BERANTAS KORUPSI DENGAN SYARIAT ISLAM


Oleh: Dian Eliasari, SKM
Pendidik dan Member Akademi Menulis Kreatif

Setelah berakhirnya Orde Baru tahun 1999, Indonesia memasuki masa reformasi. Untuk pertama kalinya pada tahun 2014, pemilihan pejabat pusat maupun daerah dipilih secara langsung oleh rakyat Indonesia. Cara ini dinilai sangat demokratis. Bahkan Indonesia menempati peringkat ke-3 setelah India dan Amerika sebagai negara yang paling demokratis. 

Namun, justru di sinilah pangkal masalahnya. Pelaksanaan pemilu secara langsung membutuhkan biaya yang besar. Kenyataan ini membuka peluang besar bagi para pengusaha asing maupun lokal untuk mendanai calon dan partai tertentu. Harapannya, pada saat calon tersebut telah menjabat, akan memudahkan pengusaha memperoleh tender-tender proyek, jabatan, serta kebijakan tertentu sesuai dengan yang diinginkan pemodal.

Biaya politik yang besar juga menjadikan para pejabat sibuk mengembalikan modal. Jumlahnya tentu tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka terima ketika berkuasa selama lima tahun. Inilah yang membuka peluang bagi pejabat untuk korupsi.

Sebagaimana diketahui dari sumber (https://www.viva.co.id/berita/politik/422896-pengamat-biaya-politik-yang-tinggi-menyuburkan-korupsi), total biaya yang dikeluarkan parpol selama 5 tahun sekitar Rp188.700 M. Untuk caleg DPR dan DPRD jika diakumulasikan berkisar Rp160.120 T. Untuk pemilihan kepala daerah diseluruh Indonesia, total dana yang dikeluarkan sekitar Rp23.180 T, dengan perhitungan seorang calon gubernur butuh dana sekitar 25 M dan seorang calon bupati/walikota sekitar 10 M. Sedangkan untuk seorang calon presiden membutuhkan dana sekitar 7 T. Sehingga, total dana yang keluarkan sebagai biaya politik selama lima tahun mencapai Rp190,488 triliun. Sedangkan dari sumber (https://gajimu.com/gaji/gaji-pejabat-negara-ri), gaji pejabat selama 5 tahun untuk bupati/walikota sekitar 30 juta, gubernur sekitar 40 juta, dan presiden sekitar 300 juta. 

Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan jumlah kasus korupsi yang menjerat kepala daerah selama kurun 2004-2018 sebanyak 104 orang, sedangkan kasus terbanyak pada tahun 2018 yaitu 29 orang. (http://www.tribunnews.com/section/2018/12/19/data-icw-104-kepala-daerah-terjerat-korupsi-sebanyak-29-orang-di-tahun-2018)

Menurut pengamat politik Universitas Indonesia (UI), Donny Tjahja Rimbawan, jika sistem demokrasi seperti ini terus dijalankan, maka rakyat Indonesia hanya akan disibukkan dengan proses politik, karena saat ini mulai dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan presiden dipilih secara langsung. Sehingga pembangunan sosial ekonomi, serta sektor lain terlupakan. Fakta ini seharusnya bisa membuat rakyat sadar terhadap rusaknya sistem demokrasi dan muncul keinginan untuk lepas dari sistem tersebut. Rakyatlah yang akhirnya menjadi korban terhadap penerapan aturan hidup yang buruk. Seharusnya, rakyat juga yang berhak menentukan aturan kehidupan seperti apa yang ingin diterapkan.

Syariat Islam Berantas Korupsi

Dalam sistem Islam, pencegahan korupsi ditempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang bagus. Pertama: pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua, pengawasan dari kelompok, dan ketiga, pengawasan oleh negara. Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi. Spirit ruhiah yang sangat kental ketika menjalankan hukum-hukum Islam, berdampak pada bergairahnya budaya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.

Selain itu, negara juga memberlakukan seperangkat hukuman pidana yang keras. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem sekarang. 

Negara juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. Rasulullah saw. bersabda: “Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri. Jika tidak memiliki pelayan, hendaklah mengambil seorang pelayan. Jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah." (HR. Abu Dawud). Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan menekan terjadinya tindakan korupsi.

Kemudian, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya, seperti para gubenur dan amil.

Sedangkan upaya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Bisa kita lihat, pada masa sekarang ini banyak diantara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian banyak ditemukan harta yang tidak wajar. Mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan." (HR. Abu Dawud).

Dalam Islam, status pejabat maupun pegawai adalah ajir (pekerja), sedangkan majikannya (musta’jir) adalah Negara yang diwakili oleh Khalifah atau Kepala Negara maupun penguasa selain Khalifah, seperti Gubenur serta orang-orang yang diberi otoritas oleh mereka. Hak-hak dan kewajiban di antara ajir dan musta’jir diatur dengan akad ijarah. Pendapatan yang diterima ajir di luar gaji, salah satunya adalah yang berupa hadiah adalah perolehan yang diharamkan.

Upaya lain untuk mencegah korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Bisa diambil contoh, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Belaiu juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan negara. Tampaknya hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negeri ini. Ketika rakyatnya banyak yang lagi kesusahan, para pejabat malah enjoy dengan mobil mewah terbarunya, serta fasilitas-fasilitas lain.

Itulah strategi Islam dalam pemberantasan korupsi. Ini memang harus diterapkan secara menyeluruh, tidak sebagian-sebagian demi sempurnanya kemaslahatan yang diinginkan. Karenanya, bersegeralah Indonesia untuk menerapkan Islam secara kafah dan memenuhi seruan ini:

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah: 50). 

Wallahu a’lam bi ash-shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post