Melepas Rantai Gajah Demokrasi

By : Endang Rahayu, Apt

Tertangkapnya Wawan setiawan selaku komisioner KPU dalam operasi tangkap tangan KPK semakin membuka borok praktik pemilu di pertengahan 2019 lalu. Tentu kejadian ini sangat disayangkan mengingat banyaknya korban berjatuhan untuk pelaksanaan pesta demokrasi tersebut.  Belum lagi biaya yang sangat besar sudah dikeluarkan demi mendapatkan pemimpin baru. Sayangnya bukannya menyadari wajah demokrasi yang sebenarnya, tokoh-tokoh umat menyebut aksi ini sebagai pengkhianatan demokrasi.  Dikutip dari Tempo.co Lili Pintauli selaku pimpinan KPK mengatakan bahwa persekongkolan antara oknum penyelenggara pemilu dengan politisi adalah pengkhianatan atas demokrasi yang telah susah payah dibangun dengan  biaya yang sangat mahal.

Perselingkuhan antar lembaga di sistem demokrasi telah banyak terjadi. Bukan hanya KPU, lembaga utama trias Politica telah lama menjadi pemain utama dalam bisnis korupsi besar-besaran ini. Tentu kita ingat berita yang menghebohkan ketika terjadi korupsi berjamaah yang dilakukan 41 dari 45 anggota DPRD kota malang. Bahkan menurut ICW kini tercatat ada 254 anggota dewan yang tersangkut kasus korupsi dan ada 119 kepala daerah yang juga menjadi tersangka korupsi. Terakhir yang menimpa lembaga eksekutif yaitu tertangkapnya menteri pemuda dan olahraga (menpora) Imam Nahrawi.

Melihat fakta yang kian memprihatinkan ini, tentu perlu kita cari tahu penyebabnya, bukan semata berlindung dengan dalih bahwa negeri ini belum benar-benar berdemokrasi atau ini adalah pelanggaran terhadap demokrasi. Mengingat pepatah  gajah di pelupuk mata tak terlihat, harus disadari penyebab utama  permasalahan adalah demokrasi itu sendiri. Sudah cukup negeri ini membayar mahal atas pelaksanaan demokrasi puluhan tahun, sudah saatnya umat tidak terperosok dalam lubang yang sama lagi.

Faktanya, masyarakat memaknai demokrasi hanya sebatas sarana memilih pemimpin. Praktik demokrasi dinilai hanya terbatas pada pemilihan umum untuk mendapatkan pemimpin baru. Adapun makna yang sebenarnya sengaja ditutup-tutupi oleh agen yang mengemban pemikiran demokrasi itu, baik dari kalangan asing maupun kaum muslimin sendiri. Banyak ulama muslim yang dengan niat baik ataupun buruk berusaha menutupi tafsir sebenarnya dari demokrasi.

Demokrasi sendiri adalah paham yang memaknai bahwa hak untuk membuat dan melegislasi hukum adalah rakyat bukan Allah Rabbul alamin. Sehingga dalil ayat konstitusi lebih tinggi dari ayat-ayat Allah harus dibenarkan. Bagi seorang muslim yang taat, tentu tidak ada yang yang akan menerima demokrasi dengan makna seperti ini. Untuk itulah penjajah sengaja mengaburkan makna demokrasi menjadi sebatas pemilihan pemimpin saja.

Rantai pemikiran demokrasi ini telah lama ditanamkan penjajah dinegeri-negeri kaum muslimin. Sejak khilafah kaum muslimin runtuh, segala perubahan bentuk pemerintahan dan penguasanya tidak merubah intinya bahwa hak untuk membuat hukum diberikan pada manusia atau segelintir manusia. Sementara itu juga tak terjadi perubahan berarti ke arah yang lebih baik dalam kehidupan kaum muslimin yang mentabani paham demokrasi ini. Tapi, tak pernah demokrasi dijadikan sumber permasalahan dengan dalih negeri ini masih terus berproses menjadi lebih demokrasi. Kaum muslimin dihipnotis dengan rantai bernama demokrasi. Bahkan dengan wajah yang sebenarnya, umat masih saja tertipu.

Allah telah berfirman dalam surat Al-An'ām : 57
 ۚ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ 
"…Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah..." 
Beserta puluhan ayat lainnya dengan gamblang menjelaskan hanya Allah SWT yang berhak untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, menentukan baik dan buruk, terpuji dan tercela dan segala aturan lainnya. Maka, muslim harus segera hijrah dan memutus rantai gajah yang sudah sedemikian erat dan mengambil tali ikatan yang mulia yaitu akidah Islam untuk menyelesaikan segala permasalahan manusia. Maha benar Allah dengan segala firmanya. 
Wa'allahualam bish shawabi.

Post a Comment

Previous Post Next Post