Suara Yang Mengganggu Itu

By : Putri Awaliah
Nama Pena : @PutriLzara

Menjadi siswa jurusan IPA tentu membuatku selalu sibuk dengan deretan angka yang harus kuramu menjadi jawaban yang tepat. Apalagi sekarang sudah kelas 2 SMA, masa-masa padatnya pelajaran. Tapi bagiku, kesibukan dengan angka kini sudah menjadi kesenanganku. Apalagi dengan angka pada pelajaran Matematika, seperti Logaritma, Trigonometri, Aljabar dan semua yang berkaitan dengan matematika bagaikan menu terenak yang ingin kulahap tiap hari. 

Seperti malam ini, di ruang tamu aku tengah asik bermesraan dengan PR Matematika. Aku lebih suka belajar saat malam hari karna lebih tenang dan damai. Yah, aku tak suka ada hal-hal yang menggangguku ketika belajar. Apalagi, suara bising  orang-orang. Beruntung tampkanya malam ini rumah cukup sunyi.

Tapi sayang, harapanku tinggal kenangan. Baru saja aku merasa damai, tiba-tiba ponselku berbunyi. Menyesal aku tidak membutanya mode senyap. Kulihat dilayar tertera nama tanteku yang kerja di Makassar sebagai Dosen. "Aunty VIra calling"
Setelah menyembunyikan rasa jengkelku, ku angkat dengan terpaksa. Mungkin saja ada yang penting. 
"Assalmualaikum Tan" 
"Walaikumsalam..  Nia kamu sekarang ada dimana? "
"Di rumah, ada apa tante?"
"Owh.. tidak. Tante hanya ingin tau apakah Kakekmu sudah tidur?" 
Apa? Hanya ingin menanyakan itu? Menyesal aku mengangkatnya! Tapi yah sudah lah, sudah terlanjur. 
"Iya tante, kakek sudah tidur" Aku berusaha melembutkan suara. 
"Ohh.. gitu. Ya sudah Assalaamualikum"
"Waalikumsalam"

Tuttt... Setelah menutup telfon, aku berusaha melanjutkan kegiatanku yang tertunda. Tidak berselang lama, ponselku lagi-lagi berbunyi. Aaa.. ingin rasanya aku membanting ponselku. Dan yang paling menjengkelkan, lagi-lagi tanteku yang menelfon. Tapi walau begitu tetap ku angkat, siapa tau kali ini penting. 

Dan ternyata aku salah lagi, tanteku hanya menanyakan apakah Kakekku sudah Makan. Apa pentingnya Coba? Yah, memang sih, Kakek sedang sakit, mungkin Tante begitu peduli pada kakek. Tapi tidak harus menggangguku malam-malam begini bukan? Ini sudah pukul 9 malam, mana mungkin Kakek belum makan. Lagi pula, kondisi kakek sudah agak mendingan dari sebelumnya. 

Setelah memperbaiki sedikit moodku yang hancur akibat ganggun telfon tanteku, aku kembali mengerjakan PR. Tak lupa kubuat dalam mode senyap. walaupun aku masih dapat melihat panggilan masuk dari tanteku yang datang berulng kali, namun tak ku hiraukan. Biarkan saja, toh aku sedang sibuk. 

****
PR ku hampir selesai. Tinggal beberapa soal lagi yang harus ku selesaikan. Untung ponselku ku jadikan mode senyap. Jika tidak, mungkin aku akan terganggu dengn deringnya. Bayangkan, tanteku menelfon 15 kali. Ada apa dengan tanteku?  Kupikir seorang dosen cukup sibuk untuk sekedar menelfon tidak penting. 
Saat asik mengerjakan soal terakhir, tiba-tiba terdengar suara batuk dari kamar kakekku.

"Uhuk.. uhuk.. uhuk.."
Satu kali, dua kali, tiga kali, benar benar-benar mengagguku. Ya Tuhan.. konsentrasiku jadi hancur karna suara batuk Kakek. Aku berusaha tak peduli pada suara batuk Kakek dengan menutup telinga. Sebenarnya ada sedikit ibah pada kakek, ingin rasanya aku menengok ke kamarnya, namun tanggung, tugasku sedikit lagi selesai. Lebih baik kuselesaikan dulu kemudian baru ke kamar kakek. Mungkin kakek butuh minum. 
"Uhuk.. uhuk.. UHUK... UHUK.. " Ah, suara batuk kakek semakin keras. Benar-benar membuat ku tak dapat fokus dengan tugasku. 

"Uhuk..uhuk.. Ana.. Ana.." terdengar lagi suara kakek. Namun kali ini bukan hanya suara batuk, kakek juga memanggil nama tanteku. Adik dari tanteku yang tinggal di Makssar. Yah, sejak kecil aku memang tinggal di rumah Kakek dan Nenek, juga ada Tante Ana yang merupakan anak bungsu mereka. Dan bisa dikatakan hubunganku dengan Tante Ana sedang tidak baik sekaran. 
"Ana.. Uhuk.. " 
Duh.. dimana sih Tante Ana? Apa dia tidak dengar kakek memanggilnya? Padahal kamarnya berseblahan dengan kamar kakek.
"Uhuk.. uhuk.. Ana.." 

Disamping Kakeku yang masih memanggil-manggil nama tante Ana, samar-samar aku mendengar suara tante Ana dan tante Ara yang sedang berbincang dari rumah sebelah, rumah Tante Ara. Rumahnya memang hanya berjarak 1 meter dari tempatku sekarang. Hm, pantas saja tante Ana tidak mendengar teriakan kakek. Sebenarnya aku ingin kesana dan memberitahu Tante Ana kalau Kakek memanggilnya. Tapi karna hubunganku dengan tante Ana lagi tak baik, jadi ku urungkan niatku. 

"Uhuk..Uhuk.. Anaa.. Nak, Kamu dimana?? Uhuk.." 
Suara batuk Kakekku terdengar semakin lirih. Aku sudah tak tahan. Kasihan juga mendengar suara kakek yang terdengar kelelahan karna batuk. Segera aku bangkit lalu menuju ke rumah Tante Ara untuk memanggil Tante Ana. Belum sampai di sana, tiba-tiba aku berpapasan dengan suami tante Ana, Om Zain pas di depan kamarnya. 

Saat itu aku benar-benar marah. Kenapa Om Zain baru keluar dari kamar, padahal dari tadi dia ada di dalam dan pasti mendengar suara kakek yang memanggil istrinya. Tapi siapalah aku yang hanya seorang anak kecil, tak berani ku nampakkan kekesalanku padanya.  
"Mau memanggil Tante Ana Om?" Tanyaku berusaha bersikap ramah. 

"Iya, Ayah manggilnya."
"Ooh.. ya sudah. Tadi aku juga ingin memnggilnya. Tapi karna sudah ada Om, jadi lebih baik Om saja. Kasihan Kakek, dari tadi memanggilnya, tapi tidak ada yang peduli." Jelasku panjang lebar. Sebenarnya berniat untuk menyinggungnya. Semoga saja dia benar-benar tersinggung. 

Kuputuskan untuk kembali keruang tamu, guna untuk melihat ulang jawaban-jawabanku. 

"Uhuk.. uhuk.. Apakah ada orang dirumah ini?? Anaa.. nak.." Suara kakekku semakin lirih terdengar. 
Cukup. Aku sudah tak tahan. Rasanya air mataku ingin menetes mendengar suara lirih kakeku. 
Saat aku ingin beranjak ke lamar kakek, tiba-tiba terdengar suara tante Fatma. Jadi ku urungkan niatku. Syukurlah sudah ada yang menemani Kakek. 
Kalau begitu biarkan aku bermesraan dengan angka lagi. 
*****

Berselang beberapa menit kemudian, saat aku tengah asik menari dengan angka, terdengar suara tangis dari dalam kamar kakekku. Jantungku tiba-tiba berpacu sangat cepat. Entah kenapa segelumit prasangka terbanyang di otakku. Ada apa ? Kenapa tante Anaa menangis? 
Tanpa menunggu lama, segera ku langkahkan kakiku cepat menuju kamar kakek. 

Dan setelah sampai disana, pemandangan yang kusaksikan, membuat tubuhku kaku tak dapat kugerakkan. Langkahku terhenti diambang pintu. Tak sanggup masuk lebih dalam. 
Lalu, tante Ara, Nenek, dan anak kakek yang lainnya mulai berdatangan dengan linangan air mata. 
Tidak.. tidak.. ini mimpi. Kucoba yakinkan  diriku bahwa apa yang kusaksikan saat ini hanyalah mimipi. 
"Innalillahi wa innailaihi rajiun...hiks.. hikss.. Ayahh.." 

kudengar suara tante Ana yang begitu memilukan sambil memeluk kakek yang berada di pangkuannya.  

Sungguh, aku tak sanggup melihatnya. Ini tidak mungkin. Baru saja aku mendengar suara teriakan kakek, kenapa sekarang kulihat kakek begitu tak berdaya? Dimana teriakan kakek tadi? Kenapa kakek diam saja? Mana suara batuk kakek? Batuklah kek, aku ingin mendengar suara batukmu. Jangan diam saja kumohon..

Dengan langkah tertatih, aku menghampiri tubuh kakek yang berada dalam pangkuan tante Ana. Kuberanikan diriku memegang jemari kakek. Dingin. Sangat dingin. Segera kulepaskan genggamanku. Aku tak percaya ini. Rasanya tubuhku ingin ambruk. Mengapa begitu tiba-tiba? 

Kulihat ayahku datang dengan suara tangis yang begitu menyayat. Besimpuh pada tubuh kakek yang tak lagi bernafas. 

Apa gunanya Ayah? Kakek suda tiada. Tak guna kau menangis meraung. Yah, tangis Ayahku yang paling pilu. Seperti ada sesal yang berusaha ia sampaikan. Namun apa daya? Semua sudah terlambat bukan? 

Kupegang pipiku, tak ada air mata. Semunya tertahan pada kelopak yang mulai tak berkedip. Begitu juga dengan kakiku yang tak sanggup lagi menopang tubuhku. Aku benar-benar tak berdaya. Hanya ada detak jantung yang semakin kencang yang sekaligus menandakan kehidupan masih bersamaku. Rasanya, tenagaku ikut pergi bersama kepergian kakek. Aku ingin menangis, sungguh. Tapi ini begitu sakit, hingga menangispun aku sudah tak sanggup. 

Samar, kudengar suara tangis tante Vira didalam telfon. Aku teringat beberapa saat yang lalu, saat tante Vira terus menelfon. Ya Tuhan.. apa ini hukuman bagiku? Bukan hanya rasa sedih kehilangan yang Engkau berikan, namun juga rasa sesal yang begitu dalam. 

Suara tangis menyayat hati kian terdengar sebagai alunan musik pengantar kematian. Entah dari siapa saja. Aku tak sanggup lagi memerhatikan sekelilingku. Sekelumit ingatan dan kenangan tentang kakek tak dapat kubendung mengahadiri sela-sela memori otakku dan setiap sendi tubuhku.

Flashback on
Kelas 3 SMP
"Hiks.. hiks.. Ayah tak sayang padaku."  Aku tak dapat membendung air mata dan kesedihanku karna Ayah berteriak marah padaku. Tiba-tiba ada kakek memelukku hangat dan berkata "hush.. sudah, kamu cucu kesayanganku. Nanti kakek yang akan memarahi Ayah karna sudah membentakmu. Cucu kesayangan kakek tidak boleh sedih, Oke?" 
Dan seketika aku langsung tenang karna pelukan kakek. 
"Kakek memang yang terbaik, aku sayang kakek." Kupeluk erat kakekku. 
*****

Habis gajian, kakek diam-diam memeberiku uang jajan lebih dari pada cucu-cucunya yang lain. Saat itu aku bingung dan bertanya,
 "Kek, kenapa aku dikasih 50 ribu sedangkan adik yang lain hanya 10 ribu, apa ini adil kek?" 
Dan dengan senyum khas ala kakek yang menenangkan dia menjawab
"Nak, adil itu bukan berarti sama rata, tapi adil itu memberikan sesuai dengan kebutuhan." 
Dan aku hanya bisa tersenyum bahagia mendengar kebijaksanaan kakek. 
****
Saat asik menonton TV bersama, kakek bertanya padaku "Nak, Bagaimana kabar sekolahmu? Lancar?" 
"Hehe.. Alahmdulillh lancar kek. Sekarang sudah mau ulangan.".

"Hebat cucu kakek. Belajar yang sungguh-sungguh yah nak. Biar kamu dapat kehidupan yang baik. Karna Allah akan memuliakan orang-orang yang berilmu."
"Iya Kek. Terima kasih yah kek, sudah menyemangati Nia. Kakek juga cepat sembuh, biar bisa lihat Nia sukses nantinya."

"Iya InsyaAllah, Kakek akan selalu bersama Nia"
Aku memeluk erat tubuh Kakek, dan Kakek membalas mengusap kepalaku lembut. Yah, kakek selalu saja membuatku senyaman ini. 

Flashback off..
Ingatan indah bersama kakek seketika lenyap tergantikan ingatan beberpaa saat yang lalu.

Tentang aku yang tak peduli pada teriakan lirih kakek. Tentang aku.. yang mengabaikan kakek.  Tentang aku yang menggerutu jengkel mendengar suara batuk kakek. 

Dan kini.. suara itu, suara batuk itu, teriakan lirih itu tak dapat lagi kudengar untuk selama-lamanya seumur hidupku.  

Post a Comment

Previous Post Next Post