Setetes Asa Menyemai Dosa

By : Nelliya Al Farisi

Aku Arga laki-laki berusia dua puluh delapan tahun. Sejak menikah aku dan istriku Meyda tinggal salah satu kota di Sumatra.

Aku sejak lulus SD sudah mondok di pesantren di Malang. Disana aku ditempa dengan ilmu agama.
Aku semakin memahami hakikat kehidupan ini. Lulus dari pondak, aku sudah mempunyai bekal dan bertekad untuk menginfakkan ilmuku bagi masyarakat.

Aku tidak ingin ilmu yang aku miliki hanya aku saja yang memilikinya. Berbagi, itulah yang selalu ditanamkan para Ustadz sewaktu aku mondok dulu.

Pernikahan ku dan Meyda sudah berjalan 5 tahun. Kami pun sudah memiliki seorang anak perempuan yang sangat cantik berumur tiga tahun. Aku dan Meyda memang tidak pacaran. Kami dijodohkan.

Meyda adalah perempuan yang cantik dan tertutup, sosok yang lembut lagi penyayang. Hanya saja, Meyda terlalu menggilai materi. Sehingga itu menjadi tugas untukku memberikan pemahaman kepadanya bahwa kebahagiaan itu bukanlah bersumber dari materi.

Ini pula yang dikatakan oleh Meyda dengan terang-terangan. Alasan dia menerima perjodohan diantara kami.
Aku awalnya tidak terlalu mempermasalahkan, tapi saat ini aku merasa mulai terganggu dengan sifatnya itu, mengingat pekerjaanku hanya buruh serabutan. Aku juga bukan mesin uang yang kapan pun bisa menghasilkan uang seperti yang dia inginkan. Sebagai seorang Ustadz, aku membimbing orang lain, tentu aku tidak ingin  gaga membimbing keluargaku sendiri. Cara halus sudah kutempuh untuk mengingatkannya. Selain nasehat, aku juga berdoa kepada Allah Swt, Dzat yang Maha membolak-balikkah hati. Semoga Meyda kelak bisa berubah. Menjadi istri yang qona'ah, merasa cukup dengan rejeki yang telah Allah Swt berikan.
*****

Pagi ini seperti biasa, aku akan ke kebun guna mencari nafkah untuk keluarga.

"Mey, abang ke kebun dulu ya!"

"Iya, bang. Bang bisakah uang belanja di tambah lagi bang?" Meyda duduk di kursi disebelahku.

"Mey, Abang kan selalu bilang, Mey harus merasa cukup dengan apa yang Abang berikan" aku melihat wajahnya yang berubah masam.

"Iya, Bang" dia berlalu begitu saja ke kamar.
Meyda memang sudah berubah. Sosok lembut dan penyayang itu hanya bertahan salama tiga tahun pernikahan kami. Setelahnya, Meyda menjadi istri yang cuek. Waktunya banyak dihabiskan dengan Salsa, putri kami.

Entahlah, mungkin Meyda kecewa denganku atau pernikahan ini. Aku hanya berharap dan berdoa, sosok Meyda diawal pernikahan kami segera kembali.

Kupacu motorku untuk ke kebun. Karena selepas asar aku akan mengajar di pesantren.

Sebelum dzuhur aku sudah tiba di rumah. Kulihat Meyda n Salsa sedang menonton di ruang tamu.

"Assalamualaikum"

"Walaikumsalam, sudah pulang, bang"

"Iya, Abang mau mandi dulu" aku segera mengambil handuk dan ke kamar mandi. Setelah beres membersihkan diri segera aku bersiap untuk solat berjamaah di masjid.


"Mey, apa kau sudah makan siang?" Selepas solat tadi perut ku sudah minta di isi.

"Sudah, bang. Abang sendiri saja ya. Saya mau menemani Salsa main" 

Aku melihat Meyda yang sedang bermain dengan Salsa, hatiku menghangat melihat betapa Meyda menyayangi buah hati kami. Baiklah seperti biasa, aku makan siang sendirian.
Setelahnya aku membaca-baca kitab. Nanti aku akan mengisi ceramah di masjid.

"Mey, apakah kau mau ikut ke pesantren?" Meyda sedang duduk diatas kasur dengan memainkan gawainya.

"Gak, Bang. Di rumah aja" jawabnya cepat.

"Kenapa Mey? Dulu kau suka ikut Abang ke pesantren"

"Sekarang udah sibuk Bang. Ada Salsa juga yang harus dijaga" dia memberi alasan

"Salsa kan bisa dibawa!" sanggahku

"Abang kan tahu sendiri, Salsa itu gak betahan ditempat lain" lagi, Meyda menolak ajakanku.

Sudahlah, aku tidak ingin memaksanya lagi.
Sekitar jam tiga sore aku sudah di pesantren. 
Selesai solat kulihat jamaah laki-laki dan perempuan mulai berdatangan.

Aku segera naik ke mimbar. Jamaah laki-laki dan perempuan duduk terpisah.

Lebih kurang tiga jam aku memberikan tausiyah kepada mereka. Sesekali diselingi dengan tanya jawab dan akhirnya kami terlibat diskusi ringan.
Selesai dengan kewajibanku, aku pun bersiap untuk pulang ke rumah. Saat menuju keparkir, kulihat seorang perempuan tengah berjalan kearahku. Semakin dekat aku semakin mengenali sosok itu. Dia adalah Rani. Salah satu jamaah kajianku. Hampir satu tahun ini dia rutin mengikuti kajian bersama.

"Mas, Arga tunggu dulu!"

"Ada apa?"

"Emm, ini Mas aku buatkan puding untuk Mas Arga" dengan malu-malu dia mengangsurkan bingkisan itu kepadaku.

"Terimaksih, Mbak Rani" aku menerimanya dan menaruh di atas motor. Kulihat Rani sedang tersenyum hangat kepadaku.

Deg

Ada desiran aneh saat melihat senyumnya. Astagfirullah. Aku segera sadar dengan apa yang kurasakan barusan.

"Saya permisi dulu ya Mbak, Rani. Assalamualaikum" 

"Walaikumsalam" Rani melambaikan tangannya ke arahku dan kembali tersenyum.


Sesampainya di rumah tampak  Meyda sedang mengajari Salsa mengaji. Aku segera menaruh puding dari Rani tadi diatas meja dan segera membersihkan diri.


"Bang, bawa puding ya. Beli dimana?" Terdengar suara Meyda dari dapur.

Selesai solat magrib  aku pun menuju meja makan untuk makan malam.

"Tadi dikasih  salah satu jamaah. Cobain, enak gak?"

"Enak, Bang. Salsa suka tuh" Meyda menunjuk Salsa yang sedang melahap sepotong Puding.

Tidak terasa bibirku membentuk senyum. Aku kembali teringat pada Rani. Rani tenyata bukan hanya cantik, tapi juga pintar masak. Tiba-tiba aku jadi ingin bertemu lagi dengannya.

Hari ini aku mendapat undangan untuk mengisi kajian di luar kota. Mungkin akan menginap satu malam disana. Semalam sudah ku bicarakan dengan Meyda perihal ini. Aku inginnya dia dan Putri bisa ikut. Tapi, lagi-lagi Meyda menolak.
Aku sedikit kecewa dengan sikap Meyda yang terkesan menghindariku sekarang dan lebih banyak menolak keinginanku.

Setelah solat subuh aku berkemas untuk keluar kota hari ini. Semua baju sudah ku masukkan ke dalam tas. Tinggal menunggu mobil jemputan saja.
Entah kenapa, terbersit keinginanku untuk mengajak Rani ikut serta. Setidaknya nanti dia bisa membantu-bantu jamaah disana.

Aku mencoba mencari nomor Rani di kontak hp ku. Kami memang sudah bertukar nomor telfon tempo hari. Dengan alasan Rani ingin bertanya atau diskusi tentang agama.

Setelah dapat nomor kontaknya aku pun segera mengirim pesan singkat dan mengatakan sebentar lagi akan menjemputnya. Beryukur dia bersedia. Hatiku sudah berbunga-bunga.

"Bang" aku terlonjak dengan tepukan Meyda barusan segera kumasukkan hp kedalam tas ku.

"Berangkat jam berapa?"


"Sebentar lagi. Kamu dan Putri hati-hati di rumah ya" aku menggenggam tangannya dan tersenyum. Tidak berapa lama mobil jemputan datang.
Sebelumnya kami mampir untuk menjemput Rani. Sekarang kami berempat di dalam mobil. Rani ternyata mengajak sepupu perempuannya.

Rani terlihat semakin cantik dengan balutan kerudung pink dan gamis hitam. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa tertarikku. Entah setan apa yang kini merasuki pikiranku. Terlintas dibenakku untuk menikahi Rani secepat mungkin.

Sekarang hujan tengah turun dengan lebatnya, perjalanan kami menjadi sedikit terganggu. 
Aku mencoba mengalihkan dengan membaca kitab.
Saat tanpa aku sadari.

Braaak ...!
Mobil menghantam truk yang berhenti mendadak di depan kami. Hanya itu yang dapat ku ingat setelah sebuah hantaman benda keras mengenai dadaku. setelahnya semua gelap.
******

Saat aku membuka mata, aku sudah berada di rumah sakit. Badanku rasanya remuk, dada sesak. Bajuku sudah berlumuran darah. Aku menarik nafas pelan-pelan sembari mengedarkan pandanganku kesekeliling. Seketika pandanganku bertemu dengan sosok laki-laki yang berdiri disebelah ranjangku. Oh ... ternyata aku di rumah sakit.

"Bapak sudah sadar" seorang
Dokter laki-laki menyapaku. Aku hanya mengerjapkan mataku. Tidak mampu menggerakan anggota tubuh yang lain.

"Dok, dimana wanita yang bersama saya dalam mobil tadi" tanyaku terbata.

"Mohon maaf Pak. Kedua pasien perempuan tadi yang bersama Bapak meninggal di tempat. Sekarang ada di kamar jenazah. Dan keluarga Bapak sudah kami hubungi sekarang sedang menuju kemari" jelas Dokter itu.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun. Ya Allah ampuni hamba. Ampuni segala kekhilafan ini. Hamba tahu rasa ini tidaklah salah. Tapi mungkin cara hamba yang salah. Airmataku menetes berkali-kali. Dalam hati aku terus beristigfar memohon ampunan Allah Swt.
 Lalu, wajah Meyda membayangiku sekarang. Rasa bersalahku semakin menjadi-jadi saja. Tidak lama pintu terbuka dan muncullah sosok yang tadi kupikirkan. Meyda.

"Ya Allah, Bang. Kenapa sampai begini" Meyda sudah sesegukan sambil memegangi lengan ku. Aku mencoba mengangkat tanganku dan membelai kepalanya yang tertutup kerudung.

"Mey, maafkan Abang ya. Maaf untuk semua kesalahan yang Abang lakukan" ucapku lirih.

"Abang jangan banyak ngomong dulu, Bang. Abang harus sembuh untuk aku dan Salsa"

"Maukah kau memaafkan, Abang sayang" aku meremas tangannya pelan.

"Iya Bang, sudah Meyda maafkan. Abang cepat sembuh ya" kini Meyda merangkulku dengan erat.

"Terimakasih, Meyda" kurasakan nafasku makin tercekat. Ya Allah inikah saatnya aku kembali kepada_Mu. Dengan susah payah aku mengucapkan kalimat tauhid. Semua mengalir mulus dari mulutku. Seiring mata ini yang tertutup rapat.

Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun.

END

Post a Comment

Previous Post Next Post