Uighur, Di Manakah Posisi Kita?

Oleh : Yuli Ummu Raihan
(Member Akademi Menulis Kreatif)

Sedih, mengutuk dan berduka. Mungkin inilah yang sebagian  kita rasakan saat menyaksikan berbagai foto, video, kesaksian, pemberitaan terkait apa yang dialami saudara kita Muslim Uighur di Xinjiang Cina. Berbagai perlakuan yang tidak manusiawi bahkan bisa dibilang sebagai upaya genosida.

Dilansir oleh jurnalfaktual.id, bahwa New York Times, pada tanggal 16/11/2019, melaporkan sebuah dokumen rahasia Partai Komunis Cina bocor. Para tahanan Muslim Uighur di Xinjiang harus dirahasiakan. Hal ini diumumkan oleh Konsorsium Jurnalis Penyidik Internasional yang meliputi 9 halaman pesan yang dikirim oleh Zhu Hailun, wakil komite Partai Daerah Otonomi Xinjiang tahun 2017.

Salah satu isi dokumen tersebut menyatakan bahwa pemerintah setempat menyebut kamp  yang menampung muslim Uighur adalah sekolah kejuruan dan pelatihan. Padahal, kamp ini bertujuan memaksakan ideologi dan sikap komunisme secara diam-diam. (CNNIndonesia, 16/12/2019)

Terbongkarnya kekejaman Cina ini menuai protes dan kecaman dari 23 negara di dunia. Namun, sayangnya negara muslim nyaris tidak terdengar suaranya.

Indonesia yang mayoritas muslim justru seolah menutup mata dan telinga akan derita mereka. Bahkan, beberapa oknum pejabat di negeri ini seolah berusaha mencitrakan bahwa di sana baik-baik saja.

Wakil Presiden Indonesia, KH. Ma'ruf Amin mengatakan bahwa Indonesia tentu menolak dan ingin mencegah pelanggaran hak asasi manusia di sana. Namun, tidak ingin mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

Said Aqil Siradj  mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak perlu ikut-ikutan dengan sejumlah negara Barat untuk mengangkat tudingan persekusi etnis Uighur di Forum Internasional. (Cnnindonesia.com, 17/07/2019)

Para pengamat mengatakan pemerintah negara-negara muslim memang tidak dimasukkan ke dalam satu kategori. Namun, ada sejumlah kesamaan mengapa mereka semua diam yaitu pertimbangan politik, ekonomi, dan kebijakan luar negeri.

Pakistan ternyata lebih memilih membela Cina. Mereka menyebut media milik negara-negara Barat telah mencari sensasi atas laporan situasi di Uighur.

Ternyata perlakuan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur tidak menghalangi para turis muslim untuk berpergian ke Cina. Wisatawan muslim bahkan telah menghabiskan lebih dari AU$11,3 miliar di Cina tahun 2018. (laporan perusahan riset pasar Salam Standard)

Cina selama ini memiliki kebijakan non intervensi. Artinya tidak mau ikut campur masalah dalam negeri negara-negara lain. Padahal memiliki hak veto di dewan keamanan PBB dalam melakukan intervensi internasional, seperti usulan sanksi di Suriah dan Myanmar.

Turki pernah sekali menanggapi dengan menggambarkan peristiwa di Uighur adalah genosida. Turki juga menyediakan suaka bagi warga Uighur yang melarikan diri. Namun,  berhenti saat Beijing memberi tawaran untuk mendukung krisis ekonomi di Turki asal Turki diam.

Kekuatan ekonomi Cina dan takut mendapat balasan menjadi faktor besar dalam politik komunitas muslim. Hal ini dikatakan oleh Michael Clarke, Pakar Kebijakan Cina dari Universitas Nasional Australia kepada ABC, 24/12/2018.

PBB memperkirakan sekitar 1 juta warga dari etnis Uighur, Kazakh dan minoritas lainnya. Diduga telah ditahan di Xinjiang barat laut Cina sejak 2017.

Tapi alhamdulillah masih banyak masyarakat di negeri ini yang peduli. Diantaranya ada sekelompok bobotoh yang menamakan dirinya Bobotoh Taqwa (Botaq). Mereka menyerukan aksi solidaritas untuk muslim Uighur kepada seluruh bobotoh yang bakal menonton langsung laga Persiba VS PSM, pada tanggal 22 Desember 2019 di Stadion Si Jalak Harupat.

Botaq mengajak semua bobotoh membawa bendera Uighur, lalu mengibarkannya di dalam stadion. (PikiranRakyat.com, 20/12/2019)

Di sejumlah daerah juga dilakukan aksi solidaritas untuk Uighur. Baik dalam bentuk turun ke jalan, pawai, dan tablig akbar.

Atas nama HAM seharusnya negara muslim termasuk Indonesia yang juga anggota dewan keamanan PBB, melakukan upaya serius dan nyata.  Sehingga derita Muslim Uighur bisa diakhiri minimal levelnya berkurang. Bagaimana sikap kita seharusnya dan  di manakah posisi kita? 

Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, bahkan diumpamakan sebagai satu tubuh. Apabila satu bagian sakit, maka bagian lain ikut merasakan dengan ikut demam atau merasa sakit. Maka sudah selayaknya kita ikut prihatin terhadap nasib saudara muslim kita di Uighur.

Sayangnya sekat nasionalisme membuat kita tidak lagi seperti satu tubuh. Mungkin karena mereka bukan saudara kandung kita, atau orang yang kita kenal. Sehingga, rasa persaudaraan itu tidak lagi ada.

Sikap diam tidaklah dibenarkan. Apalagi menjadi pihak yang memberi legitimasi pada Cina untuk terus melakukan hal ini.

Pembelaan kita untuk saudara Muslim Uighur sangat dibutuhkan. Kita bisa membantu dengan menyebarkan info kekejaman Cina pada dunia. Mengecam tindakan Cina dan menuntut Cina untuk mendapat sanksi hukum.

Karena saat ini kita disekat oleh nasionalisme yang lahir dari sistem demokrasi. Maka saatnya kita mencampakkan sistem jahat ini. Kita harus sadar bahwa sekat nasionalisme justru memecah belah umat Islam.

Umat Islam tidak lagi memiliki perisai dan pelindung. Sehingga, telah dan akan terus menjadi sasaran orang-orang kafir. Tidak ada lagi gelar khoiru ummah (umat terbaik) dan terus menjadi santapan lezat para kafir penjajah.

Cina saat ini mulai memainkan peran internasional. Secara politik telah menjadi kepanjangan tangan rezim sosialisme komunisme. Meskipun secara ekonomi Cina telah merombak sebagian paradigma ekonominya menjadi kapitalis.

Cina pada isu dagang telah menjadi rival bagi Amerika. Namun, belum mampu mengalahkan politik proxy warnya Amerika. Cina lebih agresif dengan menonjolkan kekuatan konfrontasi fisik saat menghadapi lawannya termasuk Muslim Uighur.

Sementara Amerika sangat lihai dalam hal ini. Amerika menjadikan isu Uighur sebagai alat untuk memukul telak Cina. Mencoba menggelorakan sentimen anti Cina di berbagai pelosok negeri Islam.

Secara khusus Donald Trump menemui aktivis Uighur dan terus mempromosikan kampanye penindasan Cina terhadap Muslim Uighur. Pada 18 Juli 2019 lalu di Gedung Putih ia menemui sejumlah tokoh muslim Uighur dan korban persekusi agama lainnya dari Cina, Turki, Myanmar, Korea Utara dan Iran. Tentu ada maksud terselubung dibalik sikapnya ini. Sebab, ia tidak melakukan hal yang sama terhadap korban persekusi atas kebijakan AS seperti muslim di Irak, Suriah, Afganistan dan Palestina.

Umat Islam selalu menjadi korban. Baik oleh kebijakan AS maupun Cina. Mereka hanya berbeda dalam wilayah dagang dan negeri jajahan. Mereka sama-sama mendengki dan memiliki niat jahat terhadap umat Islam. Mereka sama-sama melakukan kezaliman dan memusuhi Islam.

Kekejaman Cina dan kebijakan zalim AS tidak bisa dibenarkan dan terus dibiarkan. Kita harus bersatu agar tidak lagi menjadi rebutan mereka.

Kita butuh pelindung dan perisai untuk menolong saudara seiman kita di Uighur dan di tempat lainnya. Hanya Kepemimpinan yang menerapkan Islam secara kafah, yang mampu melakukan semuanya.

Jumlah umat Islam yang banyak tidak mampu menolong mereka, karena tidak adanya satu kepemimpinan. Pemimpin yang memberi komando untuk berjihad melawan para musuh Islam.

Pemimpin yang akan memobilisasi pasukan kaum muslimin di seluruh dunia untuk melawan kebiadaban kafir penjaja. Bukan hanya di Uighur tapi juga saudara kita di Rohingya, Patani, India, Suriah, Palestina dan di belahan bumi lainnya. Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post