilai diskiminatif terhadap perempuan. Mereka menganggap hal ini merupakan sebab tingginya angka putus sekolah bagi perempuan di Indonesia. Selain itu seharusnya tidak ada larangan dari Universitas negeri di Indonesia bagi para peyimpangan orientasi seksual seperti LGBT untuk menimba ilmu di sana.

Dalam pemikiran para feminis, pendidikan perempuan dijadikan sebagai value yang menghasilkan uang. Agar perempaun memiliki tempat yang sama dengan laki-laki dalam hal pekerjaan dan karier. Hal-hal yang dapat menghambat pemikiran tersebut akan dianggap sebagai diskriminasi terhadap perempuan. Misalnya saja Islam yang mewajibkan para perempuan mengasuh, merawat serta mendidik anak-anaknya dirumah dianggap sebagai bentuk pengekangan terhadap perempuan. Dalam pemikiran feminisme perempuan bebas dari beban mengasuh anak-anak dan bebas memilih untuk bekerja sesuai bidang keilmuannya.

Hal ini berbanding terbalik dengan Islam yang menjadikan pendidikan perempuan untuk menambah nilai takwa di hadapan Allah. Perempuan yang berpendidikn justru semakin patuh terhadap aturan syariat. Islam memposisikan perempaun sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Perempuan dimuliakan dengan peran strategisnya sebagai ummun warabbatu bayt. Perempuan dimuliakan atas tanggung jawab termulianya yaitu mencetak generasi emas untuk peradaban yang agung dan mengantarkan manusia ke peradaban tertinggi yakni peradaban Islam.

Dalam Islam perempuan dan laki-laki memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu. Untuk itu jauh sebelum para feminis meneriakkan ide kesetaraan gender, Islam telah lebih dulu menempatan kesamaan tersebut. Justru seluruh biaya akan diberikan gratis bagi para penuntut ilmu. Karena ini adalah tanggungjawab Negara, dalam hal ini Khilafah. 

Dalam Islam perempuan tidak dituntut untuk bekerja, apalagi sebagai pencari nafkah. Suami yang tidak mampu bekerja Karena hambatan fisik dan psikis maka nafkah perempuan menjadi tanggung jawab kerabatnya. Suami yang tidak memiliki pekerjaan akan diberikan lapangan pekerjaan oleh khilafah sehingga ia mampu menafkahi keluarganya. 

Walhasil, Islam mempunyai aturan yang indah bagi para perempua jika kita mau mempelajari dan menerapkannya dalam kehidupan. Perempuan yang hebat akan menghasilkan katurunan yang hebat pula, karena generasi cemerlang dambaan umat hanya akan lahir dari Rahim yany taat pada penciptanya, yakni Allah SWT. Wallahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post