SUKA DUKA MERAWAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

By : Muslihah Saiful

Hari Pertama Di Rumah Sakit 
Aku tak pernah membayangkan apalagi bermimpi menginap di rumah sakit terbesar di Jawa Timur ini. Tapi apa mau dikata, putri kecilku butuh perawatan. Dokter yang di poli anak tadi sampai tak bisa berkata-kata, bingung, sedih dan prihatin campur aduk jadi satu melihat kondisi putri kecilku.

Tubuh yang bagaikan tengkorak hidup, mata yang cekung, tak terlihat ada daging yang menempel ditubuhnya. Tepatnya hanya tulang berbalut kulit. Ia sangat jarang menangis, mungkin ia sudah biasa dengan rasa sakitnya. Sama seperti aku yang sudah tak punya air mata.  

"Ibu, mengapa baru sekarang dibawa ke rumah sakit? Jenengan habis mimpi apa atau dapat wangsit apa?" Dokter perempuan itu bertanya sambil tertawa, tapi aku merasa ia mau marah melihat kondisi putri kecilku.

Aku hanya tersenyum kecut. Sebagai orang ekonomi lemah macam kami, memasukkan anak untuk dirawat di rumah sakit butuh berpikir berulang kali. Selain harus meninggalkan anak-anak yang lain yang paling utama adalah biaya. Baik biaya pengobatan, maupun biaya hidup.

Suamiku seorang sopir di sebuah instansi swasta, gaji sebulan dua juta untuk menghidupi kami berenam. Kami punya anak empat semuanya masih kecil. Yang paling besar baru kelas empat SD. Selain itu anggaran BBM untuk motor suami, juga harus disisihkan, setiap hari harus perjalanan dari Sidoarjo - Surabaya.

Kalau kemudian kini kami putuskan merawat putri kecil kami di rumah sakit, itu hikmah beberapa waktu lalu ada wartawan ke rumah. Sehari sesudahnya berita tentang putri kecilku tayang di Metropolis Jawa Pos. Seorang dermawan datang ke rumah keesokan harinya, memberikan santunan, agar anakku dibawa ke dokter.

Usai mengurus administrasi putri kecilku dapat kamar. Sebuah kamar yang cukup luas dengan 10 bed di dalamnya. Anakku dapat sebuah bed dewasa sehingga aku bisa tidur disebelahnya. 

Dokter memasang sonde. Melewati sonde itulah susu dimasukkan ke lambung putriku.

"Tolong dijaga, ya Bu! Jangan sampai sondenya lepas," ujar dokter. Tapi dokter belum meninggalkan kami sonde sudah terlepas. Dilepaskan oleh putri kecilku. Mungkin ia merasa risih. Aku tak bisa bayangkan bagaimana rasanya, sebuah selang air minum dimasukkan ke lambung lewat hidung. Sedangkan ada kotoran hidung sedikit saja aku sibuk membersihkan.

Dengan sabar dokter memasang sonde baru. Agar tidak menarik sonde yang terpasang kedua tangan putriku kubungkus  dengan kaus dalamnya.

"Bikinkan sedikit saja, 100cc dulu, nanti secara bertahap ditambah" suster memberi arahan. Saat susu masuk ke perutnya serta merta putriku muntah, semua susu dimuntahkan.

"Suster, kenapa anak saya muntah?" tanyaku bingung. Tak disangka bukan jawaban yang kudapati, tapi suster itu membentak dengan suara yang sangat keras, hingga semua penghuni kamar memperhatikan kami. Kemudian suster itu berlalu meninggalkanku yang kebingungan.

Seorang suster lain datang, menasihati agar pemberian susu dikurangi, dicoba 50cc dulu. Nanti secara bertahap ditambah sedikit demi sedikit. Alhamdulillah susu tidak dimuntahkan lagi. Ya mungkin tadi terlalu banyak. Mungkin lambung putriku sangat kecil hingga tak mampu menampung 100cc susu formula.

Aku Tidak Sendirian 

Berada di kamar ini, tak beda dengan di tempat umum, karena tak ada pembatas antara bed satu dengan yang lain. Walhasil aku senantiasa mengenakan jilbab dan kerudung serta kauskaki setiap saat, meski tidur sekalipun, kecuali di kamar mandi.

Kebanyakan pasien di kamar ini adalah penderita demam berdarah, yang berasal dari kota Surabaya. Mungkin karena pasien dengan indikasi gizi buruk hanya putriku satu-satunya hingga bed putriku dipilihkan di pojok, mungkin maksudnya agar ada jarak dengan pasien lain.

Tapi itu hanya beberapa hari saja, saat sepi pasien. Saat ramai pasien, pernah sampai luber ke selasar rumah sakit. Hingga selasar penuh dengan penderita demam berdarah. Tapi pasien demam berdarah tidak lama, hanya tiga hari paling lama seminggu.

Jangan dikira putriku hanya diterapi dengan susu formula saja. Hampir setiap hari diambil darahnya untuk pemeriksaan laboratorium. Rasanya tak tega melihat tubuh kurusnya harus ditusuk jarum demi mengambil sampel darahnya. Tapi apa mau dikata, mungkin dengan demikian bisa diketahui apa penyakitnya.

Besarnya biaya perawatan, periksaan dan pengobatan tentu tidak sedikit. Dokter yang merawat menyarankan agar kami mengurus JamKesMas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) agar semua biaya dibayar oleh pemda.

Suamiku bersusah payah mengurusnya. Diawali minta surat keterangan tidak mampu dari desa, ke Puskesmas kecamatan, ke RSUD kabupaten hingga ke dinas sosial kabupaten. Semuanya harus dengan penuh kesungguhan dan perjuangan. 

Antrian yang tidak pernah  sedikit dan membutuhkan waktu yang lama. Akhirnya kami bisa mendapat JamKesMas tersebut. Alhamdulillah karena ternyata tidak semua bisa mendapatkannya.

Aku melihat banyak pasien dari berbagai daerah, dari Babat, Tuban, Pasuruan, Banyuwangi bahkan dari Kalimantan Timur. Dengan berbagai macam penyakit pula. Kalau pasien demam berdarah hampir semua berdomisili Surabaya.

Ada anak divonis leukemia, sebelumnya dirawat di rumah sakit swasta dengan biaya sendiri pula. Habis semua harta orang tua bahkan sampai harus menjual rumah. Dirawat di rumah sakit ini dengn fasilitas JamKesMas. 

Ada yang dari daerah tak tahu jenis penyakit anaknya, setelah dirawat dan diperiksa baru diketahui leukemia, menangis semua keluarga. Ayah ibunya sudah bisa menerima tapi kakek nenek dan saudara ayah ibunya shock mendengar kabar itu. 

Ada pula seorang bayi berusia tiga bulan, yang awalnya  disuapi dengan nasi dan pisang oleh neneknya, kemudian tak bisa BAB. Dibawa ke klinik di kotanya,  dan diterapi oleh paramedis dengan memasukkan alat ke anusnya, eh malah infeksi. Di rumah sakit ini dibikinkan lubang dari usus besarnya di perut, alhasil setiap hari kotoran keluar dari lubang itu.

Di ruangan lain ada anak menderita kanker hati, sudah agak besar. Jika sakit berteriak sekeras-kerasnya, tak jarang disertai sumpah serapah. Tentu sang ibu malu luar biasa, selain sedih yang tak terkira turut merasakan penderitaan anaknya.

Di ruangan lain ada anak yang entah kenapa kesulitan bernafas, dibikinkan lubang di lehernya langsung ke kerongkongannya. Duh, aku menundukkan hati dan pikiranku. Menghadapkan kepada Penciptaku, betapa ternyata aku tak sendiri. Banyak orang dengan diuji dengan penyakit anaknya.

Yang menjadi lebih pilu, saat mendengar ada anak berpulang ke haribaanNya. Pilu membayangkan anak kami meregang nyawa, pilu merasa kematian sangat dekat dengan anak kami. 

Apalagi ayah ibunya histeris merespon kepergian anaknya. Sampai pernah suatu hari mukenahku hilang dibawa orang. Berawal seorang ibu meratapi putranya yang tak sadarkan diri, kata orang koma. Si ibu tak membawa mukena tapi ingin sholat dan berdoa, kupinjamkanlah milikku. Saat itu mendengar kabar putranya meninggal, ia histeris dan tak sempat mengembalikan mukenaku, eh sama keluarga dirapikan dan dibawa pulang. Ya, sudah anggap saja sedekah. 😁

Tepat empat puluh hari aku berada di rumah sakit terbesar di Jawa Timur ini, kangen kepada anak-anak yang lain sudah pasti. Sementara besok satu Ramadhan, awal bulan puasa. Keadaan putriku sudah lebih baik, meski belum tahu apa penyakitnya. 

Berbagai tes sudah dijalani, bahkan ada profesor dokter yang mencurigai putriku mengidap AIDS di minggu pertama dirawat. Dengan hati-hati dokter yang merawat menyampaikan kepadaku agar bersedia dites darahku, jika memang aku positif, anak dan suamiku juga akan dites.

Bisa jadi jika orang lain akan tersinggung dan marah. Untuk apa aku tersinggung? Aku sangat yakin kami semua negatif, dan aku harus dites agar membuktikan dugaan profesor itu tidak benar. 

Sebelum darahku diambil untuk diperiksa di laboratorium, aku dibawa ke sebuah ruangan, diberi pemahaman.

"Anda kami periksa bukan tidak percaya jika anda wanita terhormat. Bukan tak mungkin pembawa virus itu suami anda. Tak jarang lelaki bertampang ustadz tapi di luar rumah siapa yang tahu" kata konselor itu. 

Andai bukan karena ingin segera selesai, mungkin sudah kutampar orang itu bicara sembarangan tentang suamiku. Aku tak menjawab selain menganggukkan kepala, berharap segera keluar dari ruangan itu. Dan hasilnya tes itu negatif seperti dugaanku. Alhamdulillah.

Selama empat puluh hari itu, anak pertama yang kelas empat dan anak kedua kelas satu, kutitipkan kepada guru home schoolingnya. Sedangkan anak ketiga kutitipkan kepada ibuku di desa. 

Selama itu delapan saudara beserta ipar dan keponakanku hanya sekali mereka menjegukku, itupun beramai-ramai rombongan. Begitupun dengan saudara suamiku. Ibu dan ayahku? Sekalipun tak pernah menjenguk.

Biarpun demikian aku tetap bersyukur, dimana suamiku selalu menemani kecuali harus berangkat kerja. Aku juga bersyukur diberi Allah kekuatan hingga tidak pernah mengeluh dengan keadaan ini. Terlebih lagi dalam keadaan demikian aku merasa sangat dekat dengan Rabbku. 

Menimbang bahwa keadaan putriku sudah berdaging tak lagi tulang berbalut kulit saja, serta rasa rindu kepada anak-anak, apalagi sampai selama empat puluh hari belum diketahui penyebab keadaan putriku dan terutama besok bulan Ramadhan, aku memutuskan untuk pulang paksa.

Opname Lagi
Meski di rumah, putri kecilku tetap mengkonsumsi susu formula lewat sonde. Aku sudah bisa memasang sendiri, akibat seringnya si kecil melepaskan sonde dari hidungnya. Dilepas oleh si kecil atau tidak, sonde harus diganti yang steril secara berkala, mengingat yang melewati sonde itu susu yang rentan basi dan sangat mudah ditempati bakteri.

Susu formula yang dikonsumsi bukan sembarangan susu formula. Tak dijual disembarang toko. Adanya di rumah sakit dan tidak sembarang pembeli bisa mendapatkannya. Sebenarnya dapat jatah dari Puskesmas susu yang sama, satu kotak setiap pekannya, tapi ya kurang. Hingga suami harus beli langsung di koperasi RS Dr Soetomo. Hanya harganya cukup tinggi. 😁

Alhamdulillah Ramadhan kami lalui bersama, tidak terpisah satu dengan yang lainnya. Lebaran seperti tak ada yang beda, bersilaturahim dengan orangtua. Baik orang tuaku juga mertua. 

Bahkan saat ada liqo Syawal keluarga pengemban dakwah, kami berenam bisa hadir. Meski dengan sonde melekat di hidung putri kecilku. Bahkan saat itu anak kedua yang kelas satu SD turut mengisi panggung acara. 

"Ma syaa Allah,surgawi," seru beberapa ibu memperhatikan putri kecil yang ada dalam gendongan. Terlihat tatapan iba dari mata mereka. Aku cuma biaa tersenyum kecut membalasnya. 

Dua bulan berikutnya.
"Adik panas dan sesak napas, Ayah" kataku kepada suami.
"Kita bawa ke rumah sakit"
Kami membawanya ke RSUD Sidoarjo. Kembali putri kecilku opname. 

Bed putriku, bersebelahan dengan bed penderita diare. Dan malam itu putriku diare hebat. Sebelumnya tak pernah seperti itu. BAB encer, lebih encer daripada susu formula. Aku membersihkan perlak dengan tisu kering, lalu kuakhiri dengan tisu basah. 

Hari kedua visite dokter, beliau bertanya 
"Bagaimana keadaan anaknya, Bu?"

"Alhamdulillah, Dokter, hari ini lebih baik"

"Apa kemarin tidak alhamdulillah?" tanya dokter. 

Aku tak bisa berkata-kata. Dokter tersenyum,
"Kemarin alhamdulillah juga, kan?"

"Iya, Dokter"

Memang apapun yang sedang menimpa kita, patut kita ucapkan 'alhamdulillah', segala puji bagi Allah. 

Bersyukur di hari ketiga sudah normal, tapi masih terlihat sesak napas. Dokter menyampaikan jika putriku harus dirujuk ke rumah sakit Dr Sutomo, karena ada kelainan di saluran pernapasannya.

Siang itu aku sendiri mengantar putriku ke rumah sakit terbesar di Jawa Timur itu. Dengan selang oksigen di hidungnya, diantar ambulan RSUD. Sampai di sana dirawat di IRD lebih dulu. 

Meski suamiku tak bisa menemaniku saat perjalanan dari RSUD Sidoarjo, hingga RSUD Dr Soetomo karena kerja sift pagi,  sepulang kerja langsung menyusul di IRD. Sampai tengah malam belum juga ada tanda-tanda pindah ke ruangan. Sementara di luar hujan deras disertai badai guntur. Mobil-mobil di parkiran ramai berbunyi alarmnya, karena terguncang oleh guntur yang sahut menyahut.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Teringat ketiga anak kami di rumah tanpa ditemani orang tua, suamiku pamit meninggalkan kami yang masih di IRD. Ditengah hujan lebat dan badai guntur. Dengan berat hati aku melepasnya. 

Aku berharap segera pindah ke ruangan. Kata dokter ruangan masih penuh. Berada di IRD aku tak bisa tidur, meski demikian aku bersyukur dan tenang melihat putri kecilku tidur lelap. 

Jam tiga pagi kami baru dipindah ke ruangan steril semacam ICU. Aku tak asing dengan gedung dan ruangan ini. Meski waktu opname yang lalu bertempat di ruangan biasa. Di sini penunggu pasien tak bisa tidur di bed pasien,  hanya disediakan satu kursi plastik.  Pasien hanya boleh ditunggu satu orang. Untuk yang terakhir tak masalah bagiku, toh aku selalu sendiri. 

Sampai di ruangan ini, aku bermaksud membuang sampah ke tempat sampah yang disediakan. Dan itu melewati tempat dokter jaga di ruangan itu. 

"Nurul, Dokter" kataku, saat kudapati dokter jaga itu adalah dokter Nisa, yang bertanggungjawab akan gizi putriku di saat opname yang lalu. Beliau terlihat sayang dan cukup dekat dengan putriku.

Tak menyangka bertemu di ruangan steril itu, dokter Nisa bersegera menengok putriku.

"Maaf, ya, Bu. Saya hanya berjaga malam ini, dan selanjutnya bukan saya yang merawat putri Jenengan" dokter Nisa berkata dengan hati-hati. 

"Ngge, Dokter. Saya mengerti"

Esok paginya ada dokter lelaki yang berperawakan tinggi, menengok dan langsung mengganti selamg oksigen putriku dengan yang model masker. Tapi putriku malah gelisah dan tak bisa tidur.

"Pakai yang nasal saja, Dokter" usulku.

"Ibu, ini anak ibu sesak napas, prosedurnya ya pakai yang ini"

Tapi putriku menjadi tak bisa tidur. Dokter lelaki itu memperhatikannya. 

"Baiklah, coba saya ganti yang nasal, ya"

Dokter mengganti selang oksigennya, dan putriku tenang kembali.

"Iya, ibunya benar. Anak ini tenang dengan yang nasal" gumamnya seakan bicara sendiri.**

Post a Comment

Previous Post Next Post