Pariwisata, Untung atau Buntung?

By : Novianti

Indonesia bak zamrud khatulistiwa menggambarkan keindahan alam Indonesia yang begitu mempesona.  Tak ayal Indonesia terprovokasi untuk menjual keindahan  alamnya lewat bisnis pariwisata. Bisnis yang menggiurkan karena dapat menghasilkan pundi pundi dari para turis yang addict terutama pada wilayah eksotis seperti Raja Ampat, Geopark Ciletuh Sukabumi. Bisnis yang dianggap dapat menjadi sumber devisa negara karena menarik para wisatawan mancanegara.

Dan tahun 2020 Indonesia mentargetkan akan makin gencar mempromosikan pariwisata ke negara-negara Amerika dan Eropa (Bisnis.com, 25/11/2019). Dan salah satu strateginya adalah adat budaya setempat makin didorong untuk meningkatkan daya tarik. 

Berbagai destinasi pariwisata baru pun dibuka dan ini membutuhkan dana untuk mendongkrak nilai jual terutama pembangunan infrastruktur dan berbagai fasilitas seperti hotel berbintang.

Semboyan tourism is a key of economic growth membuat negara tak segan berhutang untuk mengembangkan layanan dan infrastruktur dasar pariwisata.

Sumber pembiayaan dari hutang dianggap normal demi investasi yang menggiurkan. Realitas ini  dianggap normal, karena dalam sistem kapitalisme, hutang tidak bisa dinafikan. 

Namun bagaimana faktanya? Meski sektor pariwisata telah menyumbang  devisa yang semakin besar setiap tahunnya  tapi mampukah sektor pariwisata menyejahterakan negeri dan rakyat terutama warga sekitar destinasi pariwisata? Apakah bisnis di sektor pariwisata ini untung atau sebaliknya malah buntung? 

Faktanya banyak daerah wisata yang justru sudah dikuasai oleh para pemodal yang datang dari luar bahkan bukan warga negara Indonesia. Tidak sedikit penduduk lokal yang awalnya pemilik tanah harus menjual tanahnya dengan harga murah karena tekanan atau tak mampu bersaing dengan pemodal lebih besar. Sehingga yang terjadi mantan pemilik tanah berubah jadi pegawai rendahan berseragam atau buruh.

Yang lebih membahayakan adalah serbuan pemikiran liberal yang sedikit demi sedikit mengikis aqidah masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Sebagai contoh Lombok yang dikenal sebagai pulau 1000 mesjid. Namun penduduknya  dengan terpaksa harus menyaksikan umbar aurat terutama di daerah pantai. Penguasa daerah tidak mampu membuat regulasi agar para wisatawan asing berpakaian sopan. Kepentingan masyarakat harus dikorbankan demi mengeruk uang. Padahal yang menyaksikan termasuk anak anak hingga balita.

Secara perlahan terjadi perubahan gaya hidup, cara bicara, berpakaian hingga toleran pada perilaku wisatawan termasuk perilaku sex bebas,  penyuka sesama jenis. Terjadi gegar budaya, lalu masyarakat makin ramah terhadap perilaku liberal.  Perbuatan menyimpang dianggap biasa sebagai konsekwensi menjadi daerah tujuan wisata. 

Dengan makin gencarnya negara mempromosikan pariwisata artinya para wisman dengan pemikiran liberalnya kian melenggang dan ini berpotensi membawa bencana. Pemikiran rusak demikian mudah merasuk apalagi di tengah aqidah masyarakat yang lemah, kepentingan ekonomi akan  mengalahkan kepentingan agama. Ini adalah bencana kehidupan di masa depan. 

Jelas bahwa sektor pariwisata yang dipraktekkan sekarang dari pandangan  islam bukan sektor yang menguntungkan justru membawa banyak kerugian. Alih-alih untung malah buntung.  Membuat penduduk setempat lebih sejahtera hanya impian.  Yang terjadi justru penjajahan terselubung baik dari segi ekonomi maupun pemikiran.  Penduduk setempat hanya menjadi obyek dan pekerja dari para pemilik modal. Pola pikir sekuler liberal terinfiltrasi secara perlahan.  Aqidah menjadi taruhan yang ujungnya pasti mengundang bencana dan murka Allah. 

Pariwisata Menurut Islam
Dalam islam, kebahagiaan bukan dilihat dari materi melainkan hidup dalam ridlo Allah artinya semua aktivitas mengikuti aturan Allah. Sehingga tidak ada istilah boleh melanggar agama demi meraih materi. Dan  seorang pemimpin negara  memiliki kewajiban mengurus rakyatnya agar sejahtera dengan aqidah yang tetap terjaga. 

Keindahan alam adalah anugrah dari Allah yang harus dijaga. Mentafakkuri keindahan alam dianjurkan untuk merenungi kebesaran Allah. Sehingga negara membolehkan  bagi siapapun untuk menikmati keindahan alam melalui kegiatan wisata. Namun, tujuan utama  pariwisata adalah sebagai sarana dakwah dan di’ayah (propaganda). Menjadi sarana dakwah, karena manusia biasanya akan tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam. Tafakur alam akan menjadi sarana untuk menumbuhkan atau mengokohkan keimanan pada Allah SWT. Menjadi sarana propaganda (di’ayah), untuk meyakinkan siapapun tentang bukti-bukti keagungan dan kemuliaan peradaban Islam. Pariwisata dikelola berlandaskan pada hadharah Islam sehingga tidak ada pertunjukkan atau atraksi atas nama adat dan budaya yang didalamnya ada pelanggaran  aqidah dan syariah..

Sehingga  islam  melarang pembiaran pembukaan destinasi yang  bakal menginfiltrasi  nilai yang merusak akidah dan akhlak umat.  Islam melarang kerja sama dan tidak akan memberi celah pada negara-negara yang jelas melakukan propaganda ingin menghancurkan islam. Meski diiming imingi atas nama bisnis menguntungkan.  Karena pariwisata bukan sumber devisa utama, yang membuat negara jadi   permisif demi menggenjot pemasukan. Negara memiliki  sumber devisa utama dari pos fai-kharaj, kepemilikan umum dan pos sedekah. 

Jelas paradigma parawisata yang saat ini  dilakukan  jauh menyimpang karena telah dieksploitasi sebagai pemasukan negara dan  terjadi pengabaian terhadap perlindungan aqidah karena kepentingan bisnis lebih utama. 

Mampukah pemimpin negara sekarang melakukan perubahan secara fundamental dalam sektor pariwisata ini? 

Post a Comment

Previous Post Next Post