Narasi Radikalisme, Isu Pengalihan Kegagalan Penguasa


Oleh : Nur Fitriyah Asri
Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif

Telah dilantik Kabinet Indonesia Maju (KIM) oleh Presiden rezim jilid II. Besoknya digelar sidang pertama, dimana Presiden Jokowi menetapkan target utama kerja kabinetnya untuk menuju "Indonesia Maju," adalah melawan radikalisme. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan para menterinya.

Dengan suara lantang dan tegas Menkopolhukam Mahfud MD, mengatakan bahwa akan melarang khilafah. Menurutnya sistem pemerintahan khilafah tidak ada dalilnya, dan dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila. Ini dimaksudkan untuk menjamin jalannya pemerintahan dengan baik dalam rangka menuju kemakmuran lima tahun kedepan.
Pernyataan yang disampaikan terkesan gegabah dan tidak etis, apalagi disertai dengan tantangan. Benarkah khilafah sebagai biang permasalahan di negeri ini?

Ketua II Persaudaraan Alumni (PA) II 212, Haikal Hassan, setuju dengan pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD, terkait pemberantasan radikalisme dan tafkiri (mengkafir-kafirkan orang lain). Namun, Haikal Hassan mengingatkan jangan fokus pada masalah radikalisme. Justru kegagalan rezim ada pada masalah ekonomi dan ketidakadilan.  (Indonesia Lawyers Club, 30/10/2019)

"Dari kata-kata Mahfud MD, seakan-akan ada darurat radikal. Padahal yang darurat adalah  ekonomi, utang luar negeri, tingginya angka pengangguran. Saat kampanye Jokowi berjanji akan menaikkan ekonomi sebesar 7%,  tapi yang terjadi hanya 5%. Rezim Jokowi jilid 1 dinilai gagal menyejahterakan rakyatnya. Dengan naiknya semua harga-harga, membuat daya beli masyarakat menurun. Alasan itulah yang mendorong buruh berdemo menuntut UMK Rp4,6 juta, kalau bisa Rp5 juta. Banyaknya PHK dan sulitnya mendapatkan lapangan kerja, menambah tingginya pengangguran.

Secara keseluruhan, jumlah angkatan kerja pada Februari 2019, sebanyak 136,18 juta orang, naik 2,24 juta orang dibandingkan dengan Februari 2018. Komponen pembentuk angkatan kerja adalah penduduk yang bekerja dan pengangguran. (m.bisnis.com.11/08/ 2019)

Adapun masalah utang, Bank Indonesia (BI) melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia sebesar US$ 393,5 miliar atau sekitar Rp5.553,5 triliun per akhir Agustus 2019. Makin membengkak. (CNBC Indonesia market, 15 Oktober 2019)

Tampaknya pemerintah masih bertumpu pada utang. Untuk pembayaran cicilan dan bunga sekitar 300T, mengambil porsi hampir 20% APBN. Pengeluaran ini sangat besar, dan untuk menutupinya dibebankan kepada rakyat dengan pencabutan subsidi dan penarikan pajak. Jadi jangan heran jika tagihan  pajak, listrik, BBM, BPJS, akan terus dinaikkan.

Rezim Jokowi jilid 1, masih banyak menyisakan kegagalan di semua bidang, antara lain: masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menurut Greenpeace Indonesia mencapai 3,4 juta hektare terbakar selama tahun 2015-2018. Ditambah catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPT),  menyebut 328.724 hutan dan lahan terbakar sepanjang Januari-Agustus 2019. Angka tersebut tidak statis dan bisa bertambah.

Pemerintah dinilai lemah dalam penegakan hukum terhadap perusahaan yang terbukti membakar hutan dan lahan. Justru cenderung pasif terhadap perusahaan yang sudah divonis, tetapi belum membayar ganti rugi. Seharusnya negara mendapat ganti rugi sebesar Rp18,9 triliun. Ironisnya sepeser rupiah pun belum masuk kas. Alhasil perusahaan lain menjadi tidak takut untuk melakukan pembakaran hutan dan lahan serta tindakan lainnya.

Demikian pula, kerusuhan yang menyebabkan korban jiwa dan mengancam disintegrasi di Wamena Papua, juga belum terselesaikan. Padahal insiden tersebut disebabkan oleh radikalisme yang dilakukan oleh non-muslim. Mengapa yang dituduh radikal hanya umat Islam saja?

Begitu juga, kegagalan di bidang pendidikan berbasis pembangunan karakter sangat memprihatinkan. Hal ini bisa dilihat dari tingginya korupsi, narkoba, meluasnya pergaulan dan seks bebas yang menunjukkan adanya dekadensi moral. Kriminalitas yang mencemaskan dan lainnya.

Sejatinya biang kerok kegagalan itu disebabkan ide yang diadopsi oleh negeri ini yaitu sekularisme. Paham yang memisahkan agama dengan kehidupan. Agama dilarang untuk mengatur urusan negara dan publik. Agama hanya untuk megatur masalah akidah dan ibadah saja. Jadi, wajar jika negara mengalami kegagalan di semua bidang. Anehnya khilafah yang dikambinghitamkan.

Di era pemerintahan rezim Jokowi, narasi radikalisasi digaungkan secara masif. Sudah bisa diduga siapa yang dijadikan sasaran tembak, tidak lain adalah Ormas Islam dan umat Islam yang gencar beramar makruf nahi munkar kepada penguasa. Banyak ulama, ustaz, yang dikriminalisasikan, dipersekusi karena kekritisannya.

Ada ketakutan yang amat sangat.Takut kehilangan tahtanya, takut terbongkar kebusukannya main mata dengan para cukong. Ada kongkalikong dengan imperialis, dan korporasi serta konspirasi jahat menghadang khilafah. Sehingga untuk membungkam ulama yang kritis dan hanif, maka digencarkan dan selalu dinarasikan bahwa radikalisme adalah musuh negara, dan musuh semua rakyat Indonesia. Sungguh, fitnah yang sangat keji.

Menkopolhukam Mahfud MD dan Menteri Agama, Fachrul Razi, yang akan mengawasi ustaz-ustaz, masjid-masjid yang terpapar radikalisme menurut paham mereka yaitu yang memperjuangkan diterapkannya syariat dan khilafah. Narasi radikalisme sejatinya alat untuk membungkam ulama dan mengalihkan isu kegagalan penguasa yang anti kritik.

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi Saw bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Narasi radikalisme yang terus menerus dihembuskan, memunculkan Islamofobia. Disadari apa tidak, sejatinya rezimlah yang telah membuat teror kepada rakyatnya. Umat Islam dibuat takut kepada agamanya. Sekaligus menghalangi dakwah Islam. Sungguh, dampaknya luar biasa. Sesama umat muslim saling mencurigai saudaranya, penguasa sudah mengadu domba diantara umat Islam. Menurut pengakuan Ustaz Haikal Hassan sampai hari ini masih dicekal dan merasa sangat dirugikan dan  dizalimi.

Sesungguhnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah sudah di ambang titik nadir. Ini disebabkan karena bobroknya sistem demokrasi yang tidak bisa melahirkan pemimpin yang amanah dan tidak akan bisa menyelesaikan semua problematika umat.

Namun, pencitraan dan kebohongan terus berulang untuk menarik perhatian rakyatnya. Presiden menyatakan visi ekonomi Indonesia, di tahun 2045 akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia. Sebuah khayalan dan pembohongan publik. Faktanya ekonomi Indonesia masih bertopang pada impor. Kebutuhan pangan seperti beras dan garam saja masih impor.
Selama sistemnya demokrasi sekularisme, kemakmuran tidak akan bisa diwujudkan. 

 "Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDM-PB)  ke-3 di KOTA MALANG," Ahad,20/10/2019. Tempat berkumpulnya 60-an profesor, doktor, dan magister muslim dari berbagai disiplin ilmu berkeinginan untuk memberikan sumbangsih pemikiran dengan gagasan yang mendalam dari sudut pandang Islam. Mengambil tema "Negara dalam Krisis, Butuh Solusi Sistemik." Artinya Indonesia dalam keadaan tidak baik.

"Solusi yang diberikan seorang muslim haruslah diambil dari min zawiyyatin khoossoh, sudut pandang yang khas, yaitu sudut pandang Islam," mengapa?

Islam adalah agama sekaligus ideologi yang mengatur semua sendi kehidupan. Meliputi akidah, ibadah, makanan, minuman, pakaian dan akhlak. Serta mengatur urusan publik: pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, politik dalam dan luar negeri, muamalah dan uqubat. Semua syariat tersebut hanya bisa diterapkan oleh negara. Negara yang menerapkan aturan secara menyeluruh inilah yang disebut dengan khilafah, dipimpin oleh seorang khalifah.

Khilafah adalah warisan Rasulullah Saw, telah terbukti membawa kejayaan Islam selama 1400 tahun. Dan khilafah akan tegak kembali meskipun dihadang, dipersekusi dan dikriminalisasi. Karena janji Allah Swt dan bisyarah Rasulullah Saw pasti benar.
Rasulullah Saw bersabda:

«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللّٰهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ» ثُمَّ سَكَتَ

“Di tengah-tengah kalian ada zaman kenabian. Atas kehendak Allah zaman itu akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkat zaman itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Khilafah itu akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Lalu Dia akan mengangkat khilafah itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (pemerintahan) yang zalim. Kekuasaan zalim ini akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (pemerintahan) diktator yang menyengsarakan. Kekuasaan diktator itu akan tetap ada sesuai kehendak Allah. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan muncul kembali khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (Hudzaifah berkata): Kemudian beliau diam (HR Ahmad dan al-Bazzar).

Wallahu a'lam bishshawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post