Kematian Tragis Dila

By : Sri Gita Wahyuti
(Ibu Rumah Tangga)


"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokaatuuh...."
Terdengar suara melalui pengeras suara dari masjid tetangga. 

"Innalillahi wainna ilaihi roji'uun...innalillahi wainna ilaihi roji'uun...telah berpulang ke rahmatulloh salah seorang warga rw 09, ananda Ardila Ratnasari putri Bapak Agus Permana. Meninggal siang tadi pukul 13.00 WIB . Kepada warga yang akan menyampaikan bela sungkawa silakan datang saja ke rumah duka di rt 01 rw 09...".

" Dila, Mi. Bukannya dia itu saudara Ummi ?" tanya Jeng Sri. 

"Innalilahii...masih muda banget dah meninggal..."  timpal Bu Wahyu pemilik warung.

Bu Gita, orang yang dipanggil Ummi oleh Jeng Sri tidak berkata apa-apa. Memang tidak tahu apa-apa. Tidak pernah mendengar Dila sakit  atau sedang dirawat di rumah sakit. 

Dila, remaja SMA kelas 2. Tinggal tidak jauh dari warung Bu Wahyu walaupun beda RW. Kakek dan neneknya dulu sahabatan dengan orangtua Ibu Gita karena sama-sama bekerja di Telkom juga sama-sama berasal dari Jawa Tengah. Karena kesamaan-kesamaan itulah mereka jadi akrab. Bahkan kata ibunya, Ibu Gita pernah diasuh oleh nenek Dila saat disapih dulu. Itulah sebabnya para tetangga menyangka keluarganya dan keluarga Dila bersaudara. 

Terakhir melihatnya saat Dila masih SMP, ikut pengajian remaja di rumah Bu Gita. Karena sekolah di sebuah Tsanawiyah, penampilannya berbeda dengan remaja kebanyakan. Alhamdulillah dia berpakaian muslimah walaupun di luar sekolah. Karena itulah Bu Gita mengajaknya mengaji di rumah. Mudah-mudahan bisa terus istiqomah. 

Tapi sejak menghadapi ujian nasional dia tidak pernah datang lagi. Kata teman-teman ngajinya dia buka jilbabnya dan bahkan sekolah di sekolah nasrani. Saat dicari ke rumahnya, ibunya bilang kalau Dila pulang sekolahnya sore menjelang maghrib. Hari ini tetiba terdengar kabar ia meninggal. Innalillah...

Ibu Gita segera membayar belanjaan di warung Bu Wahyu kemudian pamit kepada Bu Wahyu dan Jeng Sri yang kebetulan sedang belanja juga.

Beberapa saat kemudian sudah berada di rumah duka bersama suami yang sore itu sudah pulang dari sekolah tempatnya mengajar. Terdengar suara tangis ibunya Dila yang sedikit meraung. Tampak Jasad Dila terbengkalai belum ada yang memandikan. Hanya ditutupi kain jarit bermotif batik.

Kematian Dila sangat tragis. Ia kecelakaan saat perjalanan piknik bersama pacarnya yang orang nasrani. Dani adik Dila ada bersama mereka. Entah bagaimana kejadiannya yang jelas kaki kanannya rusak dan tampak dagingnya memburai keluar. Katanya sih kakinya terjepit di sela-sela ban sebuah truk yang melaju cepat satu arah dengan motor yang dikemudikan pacarnya. Dani dan pacar Dila terjatuh tetapi tidak terluka sedikitpun hanya lecet-lecet kecil saja. 

DKM masjid setempat tidak berani mengurus jenazahnya. Karena Dila pernah terlihat memakai kalung salib. Ibu Gita percaya seandainya benar Dila pindah agama karena walaupun orangtuanya muslim tetapi kakaknya beragama nasrani. Kakek neneknya dulu juga memang sering pindah agama. Bolak-balik antara nasrani dan islam.

Bu Gita dan suami juga tidak bisa berbuat apa-apa, walaupun sudah seperti saudara. Tentu saja karena ini masalah akidah. Tidak boleh seorang muslim menyolatkan jenazah non muslim. Lebih dari itu pastinya ada prosesi yang berbeda dari gereja dalam tatacara pengurusan jenazah. 

Pak DKM Al-Hidayah menyarankan memanggil orang dari pihak gereja untuk mengurus jenazahnya. Entah bagaimana kelanjutannya, yang jelas sampai jam 11 malam belum ada yang mengurusnya. Dengar-dengar dari pihak gereja pun tidak ada yang datang. 

Esoknya pukul 15.30....

"Ummi Gita ...hayu. Kita diundang tahlilan di rumah Pak Agus ..." ajak Jeng Sri. Kebiasaan Jeng Sri, jika bertamu pasti langsung masuk tanpa dipersilahkan dulu. Untungnya Bu Gita sudah berjilbab sempurna karena akan ada anak-anak mengaji di rumahnya. Walaupun sama-sama perempuan yang pasti kelakuan Jeng Sri nampak kurang adab.

Bu Gita menggeleng. 
" Maaf, saya nggak bisa ikut tahlilan"

"Lho kenapa, Mi?" tanyanya heran.

"Biasalah jam empat ini kan ada anak-anak ngaji..."

"Wah...saya berangkat sama siapa dong ini?" Tanyanya sambil duduk di kursi kecil tempat duduk anak-anak mengaji. 

"Bukannya mereka itu saudara Ummi? Kenapa malah Ummi nggak ikut tahlilan?"

Bu Gita menghela nafas dalam-dalam.

"Dila itu nggak jelas agamanya apa. Belum lama ada orang yang melihat dia memakai kalung salib. Jadi kemungkinan dia bukan muslim. Kakaknya sendiri bilang kalau Dila sedang dalam proses akan dibaptis" jelas Bu Gita.

"Buat kita tidak ada kewajiban untuk mengurus jenazahnya. Termasuk tidak ada kewajiban untuk mentahlilkannya. Menyolatkannya malah bisa membuat kita terjerumus ke dalam dosa" lanjutnya. 

"Kalau begitu jadinya kasihan dong, Ummi. Saya dengar dari gereja juga nggak ada yang mengurusnya padahal kakaknya sudah menghubungi mereka."

"Iya kasihan... pakai banget malah. Ini pelajaran buat kita untuk terus mengkaji ilmu agama agar kita bisa menjaga aqidah kita. Jangan sampai terbawa arus. Bagaimanapun kita tidak tahu kapan kita akan menemui ajal apakah akan khusnul khotimah ataukah suul khotimah. Yang bisa kita lakukan adalah kita terus berusaha untuk selalu terikat dengan aturan Allah SWT setiap saat dan setiap keadaan dibarengi dengan berdoa agar Alloh mudahkan segala urusan. Alangkah indahnya jika kita pulang dalam keimanan dan ketaatan."

"Iya benar. Seharusnya memang begitu. Tapi sekedar mendoakannya boleh saja kan, Mi ? Itu kebaikan buat kita. Kita tidak bisa menolongnya minimal bisa mendoakannya."

"Baik dan buruk itu Allah yang menentukan bukan perasaan kita. Jika Allah melarang maka kita harus meninggalkan."

Jeng Sri manggut-manggut. Tampak dia bingung mau pergi ke tempat tahlilan atau tidak. Sementara itu anak-anak ngaji mulai berdatangan. Tidak banyak sih hanya sekitar sepuluh orang. Karena kebanyakan anak-anak ngajinya nanti ba'da maghrib.

Akhirnya Jeng Sri pamit. Katanya mau tetap mengikuti tahlilan karena malu kalau nggak hadir.  

"Ya...mangga silakan saja, yang penting aku sudah menyampaikan." bisik Bu Gita dalam hati.

Kematian Dila adalah kematian tragis yang sangat memilukan. Contoh akhir hidup yang suul khotimah. Mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran bahwa ajal memang tidak menunggu seseorang untuk bertaubat.

Bu Gita menghela nafas. Memang susah hidup di zaman sekarang disaat liberalisme mendera umat islam semua agama dianggap sama. Tidak boleh ada klaim Islam satu-satunya agama yang benar. Tak ayal penjagaan akidah umat bukanlah hal penting yang harus dilakukan. Miris jika di kemudian hari bermunculan Dila-Dila lainnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post