Listrik Kebutuhan Vital Rakyat

Penulis : Mutiara Putri Wardana

Peradaban manusia modern sudah sangat ketergantungan terhadap listrik. Listrik sangat vital bagi kehidupan masyarakat, akan tetapi dizaman sekarang masih ada saja wilayah yang masih belum tersentuh listrik yang mengakibatkan warganya mau tak mau memakai pelita untuk penerangan sehari-hari. Wilayah tersebut tepatnya berada disebuah dusun di Kelurahan Bontang Lestari dan terdapat setidaknya 9 kepala keluarga yang belum bisa menikmati listrik. Padahal seperti yang kita tahu negara ini khususnya wilayah Kalimantan adalah lumbung energi. Seharusnya hal semacam ini tidak menjadi persoalan lagi. (BontangPost.id, 01/09/19)

Dan tidak hanya sebatas persoalan jangkauan listriknya saja tapi juga masalah lain seperti yang terjadi di bulan Agustus lalu yaitu insiden black out yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia khususnya Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat yang memberikan banyak kerugian karena padamnya listrik hingga kurang lebih 8-18 jam dan hal ini tentu saja membuat berbagai aktivitas masyarakat lumpuh seketika, terutama sistem berbasis digital. 

Selain itu, mahalnya tarif listrik juga menjadi persoalan yang tidak berkesudahan. Dimana yang lagi-lagi terkena imbasnya sudah pasti rakyat kecil. Rakyat mengalami kesengsaraan yang luar biasa akibat biaya hidup yang semakin mencekik. Hal ini tentu saja tidak lepas dari kapitalisasi energi  yang menyebabkan produksi energi hanya dinikmati oleh para kapitalis sementara rakyat yang sejatinya adalah pemilik sejati harta kepemilikan umum tersebut justru tidak tersentuh. Seharusnya negara bertanggung jawab sepenuhnya terhadap hajat hidup orang banyak, bukan malah diserahkan kepada pihak swasta lokal maupun asing untuk dikomersilkan.

Padahal sudah jelas dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 3, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Tapi yang terjadi justru praktiknya tidak sesuai dengan pasal tersebut, bukan lagi dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat tapi malah dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran para kapitalis.

Persoalan kelistrikan tersebut merupakan buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem tersebut berlandaskan pada sekularisme dimana urusan kenegaraan termasuk bidang ekonomi dipisahkan dari agama. Hal ini tentu saja jauh berbeda dengan sistem Islam yang mengharuskan seluruh aspek kenegaraan wajib diatur berdasarkan syariat Islam.

Menurut Islam, listrik merupakan kepemilikan umum yang wajib dikuasai dan dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat. Karena, listrik merupakan kebutuhan pokok rakyat dan merupakan bentuk pelayanan masyarakat yang wajib dilakukan negara. Oleh karena itu, negara tidak boleh menyerahkan penguasaan dan pengelolaan listrik kepada swasta sebagaimana mana negara juga tidak boleh menyerahkan penguasaan dan pengelolaan bahan baku pembangkit listrik kepada swasta. Hal ini karena listrik dan barang tambang yang jumlahnya sangat besar adalah milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh swasta dan individu.

Hal ini didukung dengan sabda Rasulullah saw, yaitu “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api” (HR. Abu Dawud). Termasuk dalam api disini adalah energi berupa listrik dan berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya. Ditambah lagi, sebagian besar sumber energi dalam memproduksi listrik adalah barang-barang tambang yang juga merupakan barang publik seperti minyak bumi, gas dan batu bara.
Imam At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia meminta kepada Rasulullah saw untuk diperbolehkan mengelola tambang garam. Lalu Rasulullah saw memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki bertanya : “Wahai Rasullullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir.” Rasulullah saw kemudian bersabda : “Tariklah tambang tersebut darinya!”

Tindakan Rasulullah yang membatalkan pengelolaan tambang yang sangat besar (bagaikan air yang mengalir) menunjukkan bahwa barang tambang yang jumlah sangat besar tidak boleh dimiliki oleh pribadi, karena tambang tersebut merupakan kepemilikan umum. Oleh karena itu, barang-barang tambang seperti migas, batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, dan lain sebagainya adalah kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai dan dikelola pribadi atau swasta apalagi pihak asing.  Dalam Islam, kepemilikan umum wajib dikelola oleh negara karena negara adalah wakil umat. Karena listrik termasuk milik umum, seharusnya listrik dapat diperoleh masyarakat dengan harga murah bahkan kalau perlu gratis.

Berdasarkan hal di atas, pengelolaan kelistrikan nasional saat ini jelas sangat bertentangan dengan hukum syara’ karena kebijakan energi yang ada memberikan peluang kepada swasta untuk mengelola dan menguasai sumber energi seperti minyak bumi, gas dan batu bara, pemberian kewenangan kepada swasta untuk memproduksi listrik dengan sumber energi yang berasal dari barang publik yang kemudian menjualnya kepada PLN dengan harga ekonomis, pengelolaan listrik dikelola oleh badan perseroan yang motif utamanya adalah mencari keuntungan. 

Sehingga pelayanan hanya diberikan kepada mereka yang mampu untuk membayar, biaya yang ditetapkan PLN untuk mengkonsumsi listrik baik biaya pemasangan maupun pemakaiannya pada faktanya membuat sebagian rakyat tidak mampu untuk mendapatkan aliran listrik dan sebagian lagi kesulitan untuk membayarnya.

Jika kita telusuri gambaran pengelolaan barang publik di dalam sistem pemerintahan Islam, pengelolaannya diwakilkan kepada khalifah untuk dikelola demi kemaslahatan rakyat. Selain itu barang tersebut tidak boleh dimiliki dan dikuasai oleh swasta baik domestik ataupun asing. Adapun mekanisme distribusinya, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad dan pendapat khalifah. Dengan demikian, barang publik tersebut dapat digratiskan seperi air dan listrik yang didistribusikan sesuai dengan kebutuhan rakyat tanpa ada yang diistimewakan atau dikecualikan. Barang publik juga dapat dijual dengan harga pasar seperti minyak bumi dan logam. Meski demikian harga penjualannya dikembalikan kepada rakyat tanpa ada yang dikecualikan. Di Baitul Mal, dana tersebut disimpan dalam pos harta milik umum dimana khalifah sama sekali tidak diperkenankan menggunakannya untuk kegiatan negara. (al-Maliky: 41: 1965)

Jika saja kita semua terutama para penguasa negeri ini mau membuang jauh-jauh segala kesombongan dan keserakahan yang ada untuk sama-sama kembali menerapkan sistem Islam, sebenarnya  persoalan terkait jangkauan listrik maupun harga listrik di Indonesia sekalipun tidak perlu lagi dikhawatirkan. Negara harusnya bertanggung jawab sedemikian rupa sehingga setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dengan harga murah bahkan gratis (jika memungkinkan). Untuk seluruh rakyat baik kaya atau miskin, muslim maupun non muslim. Dengan prinsip-prinsip pengelolaan listrik inilah, Indonesia dengan sumber energi primer yang melimpah terhindar dari segala problematika terutama dalam hal kelistrikan yang merupakan kebutuhan vital.

Tapi sayangnya segala kebaikan yang dihasilkan dari sistem Islam justru diabaikan bahkan malah semakin dijauhkan dari kehidupan. Sementara sistem yang menyengsarakan rakyat dan memperkaya penguasa dan pengusaha justru dijadikan pedoman yang selalu berusaha digenggam erat. Sudah seharusnya penerapan syariah Islam secara menyeluruh melalui penegakan sistem Khilafah menjadi sebuah keharusan untuk memberikan kemaslahatan bagi rakyat terlebih Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya raya akan sumber daya alamnya dan dengan segala potensi yang dimilikinya sebagai karunia dari Allah SWT. Wallahu a’lam

Post a Comment

Previous Post Next Post