Cinta Bersemi di Aksi 212

Oleh : Nusaibah Al Khanza 


Aku scroll beranda fecebookku. Ku baca puluhan status. Semua tentang aksi 212. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Namun mayoritas mendukung aksi 212. Sedang aku termasuk yang biasa saja menanggapinya. 

Namun saat ini ada sebuah rasa di dalam dada. Aku penasaran, ada apa dengan aksi 212? Aksi yang aku tahu diikuti oleh jutaan umat Islam di Indonesia. Hingga beritanya menggemparkan dunia. 

"Tidak usah ikut aksi-aksi seperti itu. Tak ada gunanya untuk rakyat kecil seperti kita. Lebih baik kamu kerja saja," ucap ayahku saat aku minta izin untuk ikut rombongan ke Jakarta. 

Aku gelisah. Naluri kelelakianku tergugah. Aku sungguh ingin ikut aksi itu ke Jakarta. Ingin membuktikan sendiri, seperti apa sebenarnya aksi tersebut digelar. Apakah benar-benar tertib dan damai seperti yang aku baca dari kalangan yang pro di media maya? Ataukah hanya sekedar aksi tak ada guna seperti yang diungkapkan oleh pihak yang kontra.

"Aku harus ikut bagaimanapun caranya," pikirku dalam hati. 

Aku mencari cara agar dapat pergi ke Jakarta tanpa ayah ketahui. Akupun meminta izin untuk menginap di rumah saudara, yang rumahnya ada di kota tetangga. Alhamdulillah ayahku mengizinkan, karena aku beralasan ada urusan pekerjaan di sana. Setelah tiba di sana, aku bisa minta tolong saudaraku untuk merahasiakan kepergianku ke Jakarta. 

****
Hari yang aku tunggu tiba. Aku mendapat tiket kereta ke Jakarta. Aku sengaja berangkat dua hari sebelum hari H. Menghindari razia dan pencegahan aksi yang katanya dilakukan untuk menghambat peserta yang berangkat menuju aksi 212.

Aku tiba di Jakarta. Tak tahu harus menuju rumah siapa. Tak punya sanak saudara di sana. Aku duduk di pinggir jalan. Aku lihat uang di dompetku. Tinggal seratus ribu. Apa cukup untuk ongkos pulang dan makan dua hari ke depan? Aku mulai kepayahan dan merasakan lapar. 

"Mau kemana Nak?" tanya seorang bapak tua yang duduk di sebelahku. 

"Mau.. Mau lihat aksi besok Pak" jawabku ragu. 

"Ini ada nasi kotak. Makanlah! Kamu jangan cuma melihat, tapi ikutlah berjuang didalamnya!" ucap bapak tua itu tersenyum penuh haru, kemudian dia pergi meninggalkanku yang masih duduk terpaku. 

Aku pandangi nasi kotak yang diberikan oleh bapak tua tadi. Aku buka. Tampaknya enak, pikirku. Tanpa ragu, aku langsung melahapnya. Tentu saja, karena aku sudah merasa sangat lapar. Setelah makan aku meletakkan kotak nasi itu di trotoar tempat aku duduk. Kemudian berdiri hendak pergi. 

"Sini Om, aku yang buang ke tempat sampah. Kata umi dan abi kebersihan itu sebagian dari iman. Jadi kita harus menjaga kebersihan," ucap seorang anak kecil yang usianya sekitar tujuh tahun. Dia membawa kantong plastik besar dan memunguti sampah untuk dimasukkan ke dalam kantong plastik tersebut. Sungguh, aku merasa malu pada anak kecil itu. 

Malam harinya aku mencari tempat untuk tidur. Aku bingung akan tidur dimana malam ini? Kemudian aku teringat bahwa peserta aksi 212 banyak tidur di masjid. Ya, akupun akan tidur di masjid saja. 

Tapi pikiranku mulai terselubung ragu. Hatiku sudah digelayuti rasa malu. Aku tidur di masjid? Sebuah tempat yang jarang aku datangi. Biasanya aku hanya datang ke masjid untuk ikut shalat Jumat saja. 

Kakiku melangkah lesu. Bajuku lusuh, mataku sayu. Aku capek dan ingin merebahkan badanku. Aku mulai berpikir, apa yang diperoleh oleh para peserta aksi sampai mereka rela berkorban tenaga, waktu bahkan biaya. Capek, lapar, mengantuk dan kehilangan banyak uang mereka lakukan dengan sukarela. Atas dasar apa? Tanya batinku.

Tanpa terasa kakiku berhenti di sebuah masjid. Mungkin ini pertanda, agar aku tidur di sini saja. Tapi bagaimana aku masuk ke dalam jika aku tidak shalat?  Akhirnya, aku mengambil wudu dan shalat Isya di sana. Padahal seharian tadi bahkan dari kemarin-kemarin aku jarang sekali shalat lima waktu. Aku benar-benar merasa malu. 

Keesokan harinya, aku keluar dari masjid. Menyaksikan jutaan manusia shalat subuh berjamaah. Mungkin tadi mereka juga shalat tahajud. Tapi aku tak tahu, karena begitu lelap dalam tidurku. Aku hanyalah satu diantara jutaan manusia di sana. Aku terlalu kecil untuk dapat mengetahui semua yang terjadi di setiap sudut tempat ini. 

Setelah shalat subuh usai. Tiba-tiba ada seorang pria seumuranku menarik tanganku. Dari penampilannya, dia sepertinya mahasiswa. Akupun heran, kenapa dia menarikku. 

"Ayo Bang, disana ada pembagian sarapan gratis. Lumayan daripada Abang beli, mahal" ucap pria yang tak kukenal itu. 

Kami berdua menuju tempat pembagian makanan. Ternyata banyak orang di sana. Aku lihat ada seorang pria bermata sipit, ikut membantu membagikan makanan pada kami. Mulutkupun tergelitik, untuk menanyakan sesuatu pada pria itu. 

"Apakah Koko seorang muslim?" tanyaku pada pria sipit itu. Dia memandangku sinis. Tampak kurang suka dengan pertanyaanku. 

"Apa kamu muslim?" dia balik tanya padaku. Aku hanya mengangguk. 

"Aku non-muslim. Tapi aku tahu bagaimana toleransi orang muslim. Mereka tak peduli apa agamaku, mereka tetap berteman baik denganku. Karena bagi mereka, agamamu bagimu dan agamaku bagiku" jawab dia dengan tersenyum. 

"Lalu kenapa kau ikut membantu aksi umat Islam ini?" tanyaku penuh selidik.

"Karena aku ikut bangga menjadi warga negara Indonesia. Dimana Islam yang menjadi agama mayoritas, namun kalian tidak sewenang-wenang. Kalian berakhlak mulia. Melakukan demonstrasi damai untuk menuntut keadilan yang kalian inginkan. Jika tuntutan kalian tak dikabulkanpun, kalian ikhlas menerima. Yang penting bagi kalian adalah kalian sudah berusaha tanpa melanggar aturan agama dan negara," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Aku ikut bangga. Karena dunia melihat Indonesia sebagai bangsa yang besar akibat peran umat Islam. Dengan menggelar aksi yang kalian hadiri lebih dari tujuh juta orang, namun selalu damai dan tertib. Menunjukkan bahwa kalian menyelesaikan masalah kalian sesuai konstitusi. Kamu muslim, pasti lebih bangga dari yang aku rasakan" ucapan pria sipit itu membuatku terpana. 

Setelah makan, aku berjalan perlahan. Entah kemana. Di sepanjang perjalanan, aku melihat para peserta masih banyak berdatangan. Bagaikan air bah yang semakin besar. Sementara di ujung sana terlihat ribuan aparat berseragam memblokade jalan, lengkap dengan senjata di tangan. Hatiku mulai bergetar. Entah karena takut atau karena apa. 

"Jangan injak rumput! Jangan ganggu umat lain beribadah! Jangan rusak fasilitas umum! Karena Islam adalah rahmat bagi seluruh alam dan umatnya berakhlak mulia"

Aku mendengar sedikit orasi yang disambut dengan pekikan takbir yang terus bergema. Membuat gejolak di dadaku semakin membara. 

"Ayo pegang! Ini kesempatan langka yang tak didapat oleh semua peserta aksi. Semoga kelak panji ini menaungimu sebagai umat Kanjeng Nabi" ucap seorang pria berjenggot yang menepuk pundakku. 

Kulihat dia memegang ujung sebuah bendera raksasa berwarna hitam bertuliskan putih lafaz Laa illaha ilallah Muhammad Rasulullah. Kemudian dia menyerahkannya padaku. Tanganku bergetar memegangnya. Tanpa sadar aku menciumnya. Matakupun berkaca-kaca. Entah apa yang kurasa. 

"Sini gantian, estafet bendera tauhidnya!" ucapan seseorang membuyarkan lamunanku. Kemudian aku tak tahu, bendera itu sudah tak ada lagi di tanganku. Tampak sudah berjalan ke depan sana, melewati jutaan manusia yang berebut ingin memegangnya. Tanganku kosong, aku merasa kehilangan sesuatu. 

Kakiku tiba-tiba tertekuk. Aku bersimpuh di atas aspal jalan. Ada berbagai rasa yang merasuk jiwa. Takjub melihat setiap apa yang Allah pertontonkan di depan mata. 

Kenapa, kenapa selama ini aku tak menjadi bagian dari mereka? Mereka yang membela agama tanpa kenal lelah. Mereka dalam jumlah yang amat besar, tampak seperti barisan semut atau semacam lautan manusia. Namun aku bukan satu diantara mereka.

Lalu selama ini aku dimana? Kemana aku saat agamaku dinista? Ya Allah, bagaimana aku kelak harus bersuara dihadapanMu. Saat harus mempertanggungjawabkan apa yang aku lakukan saat Engkau, kitab-Mu dan Rasul-Mu dihina? 

Tanpa sadar. Butiran kristal bening menerjuni pipiku yang kusut. Aku tertunduk. Hatiku takluk. Ada sebuah rasa yang mulai terpupuk. Sebuah rasa cinta yang kian merasuk. 

Cinta pada agamaku, Islam. Cinta pada Allah dan Rasul-Nya. Cinta pada bendera yang kelak diakhirat aku ingin berada dibawahnya, agar aku diakui sebagai umat Nabi Muhammad. 

Aku baru mengerti. Ternyata cinta seperti ini yang dimiliki oleh jutaan umat Islam yang hadir di sini. Cinta yang membuat mereka rela melakukan segala pengorbanan. Cinta yang membuat umat ini bersatu di atas berbagai perbedaan yang seolah mustahil untuk disatukan. Cinta  membuat persatuan yang tadinya dinilai utopi oleh banyak pihak, namun mereka buktikan menjadi nyata. 

Aku telah jatuh cinta. Namun aku tak ingin merasakan cinta ini sendirian. Aku ingin ada ayah bersamaku merasakan cinta yang sama. Aku ingin ayahku juga merasakan ketika cinta bersemi di aksi 212.

Semoga sejak saat ini, aku istiqomah menjalankan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Semoga tahun depan, aku bisa mengikuti reuni 212 dengan perasaan bangga bersama ayah tercinta.

Post a Comment

Previous Post Next Post