Menemani Permata Hati Melewati Masa Pubertas

Oleh: Tawati 
(Pemerhati Masalah Anak dan Remaja, Aktivis Muslimah dan Pelita Revowriter Majalengka)

Seorang kawan bercerita, bahwa putri kecilnya sekarang sudah memasuki usia remaja. Kami jadi tersenyum. Alhamdulillah, selamat juga buat para ayah, jika anak perempuannya kini sudah menjadi seorang gadis dewasa. Atau bagi para orangtua yang saat ini putrinya belum menginjak dewasa, semoga tulisan dari Ustazah Dedeh Wahidah ini bermanfaat.

Masa pubertas biasanya dianggap sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini anak sudah mulai meninggalkan karakter anak-anak dan sedang berproses menuju gerbang kedewasaan. Pubertas permulaan dari masa kedewasaan. Pada masa ini proses pertumbuhan dan kematangan berlangsung lebih intensif. Selain terjadi kematangan seksual dan pertumbuhan fisik, dalam masa ini juga terjadi perkembangan sosial, emosional, kognitif dan kepribadian yang berlangsung terus-sampai sempurna masuk ke jenjang dewasa.

Dalam terminologi fikih Islam, masa pubertas dikenal dengan fase balig. Istilah balig sering digandengkan dengan kata akil, sehingga dikenal akil balig. Seseorang dikatakan sudah akil balig saat akalnya sudah berfungsi dengan sempurna untuk membedakan dan memilih mana yang baik/benar dan mana yang buruk/salah.

Balig adalah salah satu syarat seseorang dibebani taklif/beban hukum. Sabda Rasulullah Saw: “Pena-pencatat amal-itu diangkat dari tiga; dari anak kecil sehingga ia dewasa (ihtilam); dari orang gila sampai sadar; dan dari orang yang tidur sampai bangun.” (HR Sunan al-Baihaqi, VI/57 dan dan Nayl al-Awthar, I/349).

Firman Allah SWT dalam Quran Surat an-Nur [24] ayat 59 juga menegaskan bahwa ketika seorang anak sudah mencapai usia balig, ia terkena hukum meminta izin ketika hendak memasuki kamar orangtuanya.

Batas awal masa balig itu relatif, tidak bisa disamakan. Umumnya terjadi pada umur 9-16 tahun bagi lelaki dan perempuan. Imam Syafii menetapkan 15 tahun sebagai usia balig. Namun, ada balig lebih awal dan ada juga yang melebihi batas tersebut.

Konsekuensi Balig

Balig, tidak hanya menyebabkan perubahan fisik atau psikis, tetapi juga berpengaruh pada kewajiban dia memenuhi seruan Allah SWT. Sesaat setelah anak menjadi balig, dia berkewajiban terikat dengan hukum syariah. Semua yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan sendiri. Karena itu jika orangtua ingin mengoptimalkan kasih sayangnya pada anak, dia harus mendampingi anak sukses melewati masa balig/pubertasnya. Sukses di sini, berarti anak siap memikul beban hukum dan bertanggung jawab terhadap apapun yang dia lakukan.

Mengantarkan anak memasuki masa balig tidaklah instan. Upaya ini merupakan proses panjang yang menyatu dan berbarengan dengan tumbuh-kembang anak sehingga harus dimulai sejak fase awal perkembangan anak.

Peran Orangtua

Pertama: Memberikan pemahaman tentang hakikat penciptaan manusia. Orangtua berkewajiban untuk membantu anak mengenali siapa dirinya. Dia adalah makhluk Allah, yang sebelumnya tidak ada. Dia diciptakan oleh Allah dengan dinugerahi berbagai kenikmatan. Dia mengemban misi kehidupan untuk beribadah kepada Penciptanya (QS al-Baqarah [2]: 28; adz Dzariyat [51]: 56).

Orangtua juga harus menjelaskan bahwa kehidupan di dunia ini tidak kekal. Semua manusia memiliki batas akhir kehidupannya (ajal). Suatu saat dia akan kembali kepada Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan semua yang sudah dilakukan di dunia. Karena itu, kita harus beriman kepada Allah dan menaati seluruh aturannya(QS al-Baqarah [2]: 21, 22, 25, 28, 29).

Target dari proses ini adalah anak paham (bukan hanya sekadar tahu) bahwa keterikatan dia pada aturan Allah adalah wujud dari keimanan dan bukti rasa syukur atas anugerah yang telah Dia berikan. Anak melakukan apapun perintah Allah dengan sukarela dan jauh dari keterpaksaan

Kedua: Mengajari anak tentang hukum-hukum syariah sehingga mereka terikat dengan aturan Allah SWT. Beberapa hukum syariah yang mesti dikenalkan pada mereka antara lain: batasan aurat, konsep pergaulan, ibadah mahdhah, seputar thaharah, dan lain-lain. Kita harus menjauhkan pemahaman Barat bahwa remaja harus diberi kebebasan dan toleransi karena mereka sedang mencari identitas diri.

Ketiga: Membangun pola komunikasi dan hubungan yang harmonis antara orangtua dan anak. Keberhasilan menanamkan pemahaman bergantung pada keberlangsungan komunikasi yang baik antara orangtua dan anak. Tak sedikit orangtua merasa sulit berkomunikasi dengan anak remaja. Akibatnya, apa yang disampaikan kepada anak tidak dipahami anak, diterima dengan persepsi yang salah, atau mungkin malah menyebabkan gap dengan anak.

Komunikasi yang baik harus dilandasi rasa cinta kasih dan merupakan wujud tanggung jawab orangtua atas amanah yang telah Allah berikan kepada mereka; bukan komunikasi yang didasari perasaan berat, kesal, apalagi dipenuhi kebencian. Komunikasi demikian akan melahirkan sikap sayang, percaya, hormat, dan taat pada diri anak kepada orangtuanya.

Keempat: Melakukan pengawalan dan pendampingan perkembangan naluri anak. Idealnya, tatkala anak balig, dia sudah mampu mengemban taklif untuk melaksanakan keterikatan pada hukum syariah. Namun, kehidupan sekarang didominasi kapitalisme-liberalisme. Di dalamnya, banyak faktor yang mempercepat kematangan biologis seperti tayangan film, lagu-lagu, bahkan pergaulan bebas yang langsung disaksikan anak-anak diakui sebagai salah satu pemicu anak terlalu dini “dewasa biologis”. Di sisi lain, sistem pendidikan sekular tidak memberikan bekal yang cukup kepada anak untuk memasuki masa dewasanya.

Sungguh ironis, remaja sudah balig tetapi dipandang masih anak-anak. Mereka masih ditoleransi melakukan pengabaian hukum syariah gara-gara masih dipandang sebagai anak yang harus dimaklumi. Padahal tidak sedikit mereka yang melakukan pelanggaran layaknya orang dewasa seperti pencurian, seks bebas, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Antisipasinya, kadar pendidikan yang ditanamkan dalam keluarga harus optimal dalam membentuk pola pikir dan pola sikap yang Islami.

Dengan begitu akan terwujud kepribadian Islami dalam diri anak kita. Orangtua semestinya menjadi pihak yang paling dekat dengan anak. Ini karena orangtualah yang menyayangi mereka dengan tulus. Orangtua juga yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Kelima: Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Dia harus berinteraksi dengan orang lain. Demikian juga dengan remaja. Mereka memiliki lingkungan yang turut mempengaruhi proses perkembangannya, baik teman-temannya, sekolah maupun keluarga.

Orangtua harus memahami semua yang akan memberikan pengaruh kepada anaknya. Dia pun harus melakukan kerjasama dengan pihak-pihak tersebut supaya perlakuan yang telah diberikan orangtua sejalan dengan yang dialami anak di lingkungannya. Jangan sampai semua yang telah ditanamkan orangtua dirusak oleh pengaruh lingkungan yang salah.

Keenam: Memberikan contoh yang baik. Masa remaja kadang disebut sebagai masa mereka mencari identitas diri dan masa yang sarat dengan pengidolaan. Remaja sekarang banyak meniru gaya artis dan bercita-cita menjadi seperti mereka. Inui karena informasi tentang kehidupan para artis ini gencar mereka lihat dan mereka dengar. Sebaliknya, sejarah para nabi, sahabat, ulama serta orang-orang salih minim mereka dapatkan. Karena itu orangtua wajib memberikan informasi tentang kehidupan para nabi, ulama, dan pahlawan-pahlawan Islam dengan gaya menarik.

Meraih Pahala di Balik Kesulitan

Menghadapi anak remaja bukanlah perkara mudah. Perlu pengetahuan dan kemampuan yang disiapkan supaya sukses mengantarkan mereka memasuki gerbang kedewasaan. Beberapa hal yang penting dilakukan:
1. Orangtua harus menyadari bahwa anak adalah amanah dari Allah. Karena itu kita harus berupaya sekuat tenaga supaya melaksanakan amanah ini dengan sebaik-baiknya.
2. Baik-buruknya masa depan anak dipengaruhi oleh pendidikan yang diberikan orangtua. Rasulullah saw. Bersabda, “Tidaklah seseorang yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Orangtuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR Muslim).
3. Anak dapat menjadi fitnah (QS at-Taghabun [64]:15) sehingga dalam mendidik anak pasti banyak kendala dan ujian. Kita pantang menyerah karena yakin bahwa di balik semua kesulitan itu ada pahala yang menanti.
4. Seberat apapun tanggung jawab mendidik anak, Allah pasti memberikan kemampuan pada orangtua untuk melakukannya (QS al-Baqarah [2]: 286).
5. Senantiasa berdoa kepada Allah supaya dikaruniai anak yang shalih(QS al-Furqon [25]: 74).
6. Memupuk ketakwaan dan kesabaran serta menegakkan shalat untuk memohon pertolongan Allah (QS ath-Thalaq [65]: 2; al-Baqarah [2]: 153-157).
7. Terus menambah ilmu dan tsaqafah Islam sebagai bekal dalam mendidik anak.
8. Terus berjuang untuk mengenyahkan sistem yang merusak anak (kapitalisme-liberalisme) dan menggantinya dengan sistem yang akan melindungi anak, yakni sistem Khilafah Islamiyah.
Wallahua'lam[].
Sumber: Al-Waie 01 November 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post