APD Terbatas, Tenaga Medis Bagaikan Prajurit Tanpa Senjata

Oleh: Eno Fadli
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Dunia semakin mencekam, pandemi virus Corona Covid-19 semakin hari semakin mengkhawatirkan. Sampai saat ini 26 Maret 2020 sudah tercatat 467.520 orang yang terinfeksi, 113.808 sembuh dan 21.174 meninggal, kasus di 198 negara. Di Indonesia sendiri tak jauh berbeda, semakin hari penyebaran virus semakin meluas. Hari demi hari bertambahnya jumlah kasus semakin meningkat, pada saat yang sama di Indonesia sudah mencapai 893 kasus, dengan 35 pasien sembuh dan 78 meninggal.

Semenjak Indonesia dinyatakan sebagai zona merah pada kasus pandemi Covid-19, serta semakin bertambahnya kasus pandemi tentunya membuat khawatir pemerintah, masyarakat bahkan tenaga medis. Tenaga medis yang menjadi garda terdepan disaat genting ini seakan mereka dihadapkan pada pertempuran yang menuntut mereka untuk bisa dengan optimal merawat dan menyembuhkan pasien  yang terkena virus. 

Bagaikan berpacu dengan waktu, mengharuskan mereka mereka bekerja 7 sampai 8 jam non-stop. Tuntutan besar yang diletakkan di pundak mereka tentunya hal ini mengharuskan tenaga medis ini menjaga kesehatan  dan sterilisasi diri. Sedangkan dalam prakteknya para medis menemui banyak kendala dalam penanganan pasien Covid-19, dari keterbatasan ruang pasien, keterbatasan tenaga medis bahkan sampai kepada  ketersediaan alat pelindung diri (APD).

Rumah sakit yang menjadi rujukan pemerintahpun mengalami kendala yang sama, mereka bahkan kekurangan baju pelindung, dan pada akhirnya mereka menggunakan jas hujan sebagai gantinya, contohnya saja RSUD WZ Yohanes, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dari keterangan salah seorang dokter di rumah sakit itu bahwa APD merupakan barang langka, bahkan rumah sakit tersebut sangat membutuhkan Viral Transport Medium (VTM) yaitu alat yang biasa digunakan untuk mengambil Swab dan Thermal Gun untuk mengukur suhu tubuh. RSUD Jailolo Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara pun mengalami masalah yang serupa, mereka kekurangan Disposable Gown, Goggles dan hand sanitizer (KontenIslam. Com, 24/03/2020). Hal serupa juga dialami oleh fasilitas-fasilitas kesehatan lainnya yang menangani pasien Covid-19.

Miris memang ketika fasilitas-fasilitas kesehatan dan tenaga medis menjadi garda terdepan, mereka tidak dilengkapi dengan perlengkapan yang memadai dari negara, padahal tenaga medis lah yang paling beresiko tertular dan terinfeksi virus. Negara hanya beretorika dalam penanganan yang optimal atas keselamatan rakyat, khususnya untuk para tenaga medis.

Baru-baru ini Presiden Jokowi memberi instruksi kepada jajarannya untuk memperbanyak Rapid Test dan tempat tempat melakukan tes, dengan maksud jika dilakukan tes cepat lebih bisa mendeteksi dini kemungkinan indikasi awal seorang terpapar Covid-19. Rapid Test ini diklaim lebih ekonomis di banding RT-PCR.

Padahal menurut ahlinya, Konsultan Genom di Laboratorium Kalbe, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo menyatakan bahwa metode Rapid Test untuk mendeteksi virus Corona yang menyebabkan Covid-19 tidak bisa dilakukan sembarangan, karena menurut nya Rapid Test ini hanya bisa mendeteksi penderita yang sudah terinfeksi 7-10 hari. Jika masa infeksi dibawah angka tersebut penderita masih bisa lolos dari pemerikasaan, “Jika kalau hasilnya positif tidak ada masalah, tapi kalau negatif hati-hati, karena belim tentu negatif, karena itu butuh waktu,” ujarnya (CNN.com, 19/03/2020).

Kembali lagi pada masalah dana, pertimbangan kebijakan yang diambil selalu terbentur pada perhitungan materi. Kebijakan yang diambil memperlihatkan bahwa pemerintah masih gagap dan lamban menghadapi pandemi yang terjadi. Pemerintah seharusnya tidak hanya mempersoalkan masalah dana dan dampak dari wabah, tapi juga harus memperhatikan masalah bagaimana cara mengatasi agar wabah bisa dihentikan penyebarannya. 

Cara sosial distancing tidak lagi efektif untuk menghentikan penyebaran, nyatanya semenjak kebijakan ini dikeluarkan masih saja banyak masyarakat yang membandel tetap nyaman dalam kerumunan tanpa pengaman sedikitpun. Tentunya ini akan menambah berat tugas tenaga medis karena resiko terpapar virus yang semakin tinggi. Untuk ini dibutuhkan kebijakan tegas dari pemerintah dengan kebijakan lockdown yang terbukti efektif mencegah penyebaran wabah.

Kepemimpinan yang kuat dari seorang kepala negara sangat dibutuhkan dalam mengatasi masalah yang terjadi akibat pandemi. Ia dapat menggerakkan semua elemen untuk bergerak bersama, harmonis dan maksimal. Baik itu dari elemen terendah yaitu masyarakat dengan menimbulkan kesadaran pada mereka akan bahaya virus, memberikan edukasi kepada masyarakat bawa dibutuhkan keterlibatan mereka, menjelaskan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sangatlah dibutuhkan untuk menghambat meluasnya penyebaran virus dan jika kerjasama itu tidak dilakukan ditakutkan tidak akan bisa lagi menghentikan penyebaran wabah dan tentunya akan menambah korban, hal ini bisa dilakukan lewat media kabel dan nir-kabel.

Pemerintahpun mengerahkan dan memaksimalkan sumberdaya yang dibutuhkan baik itu dari segi pendanaan, misalnya jika penanganan pandemi ini membutuhkan dana, pemerintah mengeluarkan dana dari APBN untuk kebutuhan menangani pencegahan virus, baik itu pendanaan buat segala yang dibutuhkan tenaga kesehatan atau pun untuk kebutuhan masyarakat, penanganan ini sampai kebutuhan pada masa terjadinya wabah tercukupi dan tanpa ada pembatasan. 

Namun sayang kepemimpinan seperti ini tentunya tidak akan ditemukan pada pemerintahan kapitalis, karena pemerintahan kapitalis selalu akan berorientasi kepada untung rugi bukan berorientasi pada kemashlahatan rakyat. Kebijakan-kebijakan komprehensif akan kita temui dalam pemerintahan Islam, dimana pemerintah Islam akan selalu mengeluarkan kebijakan preventif dan kuratif sesuai dengan rambu-rambu Islam.

Dimana kebijakan preventif dalam Islam dalam menangani wabah agar tidak semakin meluas yaitu dengan metode karantina atau lockdown.

Seperti diriwayatkan dalam hadits:

إذا سمعتم با لطاعون بأرض فلا تدخلوها، واذا
وقع بأرض وأنتم بها فلا تخرجوا منها

Artinya: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya.Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.”
(HR. Bukhari).


Begitupun dengan kebijakan kuratif yang dikeluarkan akan selalu memperhatikan masalah kemashlahatan rakyatnya, dengan mencukupi kebutuhan rakyat selama pandemi berlangsung, sampai pada keselamatan dari setiap individu dalam pemerintahan Islam.

Wallahu a’lam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post