Mengembalikan Peran MUI Sebagai Khadimul Umat



Oleh: Irma Faryanti
(Ibu rumah tangga & Member AMK)


"Kami ini bagaikan kue Bika yang dibakar di antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah,  di bawah umat.."

Itulah kutipan pidato Buya Hamka ketika mencoba menggambarkan posisi ulama di masyarakat. Berada dalam posisi yang serba sulit untuk memilih apakah kepentingan umat ataukah pemerintah.
Suasana perpolitikan yang tengah memanas di negeri ini, menyusul rencana akan disahkannya beberapa RUU yang dinilai kontroversial dan tidak berpihak pada rakyat memicu reaksi dengan digelarnya aksi damai yang dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat. Menyikapi hal ini, Ketua MUI Jabar Rachmat Syafei mengimbau masyarakat untuk tidak ikut terpancing menghadiri aksi, karena yang paling dikhawatirkan oleh MUI pada aksi tersebut adalah bergesernya agenda tuntutan mengenai revisi UU KPK dan undang-undang lainnya pada isu lainnya. Seperti, pembatalan pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2019 mendatang. Bahkan Rachmat menyatakan kekhawatirannya akan ada gerakan yang bersifat mempolitisasi agama, menumpang kegiatan Parade Tauhid. Ia berpandangan bahwa "Gerakan ini dikoordinir oleh kelompok tertentu di Jakarta dan mengajak para ulama, habaib, ustaz, dan aktivis keagamaan dari daerah lain untuk bergabung," kata Rachmat di Kantor MUI Jabar, Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, Kamis (26/9/2019). Karena itu atas nama MUI Jabar, Rachmat mengimbau masyarakat, khususnya umat Islam di Jabar untuk tidak menghadiri Parade Tauhid tersebut. Sebab aksi Parade Tauhid, melibatkan massa cukup banyak, sehingga rawan disusupi provokator. (Sindonews.com)

MUI menilai kegiatan tersebut sebagai kegiatan yang bersifat mempolitisasi agama. Masyarakat diminta waspada terhadap pihak-pihak yang ingin memancing di air keruh. Jika masyarakat ingin menyampaikan aspirasi, bisa menggunakan cara-cara prosedural, sesuai perundang-undangan yang berlaku. MUI merasa harus menyampaikan himbauan tersebut karena hal tersebut merupakan tanggung jawab MUI sebagai khadimul umat agar kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terganggu. 

Pernyataan Ketua MUI Jabar  ini tentu sangat disayangkan, mengingat beliau adalah seorang muslim yang juga merupakan bagian dari umat. Lembaga keagamaan yang berdiri pada tanggal 26 Juli 1975 ini seolah lupa akan perannya. Padahal dalam pedoman pokok MUI, setidaknya ada lima fungsi MUI, yaitu : Pertama, Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar makruf nahi munkar dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional. Kedua, Memperkuat ukhuwah Islamiyah dan melaksanakan kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional. Ketiga, mewakili umat Islam dalam badan konsultasi antar umat beragama. Keempat, penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna mensukseskan pembangunan nasional Kelima, Majelis Ulama tidak berpolitik dan tidak bersifat operasional. (Pelita, 28/7/1975)

MUI semestinya menjadi wadah amar makruf dari rakyat kepada penguasa, bukan menghalangi umat untuk menyampaikan aspirasi. Ungkapan Ketua MUI Jabar yang menyatakan bahwa larangan itu untuk mewujudkan tanggung jawabnya sebagai khadimul umat,  nyatanya tidak sesuai dengan fakta. Khadimul umat (pelayan umat) sejatinya diwujudkan dalam berbagai aktivitas melayani umat. Karena saat ini yang terjadi adalah munculnya berbagai kebijakan yang sangat tidak berpihak dan cenderung merugikan umat. MUI sepatutnya mendukung, memberi support bahkan memfasilitasi tercapainya aspirasi masyarakat ini. Namun yang terjadi bahkan sebaliknya, umat bahkan dihimbau untuk tidak ikut serta dalam parade tersebut. Seharusnya ketika memposisikan diri sebagai khadimul umat, apa yang menjadi keluhan umat adalah prioritasnya, karena MUI semestinya menjadi kepanjangan lisan rakyat untuk disampaikan kepada para penguasa.

Tapi sayangnya aksi damai yang dilakukan ini akhirnya berujung pada bentrokan yang terjadi antara aparat dan mahasiswa. Hingga mengakibatkan darah anak negeri tertumpah membasahi bumi, rumah ibadah pun dikotori sepatu aparat yang tak punya hati nurani. Hal inilah menambah rasa muak dalam diri masyarakat, hingga gerakan mahasiswa seolah berubah menjadi pergerakan rakyat. Pelajar, buruh, mulai ikut turun ke jalan. Dan gelombang aksi pun makin meluas di berbagai daerah dengan masa yang makin panjang. Tuntutan yang disampaikan makin beragam. Tak hanya soal penolakan revisi UU KPK, namun sebagian mahasiswa menyuarakan penolakan RUU KUHP, dan UU Pertanahan. MUI seharusnya memandang hal ini sebagai perkara serius karena sudah menyangkut kepentingan masyarakat secara umum.

Namun sayangnya, MUI saat ini secara terang-terangan menampakkan keberpihakannya kepada pemerintahan yang berlaku. Kepentingan kapitalis jelas lebih diutamakan, dengan menghalalkan segala cara demi meraih materi dan kedudukan duniawi. Tanggung jawab sebagai khadimul umat seolah menguap begitu saja.

Kapitalisme memang meniscayakan hal itu, sebagai sebuah sistem hidup yang saat ini tengah memimpin dunia, Kapitalisme menancapkan cengkeramannya di tengah negeri-negeri muslim agar mengikuti arahannya, mengadopsi hukum-hukumnya, dan tunduk patuh atas segala kebijakannya.
Kapitalisme berusaha memperkuat pengaruhnya dengan menyebarkan ide-idenya, membuat umat takut akan agamanya dan menjauhkan agama dari kehidupannya. Cara yang ditempuh oleh kapitalisme adalah dengan menempatkan pemimpin-pemimpin yang loyal, serta melakukan pendekatan pada para pemuka agama seperti para ulama, dengan tujuan untuk mencari pelegalan melalui berbagai dalil yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan, hal ini dimaksudkan untuk bisa meredam gejolak.

Inilah yang semestinya diwaspadai oleh para ulama. Bahwa posisi mereka dipandang objek strategis untuk menyejukkan amarah rakyat dengan mengatasnamakan agama. Pemuka agama adalah posisi yang banyak dilirik oleh pihak tak bertanggung jawab yang cenderung ingin memanfaatkan mereka demi kepentingan politik. Sikap yang ditunjukkan MUI sayangnya seolah lebih berpihak pada hukum sekuler daripada mengutamakan hukum Allah. Alih-alih merasa prihatin akan kondisi umat Islam saat ini yang terpuruk karena tidak diterapkannya syariat Islam, MUI nyatanya lebih mengedepankan kekhawatiran perpecahan di tubuh NKRI yang jelas merupakan produk kuffar dan berpeluang besar memecah belah umat melalui ide nasionalisme yang dihembuskannya.

Jika yang nampak saat ini adalah geliat perubahan yang terjadi di tengah umat, akibat penindasan dan ketidakadilan. Reaksi masyarakat terhadap beberapa RUU yang akan disahkan sehingga memicu aksi penolakan. Awalnya digelarnya acara ini diharapkan bisa menjadi angin segar terwujudnya kebangkitan. Tapi tentunya kebangkitan yang dimaksud tidak cukup hanya sebatas menolak RUU yang tidak sejalan dengan rakyat ataupun produk kuffar lainnya, melainkan dengan memperjuangkan tegaknya syariat Allah bagi setiap aspek kehidupan.

Berbicara soal kebangkitan memang akan selalu menarik, terlebih di saat kita sedang memperjuangkannya dan belum juga berhasil. Berbagai cara dilakukan sebagai upaya untuk memperjuangkan kebangkitan. Namun masih belum memberi hasil yang berarti. Karena nyatanya kaum muslim tetap terpuruk dalam berbagai persoalan yang menderanya, dari mulai masalah kemiskinan, kerusakan moral, ketertinggalan dalam teknologi hingga masalah politik. Berbagai upaya telah dilaksanakan, dari mulai membangun ekonomi hingga perbaikan akhlak, namun nyatanya derita umat tak kunjung padam.

Untuk meraih kebangkitan tentu kita harus mengetahui akar permasalahan yang harus diselesaikan, supaya  solusi yang diperoleh bisa tepat pada sasaran. Dan setelah diteliti kembali kemunduran taraf berpikir menjadi penyebab dari segala keterpurukan. Perubahan taraf berpikir inilah yang akan mampu membebaskan umat dari belenggu yang selama ini mengikatnya. 
Kebangkitan yang dihasilkan juga merupakan kebangkitan yang dilandasi oleh fikrah Islamiyah (pemikiran Islam), karena hal itu akan mampu meningkatkan taraf berpikir yang tegak atas asas ruhiyah. 

Terkait dengan digelarnya parade tauhid yang viral diperbincangkan, sesungguhnya tujuan  utama acara tersebut  adalah dakwah, yaitu sebagai cara untuk melakukan amar makruf nahi munkar kepada penguasa, parade tauhid juga diharapkan bisa menjadi salah satu wasilah  (sarana) tergulingnya rezim dan sistem batil  untuk kemudian berganti dengan tegaknya syariah kafah dalam insitusi Daulah Khilafah Rasyidah.

Nasihat  adalah hak setiap orang, mulai dari rakyat jelata hingga para penguasa. Artinya, mereka mempunyai hak untuk dinasihati, karena telah menjadi kewajiban bagi setiap orang mukallaf (orang yang terbebani hukum) tatkala menyaksikan kemunkaran atau kezaliman yang dilakukan oleh orang lain, baik pelakunya penguasa maupun rakyat jelata. Inilah yang dinyatakan dalam hadis Nabi:
“Agama adalah nasihat, untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslim, dan orang-orang awam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sementara, nasihat sebagai upaya mengubah perilaku munkar atau zalim orang lain, baik penguasa maupun rakyat jelata,  sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konteks dakwah bil lisan (melalui lisan maupun tulisan), sebagaimana sabda Nabi:

“Siapa saja yang menyaksikan kemunkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa menasihati penguasa atau mengkritik kebijakan penguasa yang zalim, termasuk membongkar kemunkaran atau konspirasi jahat terhadap Islam dan kaum muslim hukumnya wajib. Kewajiban ini bahkan pahalanya dinyatakan sebanding dengan pahala penghulu syuhada’, yaitu Hamzah bin Abdul Muthallib, seperti dalam hadis Nabi :

“Penghulu syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthallib, dan orang yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap kemunkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.” (HR. Al Hakim) 

Hanya saja caranya bisa beragam, bisa dilakukan langsung, dengan bertemu face to face, atau secara tidak langsung, atau melalui tulisan, surat, demonstrasi atau masirah. Melakukan upaya dengan lisan, termasuk melalui tulisan, seperti surat terbuka, buletin, majalah, atau yang lain, baik langsung maupun tidak, jelas lebih baik daripada upaya bil qalb (dakwah melalui hati dengan memendam ketidaksukaan). Apalagi jika tidak melakukan apa-apa dan memilih sekedar menjadi penonton, menunggu kebangkitan itu terjadi dengan sendirinya tanpa mau ikut berjuang dalam menegakkannya.

Sudah sepatutnya MUI sebagai lembaga dakwah kembali pada kedudukannya sebagai  khadimul umat. Mendukung segala agenda umat yang bisa mengarah kepada perbaikan dan kebangkitan Islam. Dan bersama-sama umat berjuang menegakkan Islam secara keseluruhan. Sehingga umat dapat terangkat dari keterpurukan dan bisa meraih kembali kemuliaannya dibawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post