Pemimpin Bodoh dan Dampak Buruknya dalam Perspektif Islam


Oleh : Nur Fitriyah Asri
Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif

Manusia bodoh dalam perspektif Islam, bukanlah mereka yang tidak bisa membaca, menulis, tidak naik kelas, tidak bertitel atau berpangkat. Melainkan, orang bodoh itu sudah dijelaskan dalam QS al-A'raf: 179, Allah berfirman: "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."

Orang bodoh digambarkan sebagai hewan ternak yang tidak berakal, hanya fokus memikirkan dan mengejar kelezatan dunia dan memuaskan syahwat biologisnya. Kebodohan merupakan salah satu perkara yang amat dibenci oleh Rasulullah Saw, sebagaimana penyakit hati yang bisa membinasakan dirinya sendiri maupun orang lain. Sebab, kebodohan merupakan sifat yang amat disukai oleh iblis dan setan.

Mengapa? Karena bahaya kebodohan yang pertama adalah tidak bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang haram dan yang halal, serta mana yang haq dan yang batil. Kebodohan akan  menyebabkan seseorang mudah ditipu, mudah diakali dengan tipu muslihat serta mudah dipengaruhi dan didikte serta diintervensi oleh musuh-musuhnya. Sesungguhnya kebodohan merupakan penyebab kerusakan di muka bumi, karena menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka, berfatwa dan mengatur urusan umat tanpa ilmu dan pengetahuan yang berasal dari wahyu Allah Swt. Akibatnya menjadi sesat dan menyesatkan orang lain.

Rasulullah Saw bersabda, "Aku mengkhawatirkan atas diri kalian enam perkara: kepemimpinan orang bodoh; jual beli hukum/pemerintahan; banyaknya polisi; pemutusan tali silaturahmi; orang muda yang menjadikan Alquran layaknya nyanyian, penumpahan darah." (HR Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, ath-Thabarani).

Tampaknya kekhawatiran Rasulullah Saw yang disampaikan ribuan tahun (1400 tahun) silam nyata terbukti. Kerusakan umat di semua lini kehidupan disebabkan karena umat Islam mencampakkan aturan yang berasal dari Allah. Lebih memilih aturan dari Barat yaitu sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Manusia merasa berdaulat  membuat aturan sendiri, bahkan tidak menyadari  bahwa akalnya terbatas dan lemah. Sehingga hukum yang dihasilkannya juga lemah tidak memberikan keadilan, tidak bisa menyelesaikan masalah, justru memunculkan masalah-masalah baru.

Di antara enam kekhawatiran, Rasulullah Saw menempatkan kepemimpinan bodoh (imaaratu as-sufahaa) sebagai kekhawatiran yang pertama.Telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw, "Apabila perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kiamat," (HR al-Bukhari dari Abi Hurairah).

Kekhawatiran kedua, jual beli hukum/pemerintahan (bay' al-hukmi). Sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum bisa diperjualbelikan, ibarat pedang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Begitu juga banyaknya transaksional jual beli jabatan, telah terbukti banyaknya OTT KPK, tentang kasus suap. Justru sangat memprihatinkan karena banyak terjadi di Departemen Agama (lelang jabatan),
DPR dan DPRD sekitar 119 orang, gubernur 15 orang, bupati dan walikota 50 orang," kata Agus dalam pidatonya di KPU, Jakarta, Senin, (5/9/2016).

Kekhawatiran ketiga, banyaknya polisi. Artinya sistem pemerintahan militeristik. Dimana ada kekhawatiran yang sangat berlebihan, semua dicurigai dan dianggap pihak-pihak yang mengancam kekuasaannya. Alhasil pendekatannya secara militeristik berupa ancaman, intimidasi, kriminalisasi. Hal ini untuk mengancam dan menakut-nakuti lawan politiknya dan ulama yang mengkritik, serta siapa saja yang berseberangan dengan penguasa. Selalu dinarasikan dan dihembuskan isu radikalisme bagi pejuang syariah dan khilafah untuk memunculkan islamofobia.

Kekhawatiran keempat, pemutusan silaturahmi, yang dimaksud adalah kerusakan pengaturan hidup. Dalam hal ini tidak menggunakan hukum Islam maka wajar jika terjadi kerusakan sosial, tercermin tingginya pergaulan dan seks bebas, aborsi, maraknya narkoba serta kerusakan keamanan/hilangnya rasa aman, dan meningkatnya kriminalitas, kesenjangan ekonomi, pemerkosaan, pelecehan seksual dan lain-lain.

Kekhawatiran kelima, orang muda yang tumbuh menjadikan Alquran layaknya nyanyian. Dimana pembaca Alquran posisinya seperti penyanyi dan pengisi sebuah acara. Mestinya Alquran dipakai sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan konstitusi. Ironis malah dicampakkan.

Kekhawatiran keenam, penumpahan darah. Urusan darah dianggap sepele. Nyawa seseorang tidak ada artinya. Begitu mudahnya menghilangkan nyawa seperti insiden di Wamena-Papua, demonstrasi mahasiswa tolak RUU KUHP, demonstrasi 22-23 Mei yang semuanya memakan korban jiwa tidak sedikit. Semua itu ciri dari penguasa diktator.

Begitu mengerikan akibat  pemimpin bodoh, dampaknya luar biasa, bisa menghancurkan negeri sekaligus penduduknya.Tentu semua itu harus diakhiri dan diubah. Caranya memilih pemimpin yang menjadikan Alquran dan sunah sebagai petunjuk hidup, untuk diterapkan di semua lini kehidupan dalam institusi khilafah ala minhajjin nubuwwah.

Rasullullah Saw mendeskripsikan imaaratu as-sufahaa (pemimpin bodoh). Beliau bersabda kepada Kaab bin Ujrah: "Aku memohonkan perlindungan kepada Allah untukmu dari imaaratu as-sufahaa (pemimpin bodoh)." Kaab berkata, "Apa itu, ya Rasulullah?" Rasul bersabda, "Yaitu para pemimpin yang ada sesudahku. Mereka tidak mengikuti petunjukku dan tidak meneladani sunahku. Siapa saja yang membenarkan mereka dengan kebohongan mereka dan menolong mereka atas kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku dan aku bukan bagian dari golongannya dan dia tidak masuk telagaku. Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan mereka dengan kebohongan mereka,  maka dia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya dan dia akan masuk ke telagaku ...." (HR Ahmad, ak-Bazzar, Ibnu Hibban, ak-Hakim, al-Baihaqi).

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post