Iuran BPJS Kesehatan, Antara Jaminan dan Solusi Pendanaan

Penulis : Sumiatun 
(Komunitas Pena Cendekia Jombang)

Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) No 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah(PBPU). Pembatalan tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut atas gugatan uji materi terhadap Perpres No 75 yang diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Demikian dilansir dari kronologi.id, 10/03/2020.

Hal ini menjadi kabar baik bagi peserta BPJS Kesehatan dan membuat mereka sedikit lega. Namun sebaliknya, bagi Pemerintah justru putusan MA tersebut berdampak terhadap keuangan  BPJS Kesehatan dan kelangsungan penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dimana diketahui sebelumnya bahwa keuangan BPJS mengalami defisit dan berhutang ke pihak Rumah Sakit. Pemerintah nampak keberatan dan kesulitan dalam mencari solusi atas kerugian atau defisit operasional BPJS tersebut.

Menurut DPR, penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS untuk peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) kelas III yang jumlahnya mencapai 19,9 juta orang itu sangat memberatkan. Dan pemerintah diminta mencari solusi lain, seperti melakukan subsidi anggaran dan lain-lain.

Keruwetan keuangan dalam  BPJS Kesehatan  adalah bukti bahwa BPJS Kesehatan  bukanlah Jaminan layanan kesehatan oleh Pemerintah  bagi rakyat. Karena yang namanya Jaminan layanan kesehatan, untuk pendanaannya semestinya tidak  mengandalkan iuran dari pihak yang dijamin dalam hal ini rakyat, apalagi terkesan  dipaksa untuk membayar iuran dalam jumlah yang memberatkan tersebut. Lantas bagaimanakah solusi pendanaannya?

Islam telah mengajarkan bahwa kesehatan adalah termasuk kebutuhan utama rakyat, dan negara bertanggung jawab atas pemenuhannya. Negara wajib menjamin atas ketersediaan fasilitas dan layanan kesehatan bagi  rakyat. Pemerintah dalam sistem Islam, berfungsi sebagai Râ'in ( pelayan) umat. Pemerintah  akan memberikan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi masyarakat tanpa membedakan status sosialnya. Pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya atas dasar hukum syara', bukan atas dasar untung dan rugi.

Demikian pula untuk sumber pendanaannya, tidak seperti pada masa di sistem kapitalis saat ini, jaminan layanan  kesehatan hanya mengandalkan sumber pendanaan dari iuran peserta BPJS. Iuran bersifat wajib dan jika telat  belum membayar atau tidak mampu lagi membayar, maka tidak berhak mendapat jaminan pelayanan. Negara ibarat pedagang yang sedang melayani pembelinya. Ada uang rakyat berhak mendapat layanan, namun jika tak ada uang jangan harap mendapat layanan kesehatan.

Dalam sistem Islam anggaran untuk penyediaan fasilitas dan layanan kesehatan sepenuhnya ditanggung oleh negara. Kas negara dalam sistem Islam disebut Baitul Mâl. Dari baitul mâl inilah anggaran bidang kesehatan dikeluarkan sesuai kebutuhan umat. Sumber pemasukan Baitul Mâl berasal dari  ghanimah (harta rampasan perang), kharaj (pungutan atas lahan pertanian pada tanah-tanah kharajiyah kafir muahad), jizyah (pungutan pada kafir dzimmi), pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya; pemasukan dari hak milik negara, 'usyur (cukai perdagangan pada perdagangan luar negeri yang diterapkan atas warga kafir muahad dan kafir harbi yang melewati perbatasan negara sebagai tindakan yang semisal atas pungutan yang mereka kenakan pada pedagang muslim yang melewati batas negara mereka), khumus (seperlima harta rikaz), dan sumber pemasukan lainnya . Dengan sumber pemasukan yang banyak pada Baitul Mâl , negara dalam sistem Islam tidak akan merasa berat untuk mengeluarkan anggaran untuk menjamin kebutuhan kesehatan bagi rakyatnya.

Demikianlah, negara dalam sistem Islam menjamin kesehatan rakyat dengan berbagai sumber pendanaan yang ditangani  Baitul Mãl. Maka tak ada alasan bagi negeri ini untuk merasa berat beralih ke sistem yang terbaik dari Allah SWT  ini. 
Wallahu 'a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post