Biarkan Aku yang Mengalah

Oleh : PutriLzara

Semalam, Mama memintaku mengemas semua barang-barangku.  Katanya besok kami harus segera pergi. Iya kami, aku dan Mama. Papa tidak ikut, dia tetap dirumah ini, bersama adik lelakiku  yang masih kecil. Itulah kesepakatan awal mereka. Hebat bukan? Ketika anak menjadi sebuah  Kesepakatan

Kakak perempuanku sudah pergi lebih dulu, entah kemana. Keluargaku terpecah belah. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Akupun takkan meminta agar mereka bisa bersatu kembali. Sudah terlalu rumit. 

"Dia masih kecil, Ferdi!! Dia harus ikut bersamaku!!" Lagi-lagi aku mendengar teriakan Mama pada Papa yang masih belum menyetujui kesepakatan siapa yang ikut siapa.  

"Tidak!! Kau sudah membawa kedua putriku, maka biarkan aku merawat putraku, Anita!" Papa tak mau kalah, dia menunjuk mama dengan muka geram. 

"Seorang anak lebih membutuhkan kasih sayang seorang ibu, Fadli harus ikut bersamaku" kata Mama sambil melangkah menuju kamar Fadli, adikku yang berumur tiga tahun. Lebih muda delapan tahun dariku. 

"Fadli ikut bersama mama yah" Fadli hanya menggangguk, tau apa dia tentang masalah orang tua kami, dia masih begitu kecil untuk mengerti. 

"Berani sekali kau Anita, berikan Fadli padaku!!" Papa berusaha merebut Fadli dalam gendongan Mama.

"Tidak akan!! Fadli akan ikut bersamaku"

 Aku begitu takut. Kasihan adikku yang diperebutkan seperti itu.  Fadli menangis, dia ketakutan. Melihat wajah Papa yang murka, dan mama yang terus menangis. 

"Hentikannn !!!!" Teriakku ditengah perdebatan mereka. 

"Biarkan Fadli ikut bersama Mama. karena aku ingin hidup bersama Papa" kataku sambil menatap Papa. Kuharap dia mengabulkan permintaanku. 

"Alia, apa yang kau katakan? Kau tak ingin ikut bersama Mama?" Mama terlihat marah. 

"Maafkan aku Ma, tapi Alia ingin disini. Ini rumah Alia, Disini Alia dibesarkan. Bagaimana mungkin Alia meninggalkan tempat yang pernah ada kebahagiaan keluarga kita Ma? Setidaknya jika sekarang dan seterusnya Alia tak akan merasakan kebahagiaan lagi, Alia masih bisa mengenang semuanya dirumah ini"  

Maaf ma, Alia berbohong. Alia sungguh ingin ikut bersama Mama. Tapi Fadli lebih membutuhkan kasih sayang Mama. Alia sudah cukup mampu merawat diri Alia sendiri Mama. 

"Baiklah, bawa Fadli bersamamu. Dan Alia akan tetap bersamaku" Syukurlah Papa menyetujui permintaanku. Walau sebenarnya aku pun begitu terluka dengan keputusanku sendiri. Sanggupkah aku hidup tanpa Mama?

"Mama tidak menduga ini Alia, kau lebih memilih Papamu" kata mama sambil menatapku. Yah, aku melihat air mata yang tertahan disana. Ada kecewa dimata Mama. 

Aku berusaha tak peduli. Kupalingkan wajahku. 

"Tapi jika itu keputusamu, Mama tidak bisa memaksa. Jaga dirimu baik-baik Alia, Mama mencintaimu" kata mama sambil memelukku. Aku tau, bagaimanapun rasa kecewa Mama tergadapku, tetap Mama menyayangiku. 

"Aku juga mencintaimu Ma" kupeluk Mama erat, mungkin ini adalah pelukan terakhirku. Entah kapan aku bisa bertemu Mama lagi. 

***

Aku melihat dari jauh barang-barang mama dan adikku satu persatu dimasukkan ke dalam mobil yang akan membawa Mama jauh dariku. Beberapa tetangga menyalami mama mengucapkan perpisahan

Aku tak berani mendekat. Aku berusaha tak peduli. Aku mendengar mama mencariku, tapi aku tetap tak menampakkan)diri. Bagaimana mungkin aku mampu melihat orang yang kusayangi pergi? Setidaknya aku tak harus melihat kepergian itu. 

Ini.. begitu menyakitkan. Tapi kucoba untuk tak menangis. Para tetangga pun membicarakanku,  mempertanyakan kasih sayangku. 
'Apakah Alia tidak menyayangi Mamanya? Kenapa dia tak mengucapkan salam perpisahan?' setidaknya begitulah omongan tetangga. 

Biarlah, aku lebih baik bersembunyi. Aku takut, takut tak tahan melihat kepergian Mama. Hey, memangnya siapa yang bisa menafsirkan perasaan seorang anak yang orang tuanya harus berpisah dan menjadikan anak sebagai rebutan? 

Aku berlari, sejauh dan secepat mungkin. Aku tak tau harus kemana. Aku hanya ingin berlari dan menjauh. Kuharap rasa sakit di hatiku bisa sedikit berkurang dengan rasa lelah kakiku. 

Hujan pun mungkin mengerti deritaku. Dia mengguyurkan airnya ke bumi dengan deras. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Menumpahkan seluruh luka yang tertahan. Beruntung karena hujan telah menyamarkan teriakanku dengan suara gemuruhnya. Pun bisa menyamarkan air mataku dengan curahan airnya.

Aku terseyum, setidaknya adikku yang masih kecil masih bisa merasakan kasih sayang Mama.

Post a Comment

Previous Post Next Post