Tamu itu Bernama Karhutla



Oleh: Mulyaningsih, S. Pt
Pemerhati Masalah Anak, Remaja dan Keluarga,Member Akademi Menulis Kreatif Regional Kalsel

Darurat udara segar, itulah yang menggambarkan suasana hati semua orang. Terutama di daerah Sumatera dan  Kalimantan. Sesak dada, itulah yang dirasakan setiap paginya. Apakah perlu lebih banyak korban lagi sehingga tanggap darurat benar-benar harus dilaksanakan dengan sesegera mungkin.


Provinsi Riau menjadi sorotan karena tebalnya kabut asap dalam beberapa hari terakhir. Akibatnya, jarak pandang di Ibu Kota Riau, Pekanbaru, hanya mencapai 300 meter. Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang makin pekat mulai berdampak buruk pada aktivitas di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II di Kota Pekanbaru, Riau, Jumat (13/9/2019). Beberapa maskapai udara dengan terpaksa menunda penerbangan dikarenakan pekatnya kabut asap tersebut.


_Executive General Manager_ Bandara Sultan Syarif Kasim II, Yogi Prasetyo, membenarkan ada beberapa penerbangan pada pagi hari yang tertunda karena cuaca. Namun otoritas bandara belum memberikan pernyataan lengkap sampai kapan kondisi itu akan terjadi. Pekatnya kabut yang menyelimuti Pekanbaru membuat perangkat _Instrument Landing System_ (ILS) milik bandara tidak bekerja optimal. ILS membantu pilot untuk mendaratkan pesawat tepat pada garis tengah landas pacu (runwai) dan dengan sudut pendaratan yang tepat. Dengan bantuan alat ILS, pilot dapat menjangkau jarak pandang sekitar 800-1.000 meter. Namun kondisi kabut asap Jumat pagi ternyata lebih pekat dari hari sebelumnya. Jarak pandang sejumlah daerah di Provinsi Riau turun drastis hanya berkisar 200 hingga 400 meter pada Jumat pagi. Kondisi kabut asap yang makin pekat juga membuat Jembatan Siak IV hilang dari pandangan. 


Alat pengukur ISPU yang menunjukkan angka kategori berbahaya antara lain di daerah Rumbai, Kota Pekanbaru. Kemudian di daerah Minas Kabupaten Siak, daerah Petapahan di Kabupaten Kampar, Kota Dumai, daerah Bangko dan Libo di Kabupaten Rokan Hilir, serta di daerah Duri Kabupaten Bengkalis. Kabut asap ini berdampak pada kesehatan warga. Rata-rata warga mengeluhkan sesak napas hingga batuk. Dinas Kesehatan Riau menghimbau warga untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan dan selalu mengenakan masker pelindung apabila beraktivitas di luar (beritagar. id, 17/9/2019).


Sebenarnya pemerintah sudah melakukan tindakan agar Karhutla tidak terjadi lagi. Namun, yang terjadi  belum adanya keseriusan serta tindakan yang tepat agar kejadian Karhutla tidak terulang lagi. Berbagai posko terpadu dan pos pantau di wilayah rawan telah didirikan. Bagi perusahaan juga dianjurkan untuk membuat kesiapan menghadapi Karhutla. Yaitu dengan menyediakan sarana-prasarana pemadaman serta membuat kolam penampungan air. Semua persiapan tersebut adalah untuk tindakan pencegahan apabila Karhutla terjadi. Namun yang terjadi, Karhutla tetap menjadi tamu tahunan yang datang tanpa diundang. 

Semua itu terjadi karena sistem kapitalisme yang berakar kuat di negeri ini. Sistem kepemilikan yang akhirnya menjadi rancu dan kabur. Salah satunya adalah hutan, yang _notabene_ merupakan kepemilikan umum justru dimiliki oleh korporasi atau individu tertentu. Tentunya dalam hal pengelolaan akan diserahkan kepada pemilik sepenuhnya. Tak salah jika kita berpandangan bahwa hutan tersebut dibuka untuk dijadikan perkebunan sawit. Ketika pembukaan lahan, mereka tentunya menggunakan usaha yang minimalis dengan pengeluaran dana yang sedikit. Tidak lain caranya dengan membakar hutan tersebut. Kebakaran itu muncul kembali. Inilah yang kemudian menjadi tamu tahunan yang selalu menemui kita dikala musim kemarau telah tiba. Seharusnya negara (pemerintah) selektif dalam hal pemberian izin terhadap suatu perusahaan. 


Sistem sanksi yang tidak tegas, terutama bagi korporasi menihilkan efek jera bagi pelaku pembakar hutan dan lahan. Sanksi yang diberikan hanya sanksi administratif, dicabut ijin usahanya dalam waktu tertentu. Sehingga kejadian tersebut tentulah terulang kembali. 

Sejatinya yang melakukan konservasi dan upaya pemadaman kembali ke pemerintah. Meskipun ada perintah tembak di tempat bagi pelaku Karhutla, namun yang terjadi penyelidikan tidak sampai pada korporasi di belakangnya. 
Pandangan Islam

Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan udara yang segar dan sehat. Artinya, negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak dari setiap warga negaranya. Dalam hal ini pepohonan harus dijaga, yang berarti kondisi hutan harus tetap lestari agar dapat menghasilkan oksigen yang berguna bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.


Masalah Karhutla ini dapat secara tuntas diselesaikan hanya dengan menerapkan sistem Islam secara sempurna dan menyeluruh. Islam sebagai agama dan sistem aturan yang sempurna yang berasal dari Allah Swt. Tentunya Islam mampu memberikan solusi berkenaan dengan Karhutla ini. Sebagaimana sabda Nabi Saw:
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput dan api.” 
*HR. Abu Daud dan Ibnu Majah* 

Berdasarkan hadist di atas bahwa hutan sebagai salah satu kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara. Dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat manusia dan tidak dibenarkan jika hutan tersebut dimiliki oleh seseorang atau perusahaan baik swasta dalam negeri atau asing. Negara berkewajiban untuk menjaga kelestarian hutan agar mampu bermanfaat untuk manusia, kepemilikan lahan dan hutan bukanlah pada individu atau swasta. 

Kemudian negara bertanggung jawab penuh terhadap pengelolaan hutan sesuai dengan syariat Islam dengan kebijakan yang sentralisasi serta administrasi desentralisasi. Tentunya keimanan yang kokoh menjadi pondasi utama dalam pengelolaan hutan ini. Hasil yang berasal dari hutan tersebut akan dimanfaatkan untuk umat dan masuk dalam kas negara (Baitul mal). Sehingga keuntungan yang ada tidak masuk pada individu-individu. Kemudian negara juga melakukan pengawasan secara aktif di setiap lahan dan hutan. Serta mengirimkan polisi dan qadhi hisbah yang mempunyai kewenangan untuk menindak tegas pelaku pembakaran hutan. Si pelaku akan mendapatkan sanksi sesuai dengan hasil ijtihad khalifah. Sanksi tersebut bisa berupa cambuk, penjara, denda ataupun hukuman mati.

Alhasil, hanya dengan sistem Islamlah Karhutla dapat dipadamkan secara sempurna dan tidak menimbulkan efek atau kerugian darinya. Sehingga tidak akan ada salah kelola dalam hal hutan yang dapat mengakibatkan pada longsor, banjir,  karhutla, polusi udara ataupun pemanasan global. Dengan mengambil sistem Islam maka semua ancaman-ancaman itu tidak akan pernah ada. Wallahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post