Membangun Batasan

By : Novianti

"Bu,  saya mau hapus garisnya..," rengek seorang santri sambil menangis karena garisnya bertambah pada bagian tidak mengikuti halaqoh dengan tertib.  Di kesempatan yang lain seorang santri tidak mau memberikan format muhasabah  karena khawatir jumlah garisnya bertambah. “Nanti garisnya tambah banyak, sekarang saja sudah 15.” Semakin  banyak jumlah garis berarti semakin banyak aturan yang  dilanggar.

Inilah  sedikit dari respon para santri setelah kami menyampaikan bahwa semua pengampuh akan menilai sikap perilaku mereka selama di sekolah.  Ini dilakukan mengingat mereka sudah berada dalam fase mumayyiz, fase dimana anak harus sudah bisa membedakan mana yang benar dan salah. Anak harus belajar tentang batasan sehingga ia mulai menghargai hak dan kebutuhan orang lain serta belajar berempati.

Mengkomunikasikan batasan pada anak memang tidak mudah bahkan seringkali muncul penolakan atau perlawanan. Memang butuh kesabaran dan negosiasi "alot" sehingga  anak mau belajar menerima aturan dan konsekwensi. Perlu pemilihan kata yang tepat  agar anak bisa mencerna bahwa kebiasaan mereka hari ini menentukan bagaimana dan siapa mereka 5 tahun, 10 tahun ke depan.

Karena itulah sebelum format muhasabah diberlakukan, para pengampuh mensosialisasikan terlebih dahulu dan memastikan para santri memahami semua aturan.  Lalu mendiskusikan bahwa perbuatan yang tertulis adalah adab yang buruk. Dengan kata lain, jika mereka melakukan artinya mereka suka pada adab yang  buruk sementara Allah menyukai hamba hambaNya yang berakhlak baik. Lalu apa manfaatnya menghapal Al Quran jika tidak bisa merubah perilaku.

Dan yang ditegaskan bahwa format muhasabah hanyalah penilaian manusia. Bisa jadi ada anak berperilaku tidak baik tidak terlihat sehingga tidak tercatat. Namun Allah Maha Melihat  dan setiap manusia ada malailat penjaganya.  Dengan format muhasabah, terlihat bagaimana perilaku anak dalam setiap pekan. Namun, bagaimanapun penilaian anak, mereka harus paham satu-satunya penilaian yang sempurna dan adil adalah penilaian dari Allah Subhana wa Ta’ala.

Tips Mengenalkan Batasan
Tidak sedikit orang tua yang mengeluh ,"Kenapa anak saya susah diatur?" Atau ,"Anak saya sudah dikasih tahu berkali-kali tidak nurut malah sering melawan?" 

Sebelum menyalahkan anak, sebagai orang tua perlu bertanya, apakah anak sudah memahami harapan mereka, apakah anak sudah diberi tahu tentang aturan main di dalam dan di luar rumah.   Bisa jadi anak berperilaku tidak baik karena memang tidak tahu.

Mengkhawatirkan jika anak tidak diberi tahu aturan di meja makan, aturan bermain, aturan meminjam ,  tidak boleh bicara kasar, tidak boleh menyakiti orang lain dengan ucapan dan perbuatan.  

Dampaknya anak tidak memahami batasan dan berbuat semau-maunya. Tanpa disadari jika membiarkan anak hidup tanpa batasan dapat membahayakan anak sendiri. Sebaliknya jika anak sudah belajar mengendalikan diri sejak dini, ia lebih kooperatif dan menunjukkan sikap penghormatan pada orang lain, memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin diperlakukan.

Ada beberapa yang bisa dilakukan untuk "memaksa" anak menjadi  baik tanpa perlu berteriak, mengeluarkan ‘tanduk’ atau emosi: 
1.  Tentukan batasan.  Jelaskan pada anak batasan yang harus dipatuhi dan ingatkan secara berulang-ulang.  Batasan harus sesuai usia anak dan masuk akal serta tidak menyalahi syariat.   Saat mengingatkan lakukan dengan melihat konteks, proporsional dengan kadar yang sesuai. 

Seorang ibu ingin marah pada anak namun saat itu sedang di depan umum. Ibu menunda hingga bisa menyampaikan kemarahannya dengan cara dan waktu yang tepat.  Lalu  saat menasehati dengan kadar yang pas.  Cukup menyampaikan bagian perlu dan penting tanpa harus mengungkit kesalahan yang sudah lalu-lalu.  Secara proporsional artinya menasehati dengan bijak, tetap menjaga hak dan martabat anak. Bersikal adil dan tidak merendahkan harga diri anak.  Fokus pada perilaku anak yang tidak baik, hindari kalimat seperti ,”kamu selalu bikin kesal”.  Anak tidak mungkin selalu berbuat salah namun sesekali dan ini sangat wajar untuk terus diingatkan.

2.  Beri konsekwensi jika tidak taat aturan.  Anak diingatkan sampai tiga kali sebelum memperoleh konsekwensi.  Tidak perlu berteriak, marah-marah, ngomel dan mengancam. Tetap menjaga kontrol saat bicara.  Jika anak belum ikut aturan  berarti belum diizinkan mengikuti kegiatan adalah contoh konsekwensi yang bisa diterapkan.

3.  Tak perlu merasa bersalah atau dibenci anak.  Jangan ragu bersikap tegas untuk hal yang baik bagi anak. Jika anak dibiarkan liar tanpa aturan, saat mereka dewasa, ketidaktegasan orang tua dapat menjadi bumerang. Anak tidak terbiasa menerima kata "tidak" atau mendapat penolakan.  Para orang tua harus kuat mental menghadapi rengekan, tangisan, perlawanan anak saat ini demi kebaikan di masa depan.  Ketegasan tetap   harus memberi  pesan ,"Kami tidak menyukai perbuatan kalian namun kami tetap mencintai kalian."

Anak sangat pintar mencari celah untuk terbebas dari aturan dengan janji tidak mengulangi.  Tapi umumnya janji tinggal janji ketika tidak ada konsekwensi.  Godaan lebih besar ketika anak menguji ketahanan mental di hadapan umum. Tetap tenang menegakkan aturan sambil menahan malu adalah tantangan agar anak paham aturan adalah aturan.

Aturan  bukan ditujukan untuk menimbulkan ketakutan anak pada orang tua atau guru.  Tapi ini mengajari bahwa setiap perbuatan akan berdampak pada dirinya atau orang di sekitarnya.  Jika anak khawatir melanggar aturan manusia, seharusnya mereka lebih khawatir melanggar aturan Allah. Jangan lupa memberikan apresiasi atau penghargaan saat mentaati aturan. Sampaikan secara spesifik bukan sekedar kalimat ,”Kamu hebat, kamu luar biasa.” Lebih baik katakan ,”Alhamdulillah, hari ini kamu bicara sopan pada teman-temanmu.” Meski hanya ucapan namun bisa  berpengaruh positif pada  anak.

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri...” (QS. Al Isra : 7).
Selamat mencoba.

Post a Comment

Previous Post Next Post