Rimpu Bima, Maulid Nabi dan Identitas Islam

Oleh : Erni Yuwana 
(Aktivis Muslimah)

Identitas Islam kini mulai terkoyak. Hati kaum muslimin tak henti bergejolak. Ada rasa sakit di dada ketika Islamphobia semakin tinggi bergolak. Cadar dan celana cingkrang lagi-lagi mendapat perhatian yang tidak-tidak. Bahkan, menteri agama membuat pengumuman yang menyakiti kaum muslimin di berbagai pihak. Kenapa lagi-lagi umat Islam yang tertuduh dengan stampel radikalisasi tanpa bukti yang terkuak?

Penggunaan pakaian bercadar dan celana cingkrang yang notabene ajaran Islam pun tengah dipermasalahkan. Fachrul Razi, menteri agama, mengeluarkan kebijakan terkait pelarangan cadar bagi ASN perempuan, dan pelarangan celana cingkrang bagi ASN laki-laki. Pelarangan mengenakan cadar dan celana cingkrang ini dianggap sebagai upaya deradikalisasi, karena baik cadar maupun celana cingkrang dianggap identik dengan Islam radikal. Hal serupa pernah terjadi ketika Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, melarang mahasiswinya mengenakan cadar, dengan alasan menjaga kampus dari radikalisme Islam. (Detiknews.com, 04/11/2019)

Di tengah wacana kontroversi pelarangan cadar dan celana cingkrang, Bima menunjukkan eksistensinya dengan busana cadar sebagai budaya dan adat kebiasaan yang mendarah daging. Sebanyak 20.165 warga Kota Bima mengikuti Pawai Rimpu yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Kota Bima di Lapangan Serasuba, Kota Bima, Sabtu (12/10/2019). Jumlah itupun berhasil memecahkan rekor sebagai pawai rimpu terbanyak dan mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI). (Jurnalislam.com, 12/10/2019)

Rimpu merupakan cara berpakaian perempuan Bima dengan menggunakan sarung khas buatan masyarakat Bima, yaitu Tembe Nggoli (sarung songket) dengan tujuan untuk menutup seluruh auratnya (wanita) dengan menggunakan dua lembar Tembe Nggoli tersebut. Dua lembar kain itu adalah satu sarung untuk bagian atas (kepala) dan bagian bawah (badan). Sehingga yang terlihat hanya wajah atau bahkan hanya bagian mata saja. 

Ada dua cara dalam mengenakan Rimpu. Pertama, Rimpu Mpida (seperti cadar ala Arab), yaitu model pemakaian Rimpu yang menutupi semua bagian tubuh dan wajahnya kecuali mata. Cara-cara seperti ini biasanya untuk para wanita yang belum menikah.

Kedua, Rimpu colo (terlihat semua wajah) untuk para wanita yang sudah menikah. Karena sudah diperbolehkan memperlihatkan wajahnya dalam kehidupan masyarakat luas seperti ke pasar, acara-acara pernikahan, maupun kegiatan lainnya dalam masyarakat. Cara berpakaian seperti ini masih berkembang di Bima sampai sekarang.

Rimpu sudah menjadi nafas bagi masyarakat Bima. Rimpu sudah menjadi bagian adat dan kebiasaan berbusana. Rimpu mewarnai akhlak dan adab luhur di sana. Rimpu merupakan budaya asli bangsa Indonesia yang patut dilestarikan.  Namun,  keluhuran rimpu ternyata tidak dibarengi dengan keluhuran pemakaian cadar. Penggunaan pakaian bercadar dan celana cingkrang yang notabene ajaran Islam pun tengah dipermasalahkan bangsa. 

Tentu larangan penggunaan cadar sebagai simbol radikalisasi adalah suatu hal yang mengada-ada dan melukai umat muslim, termasuk masyarakat Bima. Pertama, cara berpakaian seseorang tidak menentukan tindakan yang mereka lakukan, dalam hal ini masalah keamanan. Masyarakat Bima sudah terbiasa dengan rimpu cadar dan tidak kita dapati masyarakat Bima sebagai masyarakat yang penuh konflik, perpecahan, peperangan dan berdarah-darah. Masyarakat Bima tetap hidup damai, santun, berakhlak mulia, berbudi luhur. Namun, mengapa hal ini tidak terlihat dan menjadi pelajaran bagi bangsa ini?

Kedua, wacana bahwa cadar identik radikalisasi, sesungguhnya merendahkan serta menghina agama Islam. Penggunaan cadar maupun celana cingkrang termasuk bagian dari Islam dan Sunnah nabi. Rasulullah saw. bersabda:

فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka dia bukan bagian dariku (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Siapa saja yang berada dalam barisan melarang penggunaan cadar, maka Islam nya bermasalah. Siapa saja yang tidak suka dengan syariah yang Rasul bawa, apalagi berpaling darinya, maka diragukan keimanannya. Siapa yang mengaku cinta kepada Nabi saw tetapi alergi terhadap syariahnya, maka cintanya dusta. Siapa yang mengaku cinta kepada Nabi tetapi ucapannya merendahkan syariah, tindakan dan kebijakannya terjangkiti penyakit islamophobia, maka keislamannya patut dipertanyakan. Bagaimana mungkin seorang muslim membenci aturan (syariat) nabi? Bagaimana mungkin seorang muslim takut akan simbol Islam? Bagaimana mungkin seorang muslim membuat aturan yang merendahkan agamanya sendiri? Bukankah dia seorang muslim?

Anas bin Malik ra. menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orangtuanya dan seluruh manusia (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai, al-Baihaqi, al-Hakim dan Ibnu Hibban).

Maka, mari kita jadikan momentum maulid nabi Muhammad Saw ini sebagai ajang muhasabah diri, terutama untuk bangsa Indonesia agar tidak gampang menuduh, mengklaim, melabeli dengan kata radikalisasi terhadap simbol dan syariat Islam yang mulia. Karena me-radikalisasi simbol dan syariat Islam bukan bagian dari keimanan, baik iman kepada Rasulullah Saw, maupun iman kepada Allah. 

Semoga kaum muslim tetap diberikan kekuatan untuk senantiasa menggenggam identitas Islam. Semoga kaum muslim senantiasa berbangga dengan identitas Islam. Bukankah rimpu Bima sudah menunjukkan bahwa busana cadar masih tetap menggelora di hati masyarakat walaupun modernisasi jaman mengancam?  Bukankah sebanyak 20.165 warga Kota Bima bangga mengikuti Pawai Rimpu di tengah wacana radikalisasi cadar? Kenapa kita ragu dan merasa harus mundur bahkan menyembunyikan identitas Islam kita? Maka, di hari maulid nabi yang mulia ini, saatnya umat muslim merajut kembali identitas Islam yang terkoyak. Identitas Islam adalah harga mati bagi umat Islam. Allahu Akbar!

Wallahu'alam bi ash shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post