Sistem Sekuler Menyuburkan "blasphemy"

Oleh : Hasrianti 
(Aktivis)

Penistaan agama (blasphemy) merupakan tindak penghinaan, penghujatan, atau ketidaksopanan terhadap tokoh-tokoh suci, artefak agama, adat istiadat, dan keyakinan suatu agama (Ahmad Khozinudin, S.H)
Dalam sebulan terakhir, publik kembali dibuat geram oleh penistaan agama yang dilakukan oleh Ibu Sukmawati, pasalnya ia membuat pernyataan yang sukses membangkitkan amarah  kaum muslimin.
Berbagai komentar dilontarkan dari masyarakat biasa hingga barisan elit politik. Pasalnya kasus penistaan agama yang dilakukan terulang kembali, dan merupakan tantangan yang cukup bagi hukum di Indonesia dalam memproses kasus penistaan agama.
Hukum nasional, tindak pidana penistaan agama diatur dalam pasal 156a KUHP. Indonesia sendiri, sepanjang kurun tahun 1965-2019 setidaknya terdapat ratusan kasus penistaan agama. Di antaranya, 76 perkara diselesaikan melalui jalur hukum (persidangan) dan sisanya di luar persidangan (non-yustisia).
Sukmawati dengan nama lengkap Diah Mutiara Sukmawati Soekarnoputri alias Sukmawati ini berulah, karena menyoal ihwal peran Soekarno lebih berjasa dari pada Nabi Muhammad ﷺ pada awal abad ke-20. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat sensitif ketika berusaha membandingkan antara Soekarno dan Rasulullah ﷺ .
Dilansir oleh www.kompas.com – Jakarta, Sekjen Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Edy Mulyadi melaporkan putri proklamator Ir Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri, ke Bareskrim Polri atas dugaan penistaan agama. "Kita lapor ke Bareskrim sini, berharap supaya aparat hukum menindaklanjuti, menyelidiki sesuai dengan ketentuan yang berlaku," ujar Edy di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2019).
Sebelum Edy Mulyadi membuat laporan ke pihak Bareskrim sudah ada 4 orang pelapor yang terlebih dahulu melaporkan tersebut. Salah satunya Irvan Novianda. Ia membuat laporan di Polda Metro Jaya (www.tirto.id 18/11/2019).

Laporan Irvan tertuang dalam laporan bernomor LP/7456/XI/2019/PMJ/Dit. Reskrimum. Pasal yang disangkakan Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penistaan agama. Dalam laporannya itu, Irvan membawa barang bukti berupa softcopy video dan link berita dari media online.

Jika ditelisik lebih jauh pernyataan Sukmawati, ia mempertanyakan peran dan ketokohan antara Nabi Muhammad ﷺ dan Soekarno. Ini bukanlah perbandingan ilmiah dan rasional. Terkesan Nabi Muhammad ﷺ tak memiliki peran ketimbang Soekarno pada era abad ke-20, saat perjuangan kemerdekaan Indonesia. 
Pernyataan ini keliru,  Nabi Muhammad ﷺ memang telah lebih dulu wafat pada peristiwa abad ke-20. Tidak relevan jika membandingkan sosok Nabi dengan Soekarno. Secara keseluruhan justru ruh perlawanan perjuangan kemerdekaan Indonesia diprakarsai oleh ajaran islam. 

Disisi lain ia juga mempertanyakan eksistensi bendera tauhid yakni bendera islam itu sendiri pada saat perjuangan kemerdekaan. Hal ini juga masuk kategori menista agama karena bendera tauhid adalah simbol agama Islam. Sukmawati seolah ingin menegaskan soal tak ada peran bendera tauhid saat perjuangan mengusir penjajah.

Penistaan terhadap marwah Rasulullah ﷺ terus berulang, hal ini menjadi  kode keras bagi penerapan hukum di Indonesia. Apalagi jika tersangka merupakan orang-orang yang memiliki taring pelindung dari penguasa. 

Sistem sekular kapitalisme juga turut membelenggu suara sebagian kaum muslim dan tokoh-tokohnya untuk memilih diam. Mereka berpikir bahwa ketika Rasulullah ﷺ dinista adalah sebuah kesalahan biasa dan hanya cukup meminta maaf.

Penistaan terhadap Rasulullah ﷺ juga terjadi karena prinsip kebebasan mengatasnaamakan HAM yang menjadi landasan berfikir dan berbuat. Hal ini memberikan peluang besar kepada orang-orang yang membenci dan terus menyudutkan Islam.

Sistem sekuler menempatkan persoalan agama hanya dalam ranah pribadi saja sedangkan dalam politik maupun pemerintahan maka agama tidak boleh ikut campur. Tak heran hasil dari sistem sekuler hanyalah kerusakan semata.

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem sekular kapitalis, maka upaya untuk membela syariat islam dianggap sebagai ancaman dan harus ditenggelamkan. Sesungguhnya tabiat sistem ini memisahkan agama dari kehidupan, pemikiran yang datang  dari Barat.
Mengimani kenabian Muhammad ﷺ harus diikuti dengan mengikuti sunnah dan memuliakan sosoknya. Mencintai Baginda Nabi ﷺ Juga tidak bisa disamakan dengan cinta sesama insan. 

Wajibnya Memuliakan Sosok Rasulullah ﷺ
Kecintaan seorang Muslim kepada beliau harus di atas kecintaan kepada yang lain, baik itu harta, kedudukan, jabatan, keluarga bahkan dirinya sendiri. Belum sempurna keimanan seseorang bila masih ada kecintaan yang melebihi kecintaan kepada Baginda Nabi saw.:
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»
Belum sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai ia menjadikan aku lebih dicintai daripada orangtuanya, anaknya dan segenap manusia (HR al-Bukhari).

Berbagai keutamaan yang kelak Allah berikan kepada siapa saja yang melabuhkan  mahabbah (kecintaan) kepada Allah dan Nabi ﷺ di atas segalanya. Di antaranya, mereka kelak akan dikumpulkan bersama Nabi ﷺ di surga-Nya kelak.
Orang-orang yang menistakan Rasulullah ﷺ itu, bagi mereka azab yang pedih. Allah SWT juga berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
Sungguh orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknati mereka di dunia dan di akhirat serta menyediakan bagi mereka siksaan yang menghinakan (TQS al-Ahzab [33]: 57).

Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah telah menjelaskan batasan tindakan orang yang menghujat Nabi Muhammad saw. yaitu: kata-kata yang bertujuan meremehkan dan merendahkan martabat beliau, sebagaimana dipahami kebanyakan orang, terlepas perbedaan akidah mereka, termasuk melaknat dan menjelek-jelekkan (Lihat: Ibn Taimiyyah, Ash-Sharim al-Maslul ala Syatimi ar-Rasul, I/563).
As-Sa’di berkata bahwa menghina Allah dan  Rasul Nya adalah kafir keluar dari millah (agama), karena dasar agama terbangun atas pengagungan terhadap Allah, agama dan RasulNya (Nawaqith Al-Imam Al-Qauliah Wa Al- Amaliah: 14)
Sikap dan tabiat “menghina” atau “menistakan” adalah akhlak para musuh Allâh Azza wa Jalla yang menjadi akhlak orang kafir dan munafiqin. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla menjelaskannya secara jelas kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya dalam banyak ayat dan peristiwa. 
Sejarah kehidupan Rasulullah ﷺ pernah terjadi dalam peristiwa perang Tabuk, kaum munafiqin menghina para Sahabat Radhiyallahu anhum. Sebagai seorang yang paling sayang kepada Sahabat tidak memaafkan dan tidak menerima uzur para penghina tersebut, bahkan tidak melihat alasan mereka sama sekali yang mengaku melakukannya sekedar bermain dan bercanda.

Bagi orang Islam, hukum menghina Rasul ﷺ  jelas haram. Pelakunya dinyatakan kafir, ia diberikan hukuman mati. Hal ini telah menjadi kesepakatan di kalangan ulama dan para imam ahli fatwa, mulai dari generasi sahabat dan seterusnya. 
Ibn Mundzir menyatakan, mayoritas ahli ilmu sepakat tentang sanksi bagi orang yang menghina Nabi saw. adalah hukuman mati. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Imam al-Laits, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq bin Rahawih dan Imam as-Syafii (Lihat: Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifa bi Tarif Huquq al-Musthafa, hlm. 428). Sehingga membandingkan Rasulullah ﷺ . dengan orang merupakan penistaan luar biasa dan bersifat sangat fatal.

Sejatinya, penistaan terhadap Rasulullah ﷺ muncul atas dasar sikap peremehan terhadap syiar-syiar islam, dan ini bisa tergolong orang yang munafik. Sikap tersebut sangat bertentangan dengan prinsip keimanan atas aqidah yang benar. Sesunggunya pengagungan terhadap sosok Rasulullah ﷺ berasal dari ketaqwaan hati tinggi.

Hanya dalam naungan Daulah islamiyah lah keagungan sosok Rasulullah ﷺ akan terjaga selalu. 
Wallahualam bishowab.









Post a Comment

Previous Post Next Post