ISLAM ANTI DISINTEGRASI


Oleh: Fitria A., S.Si

Papua bergejolak. Kalimat ini kiranya tepat untuk menggambarkan kondisi di Papua  akhir-akhir ini. Berawal pada 15 Agustus 2019, aksi unjuk rasa memperingati Perjanjian New York 1962 antara Indonesia dan Belanda terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Beberapa di antaranya berujung ricuh. Berdasar laman tapol.org--organisasi yang menyoroti isu hak asasi manusia di Indonesia yang berbasis di Inggris--total ada 169 pengunjuk rasa ditangkap dan 30 orang terluka. Pihak kepolisian sendiri belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait hal ini. Rusuh terjadi antara lain di Jayapura, Sentani  Papua Barat, Malang Jawa Timur, Ternate Maluku Utara, Ambon, Sula Maluku, Bandung Jawa Barat. Hanya di Yogyakarta dan Jakarta, aksi protes berlangsung tanpa gangguan.

Di Ternate, misalnya, kelompok massa Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) mengaku mendapat perlakuan represif dari aparat kepolisian dan TNI saat hendak melakukan aksi di Kota Ternate, Maluku Utara, pada Kamis (15/8). Sementara di Malang, 56 pelajar yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dibubarkan paksa dan menerima serangan dari sekelompok warga. (sumber CNNIndonesia.com, Senin 19/8)

Berbagai analisis bermunculan. Pihak mabespolri mensinyalir kerusuhan yang terjadi di Kota Manokwari dan Kabupaten Sorong Papua Barat dipicu oleh penyebaran informasi yang tidak benar (hoaks). Setelah penangkapan 43 orang mahasiswa terkait perusakan bendera merah putih di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019. Selanjutnya polisi juga berupaya mengungkap pemilik akun media sosial yang disinyalir menyebar video berkonten profokatif dan diskriminatif terkait mahasiswa asal Papua. (www.pikiran-rakyat.com)

Sedangkan menurut Peneliti Tim Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti mengatakan, ada empat temuan akar masalah konflik di Papua. Penelitian itu sudah dilakukan pada 2009, namun terkonfirmasi dengan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Papua kemarin. Diskriminasi rasial terhadap masyarakat Papua salah satu temuan kajian LIPI. Masalah itu menjadi pemicu konflik di Papua baru-baru ini. Yaitu kasus kekerasan rasial di Surabaya, Jawa Timur.

Namun, menurutnya bukan hanya masalah rasial saja yang memicu konflik di Papua. Aisah menyebut, akar konflik berikutnya adalah pelanggaran HAM di tanah Papua. Kasus tersebut menumpuk sejak zaman orde baru dan perilaku represif kerap terjadi sampai saat ini. Salah kasus yang terjadi saat masa reformasi adalah kasus Wasior Wamena.

Masalah berikutnya adalah kegagalan pembangunan di Papua. Kata Aisah, masalah pembangunan tersebut masih terjadi hingga kini. Berdasarkan riset LIPI, kondisi kemiskinan semakin tinggi dan indeks pembangunan manusia (IPM) semakin rendah di wilayah kabupaten dan kota dengan mayoritas orang asli Papua. Padahal, Otsus yang diperuntukkan bagi orang Papua sudah diberlakukan sejak lama. Masalah terakhir adalah status politik dan sejarah masuknya Papua ke Indonesia. 

Hingga kemudian muncul wacana Papua merdeka. Jika hal ini benar terjadi, maka apakah sejarah akan berulang sebagaimana yang terjadi pada Timor Timur. Jika setiap upaya disitegrasi berujung pemisahan diri dari wilayah NKRI, lantas apakah masih bisa kita sebut Indonesia ini sebagai negeri dari Sabang sampai Merauke?

Islam Mampu Mengatasi Disintegrasi

Tinta sejarah telah mencatat, bahwa selama belasan abad kekuasaan Islam tampil sebagai Sang Adidaya. Nyaris 2/3 dunia dipersatukan, dengan beragam budaya dan agama. Mereka hidup sejahtera dalam naungan kepemimpinan Islam yang bernama sistem khilafah.

Bahkan berbondong-bondong bangsa-bangsa nonmuslim menyatakan diri ingin bergabung di bawah naungan kekuasaan Islam. Dengan sukarela dan tanpa paksaan. Dan jikapun ada jihad di sana, maka rakyat merasakan jihad adalah pembebasan mereka dari kelaliman penguasa sebelumnya. Inilah yang sebagiannya digambarkan oleh salah satu penulis Barat, Will Durant yang dengan jelas mengatakan:

“Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durant – The Story of Civilization).

“Agama Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam pun telah memiliki cita-cita mereka, menguasai akhlaknya, membentuk kehidupannya, dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan urusan kehidupan maupun kesusahan mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang memeluknya dan berpegang teguh padanya pada saat ini [1926] sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hatinya walaupun ada perbedaan pendapat maupun latar belakang politik di antara mereka.” (Will Durant – The Story of Civilization).

Penerapan sistem Islam juga akan membuat negara kuat dan berdaulat. Karena dalam Islam, hadir visi menyatukan sekaligus mencegah kezaliman dan penjajahan. Dalam Islam, haram berbilang kepemimpinan. Dan haram pula tunduk pada kekuasaan asing apalagi mereka yang ingin melakukan penjajahan.

Hak-hak dasar warga negara benar-benar dijamin oleh Islam, tak peduli apakah mereka beragama Islam atau bukan. Jiwa, akal, harta, kehormatan, agama mereka semuanya dilindungi, tak boleh ada yang mencederai. Dan itu semua memang mungkin diwujudkan dengan penerapan aturan-aturan Islam.

Inilah yang semestinya menjadi cita-cita umat saat mendapati sistem hidup dan kepemimpinan sekuler kapitalis demokrasi neoliberal hari ini tak mampu mewujudkan cita-cita mereka. Yakni hidup dalam ketenteraman dan keadilan. Jauh dari rasa takut dan diskriminasi yang mencederai kemanusiaan.

Masyarakat Indonesia termasuk saudara-saudara di Papua harus menyadari, bahwa ketidakadilan yang mereka rasakan justru karena mereka jauh dari aturan-aturan yang datang dari Tuhan. Yakni jauh dari aturan Islam yang sudah terbukti mampu menjadi solusi atas setiap permasalahan. Sekaligus menjadikan negaranya menjadi kuat dan berdaulat.

Sungguh terpecahnya Timor Timur telah memberi pelajaran. Begitupun terpecahnya kepemimpinan Islam hingga menjadi lebih dari 50 negara telah membuktikan, bahwa disintegrasi bukan solusi bagi permasalahan ketidakadilan. Bahkan justru menjadi jalan pelemahan dan jalan penguasaan tanah dan kehormatan oleh penjajah yang sebenarnya. 

Wallahu a'lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post