Sertifikasi Siap Nikah, Solusi atau Masalah?

Oleh : Rina Tresna Sari, S.Pd.i
Praktisi Pendidikan dan  Member Akademi Menulis Kreatif

Peran keluarga sangat menentukan kualitas bangsa. Jika diibaratkan bangunan, keluarga merupakan sebuah pondasi untuk tumbuh dan berkembangnya sebuah bangsa. Pondasi yang kuat haruslah berawal dari keluarga-keluarga yang berkualitas dan tangguh. Namun, saat ini masih banyak 'pekerjaan rumah' bagi bangsa Indonesia dalam membangun ketahanan keluarga. Diantaranya tingkat perceraian yang tinggi.

Kebanyakan perceraian terjadi pada pasangan usia dibawah 35 tahun. Banyak faktor yang menyebabkan banyaknya perceraian, namun pemerintah berkeyakinan bahwa sumber persoalannya karena kurangnya pemahaman tentang pernikahan.

Pemerintah kemudian memunculkan gagasan menata ulang program kursus pranikah. Kursus pranikah menjadi wajib dan bersertifikat bagi pasangan yang akan menikah padahal sebelumnya secara sukarela, kini sifatnya menjadi wajib bahkan bersertifikat. Sebagaimana dilansir TEMPO.CO,19/11/2019- Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi akan mencanangkan program sertifikasi perkawinan bagi calon pengantin. Pasangan yang akan menikah harus dibekali pemahaman yang cukup tentang pernikahan. Salah satu pengetahuan yang harus mereka miliki tentang ekonomi keluarga hingga kesehatan reproduksi (19/11/2019).

Kepemilikan sertifikat dijadikan salah satu syarat bagi orang yang akan menikah. Selain sertifikasi, materi kursus pranikah diperluas, lebih diarahkan kepada sebab-sebab perceraian dan berbagai problematika keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, dan perlindungan anak.

Cukupkah upaya menyelamatkan keluarga dari perceraian dilakukan dengan langkah-langkah tersebut? Untuk menjawabnya, harus dilakukan uji efektivitas kursus pranikah yang digadang pemerintah sebagai solusi menurunkan angka perceraian.

Harus dipastikan jangan sampai pasangan calon pengantin menjalani kursus ini semata-mata demi sertifikat agar bisa menikah, namun tidak memperhatikan kualitas pemahaman dari pernikahan itu sendiri. Jika kepentingan kursus ini tidak tertanam, tujuan kursus ini pun bisa gagal. Terlebih kursus itu dilaksanakan sebelum pernikahan, pada kondisi pasangan yang belum mengalami rumitnya hidup berumah tangga. Tentu saja penerimaannya sangat minim dibandingkan jika menerima kursus saat menjalani rumah tangga.

Sangat mungkin mereka yang mengikuti kursus pranikah hanya sebatas menumpuk pengetahuan saja. Dengan demikian, pemerintah jangan terlalu percaya diri menjadikan program kursus pranikah sebagai jalan sukses mengurangi angka perceraian. Sekeras apapun upaya mewajibkan kursus pranikah,  jika tidak dibarengi upaya menghilangkan penyebab hakiki perceraian, pemerintah tak akan menemui hasil menggembirakan. Sungguh pemicu perceraian begitu kompleks. 

Jika ditelisik, penyebabnya bukan semata-mata soal edukasi bagi calon pengantin.  Kondisi sistem ekonomi dan sosial yang rusak saat ini telah menjadi donatur utama bagi kerapuhan keluarga.

Beratnya beban keluarga saat ini mungkin tak akan bisa dihadapi para pasangan meski mereka sudah lulus kursus pranikah dan bersertifikat. Sempitnya hidup berkeluarga dalam sistem kehidupan kapitalis yang memiskinkan, sangat berpengaruh terhadap keharmonisan suami istri. Konflik suami istri sering terjadi hanya karena minimnya uang belanja dan ketidakmampuan keluarga mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Keharmonisan suami istri juga sering terganggu oleh paham kebebasan atau liberalisme di segala lini kehidupan.

Di berbagai tempat, terpapar hal-hal yang membangkitkan naluri seksual yang berpotensi memalingkan kesetiaan suami ataupun istri. Kecenderungan terhadap lawan jenis juga penyimpangan seksual kian masif. Bahkan, pasangan yang harmonis pun bisa tergerus oleh semua itu. Mereka yang memiliki pemahaman benar pada awal menikah tak sedikit yang kalah oleh beratnya tantangan kehidupan sekuler kapitalis saat ini.

Saat ini sangat marak kasus istri yang menggugat cerai suami, hal itu disebabkan oleh paham liberalisme dan kesetaraan jender (feminisme) yang menjangkiti perempuam perempuan Indonesia. Bahaya program kesetaraan gender adalah menolak aturan-aturan syariat, misalnya perempuan berhak untuk tidak mau hamil dan boleh melakukan aborsi. Menurut kesetaraan gender, wanita yang tidak nyaman hamil (anak tidak diinginkan) boleh melakukan aborsi.

Begitu juga, konsep kesehatan reproduksi, yang dilakukan di pos-pos kesehatan, tak jarang dimanfaatkan sebagai ajang sosialisasi bahwa perempuan yang tidak nyaman hamil boleh aborsi. Tidak hanya itu, ide kesetaraan gender juga membuat para perempuan memandang, seorang istri boleh menuntut ke pengadilan jika merasa dipaksa atau diperkosa suami. Akibatnya, angka perceraian di Indonesia didominasi gugat cerai (khulu').

Karena itu, seharusnya pemerintah (negara) fokus pada akar persoalan. Karena di era kapitalistik permasalahan yang mengakibatkan tingginya angka perceraian sangatlah kompleks. Ketahanan keluarga tidak cukup disiapkan oleh individu dengan bermodalkan tambahan pengetahuan dan keterampilan pernikahan saja, tetapi membutuhkan daya dukung negara dan sistemnya yang terintegrasi. Untuk menekan perceraian, pemerintah harus menanamkan ketakwaan kolektif sebagai benteng diri dalam menjalankan kehidupan berumah tangga. Selain itu pemerintah juga harus mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan dan lapangan kerja agar kondisi keterdesakan ekonomi tidak menyulut api perceraian. Negara juga harus mengatur perilaku manusia agar tidak mengarah pada kerusakan.

Negara dituntut meminimalisasi pergaulan bebas dan perselingkuhan dengan penjagaan dan penegakan hukum.  Media massa juga mengemban peran strategis dalam penjagaan cara hidup masyarakat, agar steril dari nilai liberal yang menjadi salah satu penyebab tingginya angka perceraian.

Negara berkewajiban memberikan pendidikan bagi masyarakat, terutama pendidikan agama.  Hal ini agar standar pemahaman dan perbuatan hanya berdasarkan pada apa yang Allah serukan. Melalui penerapan Islam kafah. Hanya Islamlah yang mengatur dan memetakan secara jelas hak dan kewajiban suami dan istri. Islam juga memberikan solusi atas permasalahan ekonomi yang melanda negeri ini, yang merupakan salah satu penyebab maraknya perceraian. Islam pula yang akan menuntun manusia pada ketaatan dan tujuan hidup yang benar, bukan seperti sistem kapitalis sekuler yang menjadikan manusia bergaya hidup hedonis.

Sudah saatnya kita menjadikan Islam sebagai agama yang sempurna menjadi solusi atas semua permasalahan kehidupan ini. Islam pula yang akan menekan tingginya angka perceraian, karena tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk beribadah mengikuti sunah Rasulullah Saw dan mengembalikan peran serta fungsi keluarga sebagai pencetak generasi terbaik. 

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post