Hidupku Milik Siapa?

Oleh : Jafisa 

Perkenalkan, namaku Diana. 10 tahun yang lalu, aku dititipkan ibuku kepada 'biyung' (nenek dalam bahasa jawa). Menurut biyung dan beberapa tetangga ketika aku ditipkan pada biyung kondisiku amat parah, tinggal kulit dan tulang yang menempel ditubuhku. Atas izin Allah dan berkat kasih sayang biyung, pak de dan bu lik aku bisa menikmati hidupku sampai hari ini. Bu lik rela pergi menjadi TKW, pak de rela banting tulang dan biyung rela berbuat apa saja untuk menyekolahkan dan membesarkanku. Sungguh kebaikan itu tak mampu ku ungkapkan lewat kata dan suara, hanya bisa terukir lewat aksara dan nada.
...

"Diana!" Suara cempreng biyung berhasil membangunkan tidur lelapku, rasa kantuk yang begitu berat membuatku terseok-seok meraih daun pintu, belum genap satu menit, suara itu kembali menggema seolah gempa berkekuatan 7 SC yang berhasil memporak-porandakan Aceh tercinta.

"Diana! Sudah subuh ayok bangun!" 

"Iya yong" sahutku menghibur, 

"Dipanggil dari tadi tidak juga bergegas?" Bu lik menimpali,

"Iya, iya lik" sahutku sembari mempercepat langkah menuju kamar mandi. Entahlah aku begitu takut dengan nada ocehan bu lik yang bakalan panjang ocehanya melebihi kereta MRT, jalur tor Cipularang dan sesuatu yang panjang pokoknya. Bahkan, ocehan bu lik durasinya bisa menandingi pidato bapak presiden dalam peringatan HUT RI. 

"Jangan lupa wudhu dan shalat!" Biyung mengingatkan aku yang memang suka melalaikan hehe,

Ok, dengan terpaksa aku harus mengerjakan itu semua, meskipun pada umumnya anak seusiaku belum saatnya melakukan hal seperti, aku harus belajar ikhlas.
..

Lepas shalat ku bergegas menyalakan televisi sambil menunggu waktu berangkat sekolah tiba. Belum lama ku melototi layar televisi, tiba-tiba panggilan cempreng kembali mendarat ditelinga. 

"Diana!" Lagi-lagi suara bu lik terdengar, suara jeleknya mirip nyanyian berhaluan metal dan underground hehe,

"Iya lik" segera ku matikan televisi, ku hampiri arah suara memanggil sebelum terjadi badai tornado dan angin puting beliung memporak-porandakan benteng pertahanan.

"Ada apa lik" tanyaku pura-pura, 

"Ada cucian piring menunggu sayang," balas bu lik sambil memetik kangkung yang hampir layu,

"Oke lik" jawabku sambil meringis,

'Fiuuhh' Ritual harian yang wajib ku kerjakan. Sejak kedatangan bu lik delapan bulan yang lalu, hidupku berubah. Bu lik Sasa namanya, cukup sasa saja ya gaes, jangan ditambah ajinomoto atau royco. Ini bu lik yang tinggalnya jauh di pulau Sumatera, ia memiliki dua krucil yang aktifnya melebihi si kancil. Aku saja baru tahu punya bu lik sekiller dia, hahaha. Maklum saja, beliau belum pernah pulang kampung semenjak menikah dengan pujaan hatinya, #eaaa. Kelahiranku juga bertepatan dengan dua tahun kepergianya.
Lanjut cerita ya, sejak kedatangan bu lik jatah nonton televisiku berkurang, tugas-tugas rumah tangga mulai bergiliran menghadang. Jadwal-jadwal sengaja bu lik tempelkan di dinding kamarku agar aku selalu mengingatnya. Mulai dari jadwal shalat, hafalan, setoran sampai membersihkan tempat tidurku, nyanyian "bangun tidur ku terus mandi" telah diterapkan bu lik. Bebanku jadi terasa berat. Padahal ku lihat teman-temanku tak mengerjakan tugas seperti yang ku lakukan. 'Ini tidak adil!' gumamku dalam hati sambil meremas kertas buku sekolah. #udahMiripSinetronBelum?
 Ingin melawan tapi tak berani. Hari demi hari ku lalui dibawah komando bu lik.
..

"Yuhuuuu weekend telah tiba, jatah mainku bertambah" gumam hatiku sambil sedikit jingkrak-jingkrak kegirangan dalam kamar dengan sedikit menyanyikan lagu yang sedang viral itu "entah, apa yang merasukimu", 

Sayup-sayup kudengar suara brisik dari arah ruang tengah, ku dongakan setengah kepalaku agar bisa melihat kisruh apa yang tengah terjadi diruang depan yang hebohnya melebihi emak-emak demo tolak kenaikan BBM. Eh, ternyata dua krucil sedang menelfon, 

"Abi," dua krucil anak bu lik memanggil dari balik handphone yang dipeganginya, 

"Iya nak," suara lembut terdengar dari kejauhan,

"Kami kepingin beli mainan," 

"Nanti kalau ada uang, Abi kirim ya," 

Mereka melanjutkan bincang dengan penuh keseruan, meskipun hanya lewat video call. Percakapan hangat antara ayah dan anak yang terkadang membuatku iri. Sesekali aku ikut nimbrung agar diakui. Namun belum cukup menenangkan hati. Hidupku terasa sepi. Kasih sayang yang diberikan biyung bagiku kasih sayang yang amat tulus, namun tetaplah ada ruang yang kosong dihati ini. Kehadiranku yang tidak pernah diinginkan oleh kedua orang tuaku membuat hidupku terasa disayat sembilu. Sejak kecil ku tak pernah melihat sosok ayah biologisku. Yang ku tahu hanya pak de yang selalu menghibur, menemani dan mengurusku.

Ibu yang pulang-pergi sesuka hati tanpa memikirkan kehidupanku membuatku amat sedih.  

"Diana!" Suara lelaki yang sudah akrab ku kenal memecah lamunanku, 

"Iya pak de!" Jawabku semangat,

"Mau ikut tak?" Ajaknya sembari memanaskan motor,

"Ikut," dengan cepat ku berlari mengambil kerudung dan jilbab, 

Biasanya dua krucil anak bu lik tak mau ketinggalan membuntuti, namun kini nampaknya mereka sedang asyik mengobrol dengan lelaki yang dipanggilnya 'abi'. Ah, sudahlah aku segera membuang jauh rasa iri ini, ku hampiri pak de yang tak sabar menungguku.

Kami pun pergi berjalan-jalan bersama. Pak de lah yang selama ini hadir dalam hidupku. Sosok lelaki hebat yang sudah menggantikan ayahku dari anganku. Lambat laun nama ayah kian hilang dari benaku.
..

"Diana, kalau diberi tahu biyung mbok yo jangan melawan," bu lik mulai mengawali muqadimah, mirip mama Dedeh mau ceramah. Aku tetap terdiam dengan ekspresiku yang menunjukan ketidak sukaan pada ceramah bu lik. Dalam hati ku berdo'a "Semoga ceramahnya segera ditutup dengan kalimat hamdalah," hehe senyum sinis berhasil mampir dibibirku, 

"Diana dengar kan?" bu lik mengulangi,

"Iya, iya dengar," jawabku ketus,

"Loh kok jawabnya gitu," 

"Iya tuh lik, kalau dibiarkan terus suka lupa, marahin saja lik," Biyung menimpali,

"Lah biyung, kenapa nyuruh bu lik marahin aku sih!" Aku berusaha menunjukan sikap perlawanan kembali,

"Iya lah, Diana kan tidak mempan kalau biyung yang menasehati kan?" Sergah biyung, 

"Lah biyung pasti bilang begitu" jawabku sambil menaikan intonasi nada a minor, d minor ke c, ke c lagi mirip lagunya the kuburan band,

"Diana stop! Jangan teruskan,  biarkan biyung bicara. Belajarlah mendengar agar jadi orang beradab" Bu lik terlihat sedikit Marah, rona wajahnya memerah melihat perlawananku pada biyung, 

"Diamlah! atau Allah akan marah," Bu lik menambahkan, 

Aku terdiam. 30 menit lamanya, ruangan mungil itu menjadi sunyi tanpa suara. Keadaanpun mirip seperti lagunya Jamrud band "tiga puluh menit, kita disini, tanpa suara", gitar mana gitar!

Prahara ini selalu diawali ketika ku tidak menjalankan tugas sesuai jadwal. Yah, mereka sebenarnya tak salah, aku memang yang sengaja mencari masalah. Mereka kembali berdiakusi dan berkolaborasi merumuskan keputusan perihal pasal apa yang akan menjerat perbuatanku, mirip anggota DPR dan pak  Hakim yang budiman. Ku tetap diam dengan bibir manyunku sembari sedikit berkomat-kamit melafalkan mantra berharap waktu yang disalahkan #eh. Entahlah apa yang tengah mereka diskusikan. Kasus ini akhirnya selesai ketika aku mencoba mengulurkan tangan kepada bu lik dan biyung, seraya mengucapkan permohonan maaf untuk tidak mengulangi. Suasana telah mencair, kamipun berpelukan layaknnya teletubies, si krucil yang dari tadi hanya bisa melihatku diadili didepan meja hijau tanpa memberikan pembelaan padaku ikut melengkapi personil teletubies. Eh, tunggu dulu. Teletubies hanya ada empat kan ya, pertama tingkiwingki, dipsi, lala dan poo. Nah ini kalau antara aku, bu lik dan biyung saja sudah ada tiga orang, ditambah dua krucil jadi lima donk? OK, kalau gitu sebutan yang paling pantas untuk kita kemarin adalah pelukan Power Ranger, haha. Ah, gak penting semua itu. Apapun sebutanya asalkan "Aku bahagia" itu cukup pemirsah.

Bersambung, Hidupku Milik Siapa? (2)

Post a Comment

Previous Post Next Post