Dampak Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung

Oleh : Irianti Aminatun

Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, pemerintah terus memprioritaskan pembangunan infrastruktur komersial. Diantara inrastrukutr komersial yang tengah dikebut pembangunannya adalah proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung. 

Sayangnya dalam pelaksanaan pembangunan proyek itu banyak  berdampak buruk bagi lingkungan, sosial,hingga mata pencaharian rakyat. Di Cibiru sekitar 246 siswa  dan 10 guru  SD Tirtayasa Cibiru kehilangan sekolah mereka  yang sudah rata dengan tanah akibat tergusur oleh  pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung. Saat ini mereka numpang di SDN 10 Cibiru dan SDN Mekarbiru dengan sarana  prasarana yang sangat tidak memadahi. Lokasinya pun jauh dari tempat tinggal mereka.

Pembangunan gedung baru  sebagai ganti gedung lama yang dijanjikan oleh PT KCIC sampai saat ini belum terealisasi. Jangankan membangun musola, perpustakaan, laboratorium, rumah dinas guru sebagaimana yang juga dijanjikan PT KCIC, bangunan gedung sekolah baru yang seharusnya sudah berjalan sejak delapan bulan lalu pun belum dilaksanakan. Tanah seluas 1240 m2 di kampung Taman Cimekar sebagai gantinya,   masih kosong belum ada tanda-tanda akan dibangun.

Di Padalarang, pengerjaan terowongan (tunnel) 11 yang berlokasi di gunung Bohong, kecamatan Padalarang juga telah membuat kekhawatiran dan keresahan warga setempat. Pasalnya pekerjaan terowongan tersebut dilakukan dengan cara pengeboman. Padahal dikesepakatan awal pengerjaan dilakukan dengan cara pengeboran.

Ledakan dalam setiap pengeboman berdampak pada kerusakan ke 120 rumah dengan 500 jiwa yang berada di kaki Gunung Bohong itu. Belum lagi terganggunya aktivitas belajar mengajar siswa yang berdekatan dengan proyek akibat terpapar debu dan kebisingan.Terakhir telah memakan korban jiwa dan luka-luka pada pekerja proyek akibat pipa BBM Pertamina yang berada pada lokasi proyek bocor dan terbakar selasa (22/10/2019) lalu.

Proyek ini juga diduga akan  mengakibatkan banjir yang  lebih parah  di wilayah Rancaekek dan sekitarnya. Dilansir dari laman Pikiran Rakyat online, Wakil Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Bandung Cecep Suhendar mengatakan ada beberapa dampak dari pekerjaan proyek KCIC yang melipatgandakan resiko banjir di Rancaekek. Yang terbesar adalah urukan tanah di lokasi proyek, telah mengelilingi pemukiman warga yang notabene sebelumnya memang menjadi langganan banjir.

“Parahnya lagi, yang menjadi tempat urukan tersebut tadinya justru merupakan daerah yang dijadikan warga untuk mengalirkan air saat banjir. Ketinggian urukan tak tanggung-tanggung mencapai delapan meter dan ada yang permukaannya hampir rata dengan atap rumah warga,” kata Cecep. Selain itu,  sejumlah saluran drainase warga juga banyak yang hilang. Sebagian tertutup oleh material proyek, sebagian jalurnya terpotong oleh lokasi proyek. 

Berkaitan dengan banjir Rancaekek ini, sesuai kesepakatan awal PT KCIC bersama Pemkab Bandung dan Pemprov Jabar rencananya memang akan membangun danau retensi di lokasi tersebut. Nyatanya hingga saat ini kolam retensi belum terealisasi. Justru terjadi saling lempar antara pengembang TOD dan KCIC.

Dampak buruk pembangunan proyek KCIC bukan hanya itu. Direktur eksekutif Walhi Jawa barat Dadan Ramdani menyatakan permasalahan yang muncul berkaitan dengan aspek hukum, terutama hukum tata ruang dan lingkungan serta kehutanan yang melanggar tata ruang kabupaten dan kota yang dilaluinya.
“Di samping itu, pembuatan trase kereta cepat Jakarta-Bandung juga akan merampas dan menggusur sekurang-kurangnya 3000 bangunan pemukiman, sedikitnya 150 bangunan usaha, 2.550 ha lahan pertanian. Hampir 900 KK kehilangan pekerjaan sebagai petani dan buruh tani dan sekitar 150 KK kehilangan usaha” ungkap Dadan. (JawaPos.com).

Pembangunan infrastruktur selama ini berjalan memang terkesan abai pada aspek lingkungan dan kemanusiaan. Pemerintah terlihat lebih mengutamakan investor ketimbang penyelesaian masalah dampak buruk dan bahaya yang akan terjadi pada lingkungan dan hak-hak warga.

Diterbitkannya Perpres 56/2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Program Strategis Nasional yang mengharuskan pemangkasan prosedur perizinan untuk sejumlah proyek strategis nasional, telah menjadi dasar hukum pengabaian tata ruang daerah.

Pembangunan  proyek KCIC sejatinya lebih untuk kepentingan investor dibanding kepentingan rakyat. Kereta cepat hanya akan menjadi batu loncatan untuk permasalahan yang lebih besar atas nama pembangunan, yang sebenarnya hanya kedok untuk menguntungkan investor dan pengembang dalam merampas tanah rakyat. Proyek pembangunan infrastruktur komersial hanyalah untuk melayani akses rantai pasok global para kapitalis dan tidak memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat.

Kondisi buruk ini adalah akibat cara bernegara secara neoliberal, dengan penerapan konsep good governance, yang termaktub dalam sejumlah perundang-undangan dan peraturan. Diantara yang menonjol adalah fungsi dan wewenang pemerintah dibatasi sebagai regulator. Pembangunan infrastruktur yang mengacu pada konsep KPS (Kemitraan Pemerintah dan Swasta) dan anggaran berbasis kinerja. Akibatnya hajat hidup publik dalam kendali korporasi.

Kebijakan ekonomi yang berbasis kapitalisme neoliberallah kondisi ini terjadi. Pemerintah meminimalkan tanggungjawabnya sebagai pelayan dan pengatur urusan masyarakat, dan menyerahkan perannya kepada pemilik modal. Akibatnya hak-hak masyarakat tergilas, sementara para kapitalis terus meningkatkan labanya dengan segala cara tanpa melihat dampak buruk bagi lingkungan, kehidupan, dan manusia.

Semua itu merupakan kerusakan (fasad) yang harus diperbaiki dan kemaksiatan yang harus ditaubati. Perbaikan dan taubat yang harus dilakukan tidak cukup pada tingkat individu dan kelompok, tapi dengan meninggalkan sistem neoliberal yang terbukti telah gagal menyelesaikan berbagai persoalan. Kemudian mengganti dengan sistem  Islam, sebuah sistem yang sempurna karena datang dari Dzat Yang Maha Sempurna. Tidak ada yang kurang apalagi salah dalam sistem tersebut karena sistem Islam datang dari Dzat Yang Maha Benar.

Sistem Islam adalah sebuah sistem pemerintahan yang bertanggungjawab penuh untuk mengurusi seluruh urusan rakyat. Dalam pembangunan infrastruktur Kepala negara dengan dalih untuk kepentingan umum tidak dibenarkan mengambil alih bangunan  atau tanah milik individu rakyat dan menjadikannya milik negara atau swasta.

Sebagai contoh, di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab yang ingin memperluas masjid karena telah penuh sesak. Khalifah memberikan tiga opsi bagi Abbas yang rumahnya terkena proyek perluasan masjid tersebut. Pertama menjual rumah dengan harga sesuai dengan yang diinginkan pemilik. Kedua, bangunan dan tanah akan diganti sesuai dengan kota yang dikehendaki. Ketiga, mewakafkan rumah tersebut untuk perluasan masjid.Umar tidak mengambilnya secara paksa meski untuk kepentingan masjid. Setelah Abbas mengambil keputusan, barulah Khalifah Umar membangunkan rumah sebagai ganti untuknya.

Di masa lalu, Daulah Islam dengan sinergi dari keimanan, ketaatan pada syariat, dan ketekunan mereka untuk mempelajari sunatullah telah mampu menggunakan ilmu dan teknologi yang tepat untuk kesejahteraan rakyat hingga melahirkan peradaban Islam yang tahan berabad-abad.

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat kami), maka kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (TQS Al A’raf ayat 96).

Wallahu a’lam bi showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post