Khilafah Membawa Kemunduran?  Fitnah  dan A-historis! 



Oleh:  Dian Puspita Sari 
Ibu Rumah Tangga, Member Akademi Menulis Kreatif 

Di akhir zaman ini, ada banyak fitnah keji yang dialamatkan kepada Islam dan umatnya. Yang terkini, fitnah keji yang dialamatkan kepada salah satu ajaran Islam, yakni khilafah. 
Sebagaimana statemen yang dinyatakan oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah, Prof Dede Rosyada,  "kalau ideologi khilafah itu dibiarkan berkembang, partisipasi masyarakat dalam politik akan sangat dibatasi. Karena sejarah khilafah yang baik hanya pada masa Abu Bakar, Umar, dan separuh pemerintahan Utsman bin Affan. Selebihnya sudah dimiliki oleh dinasti atau kerajaan, kekuasaan ada pada khalifah dan rakyat tidak memiliki peran. Ini (khilafah) jelas kemunduran dalam kehidupan bernegara di zaman modern ini".
(nu.or.id, 19/9/2019)

Benarkah realita khilafah dalam sejarah peradaban dunia ini membawa umat manusia kepada kemunduran dalam kehidupan bernegara? 

Paling tidak, ada tiga poin yang butuh dikritisi dari statemen tersebut di atas. 
Pertama, khilafah yang gagal difahami sebagai sebuah ideologi. 
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. 
Khilafah merupakan institusi pemerintahan dalam Islam, yang pernah diterapkan dalam sejarah peradaban Islam yang berawal pada masa khulafa'ur rasyidin (Abu Bakar as Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), pengganti Muhammad Saw sebagai kepala negara, setelah wafatnya beliau. Lalu sistem pemerintahan Islam ini berlanjut di masa Bani Umawiyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Islam di bawah naungan khilafah pernah berjaya nyaris 14 abad. Islam sebagai ideologi lah yang diterapkan oleh khilafah selama itu. 
Maka, khilafah bukanlah sebuah ideologi melainkan institusi pemerintahan dalam Islam. Sedangkan Islam sendiri adalah sebuah ideologi (pedoman hidup) bagi umatnya dan petunjuk bagi umat manusia.  

Kedua, sejarah khilafah yang baik hanya pada masa Abu Bakar as Shiddiq, Umar dan separuh Utsman bin Affan. Sedangkan para khulafa' selebihnya adalah dinasti/kerajaan yang dianggap buruk rupa  dan  diidentikkan dengan haus kekuasaan, kudeta berdarah dan semena-mena. 
Padahal jelas, Islam selama belasan abad peradabannya tak pernah menumpahkan darah umat manusia. Islam mengetuk hati umat manusia dengan damai, tanpa pertumpahan darah dengan metode dakwah dan jihad (futuhat). Dan sistem khilafah tak hanya berhenti pada masa khulafa'ur rasyidin melainkan berlanjut pada masa Bani Umawiyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. 
Di satu sisi, dalam perjalanan sejarah peradaban Islam pasca khulafa'ur rasyidin, yakni di masa Bani Umawiyah, memang tak dipungkiri mulai terjadi intrik-intrik politik. Di saat itu terjadi kesalahan penerapan oleh oknum khalifah ketika menunjuk penggantinya kepada keturunannya, namun kesalahan sang Khalifah tersebut tak lantas  mengubah sistem pemerintahan khilafah menjadi kerajaan. Mengapa? Karena metode baku dalam pengangkatan khalifah  tetap sama yakni melalui pembaiatan. Adanya kesalahan penerapan yang dilakukan oleh  oknum khalifah juga tak boleh dijadikan sumber hukum. 
Di sisi lain, mereka yang kini menuding bahwa sistem khilafah yang baik hanya terjadi di masa Abu Bakar, Umar dan separuh pemerintahan Utsman sedangkan selebihnya dimiliki oleh dinasti (kerajaan), serta menuding bahwa khilafah akan membawa umat pada kemunduran, mereka telah bertindak tak adil dalam menilai sejarah. 

Dalam sistem khilafah,  umat (rakyat) diberi akses seluas-luasnya untuk ikut berperan aktif dalam muhasabah lil hukaam (koreksi terhadap penguasa). Aspek politik adalah bagian integral yang menyatu dengan aspek spiritual  dalam Islam yang tak dapat terpisahkan. Khilafah yang menerapkan hukum-hukum Allah secara kaffah selama belasan abad terbukti dalam sejarah membawa dampak  kebaikan dan keberkahan hidup bagi alam semesta termasuk umat manusia, di dunia dan di akhirat. Maha Benar Allah Swt dengan firman-Nya,

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰۤى اٰمَنُوْا وَا تَّقَوْا لَـفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَا لْاَ رْضِ وَلٰـكِنْ كَذَّبُوْا فَاَ خَذْنٰهُمْ بِمَا كَا نُوْا يَكْسِبُوْنَ

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (TQS. Al-A'raaf : 96)


Ketiga, khilafah membawa umat kepada kemunduran dalam kehidupan bernegara di abad modern saat ini.
Tudingan ini a-historis, tak sesuai dengan fakta sejarah bahkan merupakan fitnah keji. Sebaliknya, khilafahlah yang membawa umat pada kebangkitannya dalam peradaban Islam yang cemerlang selama belasan abad. Islam dalam naungan khilafah telah mengeluarkan  umat manusia dari kegelapan  menuju cahaya.
"Allah adalah pelindung orang-orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (iman)" (TQS. Al-Baqarah : 257) 

Sejarah peradaban Islam dalam naungan khilafah juga telah melahirkan begitu banyak pribadi berkarakter Islam dan para  pemikir,  ilmuwan muslim yang salih dan cemerlang. 
Apa yang terjadi di dunia Islam dan barat pada abad pertengahan? 
Dunia barat diselimuti kegelapan (dark ages) dengan sistem pemerintahan teokrasinya. Sebaliknya, kaum muslim mengalami masa keemasan dengan sistem pemerintahan khilafahnya.
Kenyataan tersebut sering ditutup-tutupi oleh para penjajah dan kaki tangannya. Dalam kurikulum sekolah, fakta kejayaan Islam yang dibingkai khilafah dalam segala aspeknya disembunyikan hingga detik ini. Akibatnya, terjadi pembelajaran sejarah yang ganjil. Buku sejarah yang diadopsi sekolah  membahas peradaban manusia ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Masehi, tetapi kemudian meloncat ke abad 16 Masehi. Mengabaikan 13 abad peradaban emas Islam dibawah naungan khilafah.

Kebangkitan peradaban Islam tidak bisa dilepaskan dari sosok mulia Rasulullah Muhammad Saw. Michael H Hart dalam bukunya yang fenomenal, 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh di Dunia (1978 M) menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai tokoh yang paling berpengaruh di dunia. Alasannya, Muhammad bukan semata pemimpin agama, tetapi juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan, selaku kekuatan pendorong terhadap gerak penaklukan yang dilakukan kaum muslim, pengaruh kepemimpinan politiknya berada di posisi terdepan sepanjang masa.
Pendapat Hart tidak berlebihan karena pada faktanya, selain sebagai Rasul yang menerima wahyu, Muhammad pun mampu memberikan uswatun hasanah dalam aplikasi dari wahyu tersebut dalam kehidupan sebagai pribadi, kepala rumah tangga, bagian dari masyarakat dan kepala negara Islam. 
Peristiwa hijrahnya Rasulullah Saw dan kaum muslim dari Makkah ke Madinah merupakan titik balik penting bagi peradaban Islam. Di Makkah Nabi Muhammad susah memperoleh banyak pengikut. Namun, di Madinah pengikutnya semakin bertambah sehingga dalam tempo cepat Muhammad dapat memperoleh pengaruh yang memungkinkan beliau menjadi seorang pemegang kekuasaan yang sesungguhnya.
Pada tahun-tahun berikutnya, saat pengikut Muhammad Saw tumbuh pesat bagai jamur, serentetan pertempuran pecah antara Makkah dan Madinah. Peperangan ini berakhir tahun 630 dengan kemenangan di pihak Muhammad Saw, sehingga beliau kembali ke Makkah selaku penakluk. Sisa dua setengah tahun dari hidupnya, Nabi  menyaksikan kemajuan luar biasa ketika  suku-suku Arab berbondong-bondong memeluk agama Islam. Tatkala Muhammad wafat pada tahun 632, tak ada lagi Nabi dan Rasul hingga hari kiamat. Yang ada adalah pengganti (khalifah) Muhammad Saw sebagai kepala negara (khilafah). 

Dengan dorongan ketakwaan kepada Allah SWT, maka kaum muslim memberlakukan metode periwayatan Alquran dan Al Hadis. Kaum muslim sejak abad ke-7 Masehi sudah terbiasa mempraktikan metode sanad dan matan yang melacak keaslian dan keutuhan sebuah informasi langsung dari saksi mata. Bahkan pada awal abad ke-8, Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam alias Ibnu Hisyam (w. 834 M) menulis kitab Sirah Nabawiyyah. Kitab ini merupakan kitab sejarah Nabi Muhammad Saw yang ditulis dengan metode periwayatan layaknya penulisan Alquran dan Al Hadis. Metode ini merupakan metode penulisan sejarah yang sangat canggih dan baru dikenal barat pada abad ke-16 M. Menurut seorang ahli sejarah Bucla, “metode ini belumlah dipraktikkan oleh Eropa sebelum tahun 1597 M.”
Metode lainnya adalah penelitian sejarah yang digagas dari ahli sejarah terkemuka, yaitu Abu Zaid Abdur-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami alias Ibn Khaldun (1332-1406 M). Pengarang kitab Kashf adz-Dzunun ini memberikan daftar 1300 buku-buku sejarah yang ditulis dalam bahasa Arab pada masa beberapa abad sejak munculnya Islam.
Sebelum tegaknya khilafah, dunia ternyata belum mengenal konsep rumah sakit, seperti saat ini. Bangsa Yunani, misalnya, merawat orang-orang yang sakit di petirahan yang berdekatan dengan kuil untuk disembuhkan pendeta. Proses pengobatannya pun lebih bersifat mistis yang terdiri dari sembahyang dan berkorban untuk dewa penyembuhan bernama Aaescalapius. Adapun di dunia Islam,  rumah sakit pertama kali muncul di dunia di awal peradaban Islam. Rumah sakit pertama dibangun atas permintaan khalifah Al-Walid (705 M - 715 M). Pembangunan rumah sakit secara masif dilakukan pada era khalifah Harun ar Rasyid (786-809 M). Setelah berdirinya rumah sakit Baghdad, di metropolis, intelektual itu mulai bermunculan rumah sakit lainnya di seantero jazirah Arab. 
Di berbagai rumah sakit, semua pasien dari  agama apapun, suku manapun dan kelas ekonomi apapun mendapatkan pelayanan prima tanpa dipungut biaya. Tak ada pasien yang ditolak untuk dirawat dan berobat. Bangsal pasien laki-laki dipisah dari pasien perempuan. Perawat pria bertugas merawat pria dan perawat wanita merawat pasien wanita. Semua penghuni rumah sakit yang beragama Islam berwudhu sebelum shalat. Untuk memenuhi kebutuhan itu, rumah sakit  menyediakan air yang berlimpah dilengkapi fasilitas kamar mandi. Semua pelayanan di rumah sakit Islam itu dilakukan dengan mengharap keridhaan Sang Pencipta, Allah Swt. 
Islam juga lebih dulu unggul dan maju dibandingkan dengan dunia barat. Pasalnya, Eropa baru mengenal konsep rumah sakit tiga abad kemudian, sekitar tahun 1100 M.

Untuk meningkatkan pemahaman keagamaan, sains dan teknologi umat, para khalifah mendirikan berbagai lembaga pendidikan, termasuk universitas. Semua universitas yang ada sepenuhnya dibiayai negara dan wakaf dari kaum muslim. Dengan demikian para pencari ilmu tak perlu membayar satu dirham pun.
Selama masa khilafah Islam itu, tercatat beberapa lembaga pendidikan Islam yang terus berkembang dari dulu hingga sekarang. Kendati beberapa di antaranya hanya tinggal nama, nama-nama lembaga pendidikan Islam itu pernah mengalami puncak kejayaan dan menjadi simbol kegemilangan peradaban Islam. Beberapa lembaga pendidikan itu, antara lain, Nizhamiyah (1067 -1401 M) di Baghdad, Al-Azhar (975 M-sekarang) di Mesir, al-Qarawiyyin (859 M-sekarang) di Fez, Maroko dan Sankore (989 M-sekarang) di Timbuktu, Mali, Afrika. Masing-masing lembaga ini memiliki sistem dan kurikulum pendidikan yang sangat maju ketika itu. Beberapa lembaga itu berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan muslim yang sangat disegani. Misalnya, al-Ghazali, Ibnu Ruysid, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, Al-Farabi, al-Khawarizmi dan al-Firdausi. 
Peradaban barat sangat berhutang budi pada khilafah Islam Pasalnya, banyak ilmuwan barat belajar ke berbagai universitas Islam. Bahkan pemimpin tertinggi umat Katolik, Paus Sylvester II, turut menjadi saksi keunggulan Universitas Al-Qarawiyyin. Sebelum menjadi Paus, ia sempat menimba ilmu di salah satu universitas terkemuka di dunia saat itu.

Khilafah adalah negara hukum. Artinya, semua aspek pengaturan masyarakat diatur oleh hukum yang jelas, yakni syariah Islam, termasuk untuk mengadili berbagai perselisihan di tengah masyarakat. Hukum sangat penting dalam sistem Islam, karena Allah telah mewajibkan siapapun untuk terikat kepada aturan-aturan Allah, yang menjadi sumber hukum. Wajar jika produk hukum berupa kitab fikih berkembang luar biasa dalam sistem Islam.
Persamaan di hadapan hukum sejak awal dikenal di dalam Islam. Rasulullah Saw menegaskan hal ini seraya mengatakan, “seandainya anakku Fatimah mencuri, akan kupotong tangannya.” Hadis itu bermula ketika seorang Sahabat terdekatnya, meminta Rasulullah Saw agar tak menghukum seorang wanita terpandang. Rasulullah Saw marah dan menegaskan bahwa siapapun yang bersalah, meskipun anaknya sendiri akan dihukum. Kebijakan ini pun diikuti oleh para khalifah maupun qadhi (hakim) setelah Rasulullah Saw wafat. Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra yang menjadi penguasa tertinggi pada saat itu bahkan pernah dikalahkan dalam peradilan Islam. Karena dia tak bisa membuktikan tuduhan bahwa baju besinya memang benar telah dicuri oleh seorang warga Yahudi. 
Islam tak mengenal pengadilan bertingkat. Pengadilan dilakukan dengan asumsi harus dilakukan secara terbaik oleh hakim manapun, dengan pembuktian yang menunjang. Dalam sistem peradilan Islam, seorang baru bisa dikenai sanksi hukum jika memang terbukti bersalah. Rasulullah Saw  menegaskan hal ini dengan memerintahkan untuk meninggalkan hudud (sanksi pidana yang sudah pasti hukumannya) jika masih ada syubhat (keraguan di dalamnya). Tidak aneh jika pembuktian dalam sistem peradilan Islam menjadi hal yang sangat penting. Sistem peradilan Islam hanya menerima empat macam pembuktian, yakni pengakuan, sumpah, kesaksian dan dokumen tertulis yang menyakinkan. Pengakuan terdakwa tanpa paksaan dan penuh kesadaran. Kesaksian sangat ketat. Untuk kasus zina harus ada empat saksi yang langsung melihat secara langsung terjadinya persetubuhan itu. Sebaliknya, jika seseorang mendakwa seseorang berzina namun tidak bisa membuktikan, justru yang mendakwa akan dikenakan sanksi qadzaf (tuduhan palsu).
Yang tak kalah pentingnya, hukum dalam Islam memiliki fungsi zawâjir (pencegah). Hal ini tampak dari tegas dan kerasnya sanksi bagi pelaku kejahatan. Pembunuh akan dikenai qishash (hukum mati). Pencuri dipotong tangannya. Pezina dihukum rajam sampai mati kalau sudah menikah atau dicambuk 100 kali jika belum pernah menikah. Pelaksanaan hukuman ini dilakukan di hadapan orang banyak sehingga menimbulkan efek jera yang tinggi.
Selain itu hukum Islam juga berfungsi sebagai jawabir (penebus dosa). Dalam pandangan syariah Islam, hukuman atas seseorang di dunia akan menggugurkan dosa-dosanya sekaligus akan menghindarkan dirinya dari hukuman Allah pada hari akhir yang sangat keras. Tidak mengherankan jika Maiz al-Aslami dan al-Ghamidiyah, dua orang pelaku zina, datang sendiri kepada Rasulullah Saw untuk meminta hukuman. Semua ini karena masih adanya ketakwaan kepada Allah Swt. Hukuman semacam ini tentu tidak akan ditemukan di peradaban barat sekular dan timur komunis, baik dulu maupun sekarang.

Dari fakta sejarah peradaban Islam di bawah naungan khilafah di masa silam ini, tudingan yang marak muncul saat ini dan mengatakan bahwa khilafah akan berdampak pada kemunduran umat  adalah sebuah fitnah keji dan a-historis. 
Khilafah justru akan membawa umat manusia kepada kebaikan dan keberkahan hidup mereka di dunia dan di akhirat.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post