Serahkan Urusan Publik pada Swasta, Sempurnalah Liberalisasi



Oleh: Etti Budiyanti
Member Akademi Menulis Kreatif dan Komunitas Muslimah Rindu Jannah

Negeri darurat liberalisasi. Mungkin ini yang bisa kita katakan menanggapi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait menyerahkan semua urusan publik kepada swasta. Bahwa selama ini BUMN terlihat dominan maka harus mengalah kepada swasta.

Dilansir dari detikfinance.com, 2/8/2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai dominasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membuat investasi tersendat. Oleh karena itu dia meminta perusahaan berpelat merah mengalah dengan swasta.

Sri Mulyani menerangkan dalam sebuah perekonomian negara peranan semua sektor menjadi sangat penting. Ketika ekonomi global sedang bergejolak maka penting untuk menggerakkan dunia usaha dalam negeri.

"Salah satu fungsinya adalah investasi. Kalau investasi kita tumbuh di atas 7-8% atau bahkan kita ingin double digit maka kita perlu untuk meningkatkan peranan swasta lebih banyak lagi dan sebenarnya dengan perekonomian yang tumbuh itu memberikan opportunity atau kesempatan bagi swasta," ujarnya di Menara Kadin, Jakarta, Jumat (2/8/2019).

Benarkah analisis Menteri Keuangan tersebut? Bukankah pembentukan BUMN saja sejatinya adalah liberalisasi? Apalagi  malah menyerahkan segala urusan publik kepada swasta.

Pembentukan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) sesungguhnya bagian dari liberalisasi. Seperti kita ketahui sistem ekonomi liberal  adalah sistem ekonomi dimana sebagian besar keputusan dalam perekonomian ditentukan oleh masing-masing individu, bukan lembaga atau organisasi bahkan pemerintah. Sistem ekonomi ini mencakup kebebasan dalam melakukan aktivitas ekonomi. Ekonomi liberal sering dikaitkan dengan dukungan terhadap pasar bebas dan kepemilikan pribadi atas aset dan modal. Adanya kebolehan memiliki saham di BUMN bagi individu mencerminkan liberalisasi di balik pembentukan BUMN. 

Penyerahan urusan publik kepada swasta sama saja dengan istilah privatisasi. Privatisasi adalah pengubahan status kepemilikan pabrik-pabrik, badan-badan  usaha, dan perusahaan-perusahaan, dari kepemilikan negara atau kepemilikan umum  menjadi kepemilikan   individu. Privatisasi adalah sebuah pemikiran  dalam ideologi Kapitalisme, yang menetapkan peran negara di bidang ekonomi hanya terbatas pada pengawasan pelaku  ekonomi dan penegakan  hukum. Pemikiran ini menetapkan pula jika sektor publik dibebaskan dalam melakukan usaha,  investasi, dan inovasi,  maka pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat akan meningkat.

Privatisasi yang dikenal pula dengan sebutan  Liberalisme Baru (New Liberalism), mulai muncul pada era 80-an. Pemikiran ini dicetuskan  oleh Milton Freedman, penasehat ekonomi Presiden  AS saat itu, Ronald  Reagan, dan Frederick High, penasehat ekonomi PM Inggris waktu itu, Margaret Thatcher. Pemikiran ini telah tersebar luas di negara-negara kapitalis,  khususnya Amerika Serikat dan Eropa Barat. Di sana pun telah berlangsung proses pengubahan status kepemilikan banyak pabrik, badan usaha, dan  perusahaan dari  kepemilikan negara  menjadi kepemilikan  individu. Akibatnya, aset  dan perekonomian negara-negara tersebut tersentralisasi pada beberapa gelintir individu atau perusahaan tertentu.

Negara-negara kapitalis lalu mempropagandakan pemikiran tersebut ke seluruh dunia, terutama kepada negara-negara Dunia Ketiga. Mereka mengimplementasikannya melalui IMF, sebagai sebuah program reformasi ekonomi yang dipaksakan atas negara-negara debitor. Melalui program ini, privatisasi telah melicinkan jalan bagi hadirnya penanaman modal asing. Betapa tidak, penawaran pabrik, badan usaha, dan perusahaan milik negara  atau milik umum, tentu menggoda para investor asing. Apalagi jika yang ditawarkan berkaitan dengan pengelolaan bahan mentah, atau menyangkut hajat hidup orang  banyak (yang  menjadi tulang punggung perekonomian negara), seperti sektor energi (minyak,  gas, dan sebagainya), air minum, pertambangan, sarana  transportasi laut (seperti pelabuhan), dan sebagainya.

Jadi, sebagai salah satu program reformasi IMF, privatisasi senantiasa dibarengi dengan program lainnya, yaitu penanaman modal asing untuk investasi langsung ataupun tidak langsung.

Dengan kata lain, kebijakan negara-negara berkembang untuk melepaskan sektor ekonomi publik menjadi sektor privat, sebenarnya bukan demi kepentingan rakyat. Memang digembar-gemborkan bahwa privatisasi akan menguntungkan rakyat, karena akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi, akan meningkatkan kualitas barang dan jasa dengan biaya seminimal mungkin, dan seterusnya. Tetapi privatisasi hakikatnya bukan itu, melainkan semata-mata merupakan sikap tunduk dan pasrah kepada arahan-arahan dan tekanan-tekanan lembaga-lembaga keuangan internasional, terutama IMF yang bereputasi jelek itu.

Penghapusan BUMN dan penyerahan seluruh urusan publik kepada swasta justru bukti upaya rezim hari  ini untuk  menyempurnakan proyek liberalisasi yang melepas tanggung jawab negara dalam mengurus berbagai proyek strategis milik umat atau negara.

Dalam Islam, negara bertanggung jawab penuh dalam proyek-proyek pengelolaan sektor strategis atau layanan publik. Swasta hanya dilibatkan dalam aspek teknis, itupun jika diperlukan dan dipastikan tidak akan merugikan kepentingan rakyat dan negara.

Sistem ekonomi Islam dalam sistem khilafah dikonstruk atas tiga asas. Ketiga buah asas tersebut adalah: konsep kepemilikan [milkiyah], pengelolaan dan pemanfaatan hak milik [tasharruf al milkiyah] dan distribusi kekayaan bagi warga negara [tauzi’al amwal baina an nas]. 

Kepemilikan dalam Islam diatur oleh Allah dan terdiri dari tiga, yakni:

1. Kepemilikan individu
Adalah semua barang yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak dan jumlahnya dibatasi. Misalnya rumah, tanah, kendaraan dan uang. Dalam sistem ekonomi kapitalisme segalanya bisa dimiliki individu dan jumlahnya tidak dibatasi. 

2. Kepemilikan umum Adalah izin dari Allah yang diberikan kepada orang banyak untuk memanfaatkan suatu barang. Sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan Abu Dawud bahwa kaum muslimin berserikat terhadap tiga hal yaitu air, padang rumput dan api. 

3. Kepemilikan negara Adalah harta yang merupakan hak dari seluruh kaum muslimin, dimana pengaturan distribusi dari harta kekayaan tersebut diserahkan kepada khalifah. Harta negara ini misalnya zakat, pajak [jizyah] dari non muslim, pajak dari kharaj, ghanimah, harta orang murtad dan harta yang tak ada ahli warisnya. 

Konsepsi kepemilikan dalam khilafah inilah yang akan menjadi faktor kesejahteraan warga negara khilafah. 
Ketiga konsep kepemilikan dalam khilafah ini sangat berbeda dengan sistem kapitalisme, dimana semua bisa dimiliki oleh individu dan tidak dibatasi jumlahnya. Melalui mekanisme privatisasi, maka barang milik umum dan negara pun bisa dimiliki oleh individu. Inilah yang menjadikan kemiskinan rakyat dalam sistem kapitalisme, sebab hanya segelintir manusia yang kaya. 

Saatnya kita kembali memperjuangkan tegaknya penerapan Islam secara kaffah di bawah naungan khilafah 'ala minhajjin nubuwwah. Suatu sistem kehidupan yang berasal dari Allah Swt bukan dari kejeniusan manusia. Hingga negara tak akan keliru dalam mengelola kepemilikan umum dan negara. Tentunya  tak akan ada lagi privatisasi dalam pengelolaan proyek-proyek strategis umat. Kehidupan yang penuh rahmatan lil 'aalamin akan terwujud. 

Wallahu a'lam bishshowab
Previous Post Next Post