Pembukaan Lahan Tanpa Pembakaran

Oleh: Rahmi Surainah, M.Pd, 
warga Kutai Barat Kaltim

Sejak awal tahun 2019, tercatat setidaknya 50 hektare lahan habis terbakar hampir di seluruh Kabupaten Berau, Tanjung Redeb. Penyebabnya, mayoritas karena pembakaran lahan yang dilakukan oknum warga yang hendak membuka lahan pertanian.

Meski demikian, kebakaran lahan yang terjadi tidak sampai mengganggu aktivitas penerbangan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Bandara Kalimarau, Bambang Hartato. Menurut Bambang, hingga saat ini jarak pandang masih normal, yakni lebih dari 5 kilometer. Meski demikian, Bambang berharap musim kemarau tidak diwarnai dengan kebakaran hutanyang tidak terkendali sehingga menimbulkan kabut asap.

Selain dipicu oleh kebakaran lahan yang terjadi Kabupaten Berau sendiri, kabut asap juga diperparah dari daerah lain yang saat itu sama-sama mengalami kebakaran hutan dan lahan. (Tribunkaltim.co,8/8/2019)

Bersamaan waktu dengan Berau, kabut asap juga menyelimuti daerah Kutai Barat. Meski tak mengganggu jarak pandang, tapi membuat perih mata. Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kutai Barat, Albina mengatakan kabut asap muncul karena terjadi kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, juga ada asap kiriman dari Kalteng dan Kalsel. 

Menurut Albina, Kubar merupakan daerah rawan karhutla karena banyak lahan gambut. Guna meminimalisir terjadinya karhutla, PBPD mengimbau masyarakat agar waspada dan tidak membakar di sembarang tempat. Termasuk tidak membuang puntung rokok sembarangan, tidak membuka lahan dengan membakar dan berhati-hati bila menggunakan api. (Korankaltim.co,8/8/2019)

Pembakaran Lahan Solusi Praktis Pembukaan Lahan 

Musim kemarau kerap dimanfaatkan oleh pemilik lahan untuk membuka lahan pertanian baru dengan cara membakar dikarenakan lebih efisien dan ekonomis dibandingkan membersihkan lahan dengan menebang dan membersihkan. 

Pembakaran lahan ini tentunya memiliki dampak bagi lingkungan, diantaranya: polusi udara, mengganggu penerbangan bandara karena kabut asap, berbahaya bagi kesehatan masyarakat, juga bisa menyebabkan kebakaran lebih meluas lagi. Oleh karena itu, butuh regulasi yang tepat oleh penguasa, juga penguasaan teknologi membersihkan lahan agar tdk mengakibatkan kerugian bagi masyarakat sekitar, lingkungan dan masyarakat luas. 

Secara umum penyebab karhutla bisa terjadi karena faktor alam dan ulah manusia. Faktor alam yang mempengaruhi karhutla seperti musim kemarau yang berkepanjangan dapat berakibat naiknya suhu di berbagai wilayah termasuk hutan. Suhu yang tinggi tersebut dapat memicu terjadinya kebakaran hutan. 

Selanjutnya Karhutla karena ulah manusia baik disengaja atau pun tidak. Kebakaran yang disebabkan ketidaksengajaan manusia bisa terjadi karena puntung rokok yang dibuang sembarangan di area hutan, api unggun yang lupa dimatikan atau tidak benar-benar mati saat ditinggalkan dan pembakaran sampah. Sementara pembakaran yang disengaja dilakukan dengan tujuan untuk memperluas area perkebunan, seperti perkebunan sawit dan karet.

Terlepas dari dua faktor di atas, membakar lahan juga terpaksa dilakukan masyarakat karena tingginya biaya hidup dari pada membuka lahan manual dan mekanik, membakar jauh lebih murah dan cepat. Namun, bagi perusahaan besar, konsesi lahan luas yang dikelola demi keuntungan lebih besar maka biaya awal harus ditekan. Salah satunya untuk biaya penyiapan lahan, maka dibakar lebih menguntungkan.

Sebenarnya, faktor manusialah yang lebih banyak mengambil bagian dalam kasus karhutla. Kesalahan manusia dalam pengelolaan hutan telah menyebabkan kerusakan hutan dan lahan. Kondisi perekonomian dalam sistem kapitalis yang tabiatnya hanya menginginkan keuntungan besar menjadi mata rantai kerusakan lingkungan. Desakan hidup masyarakat bawah dan keuntungan besar yang diinginkan para kapitalis membuat karhutla jadi pilihan.

Pemerintah yang memfasilitasi kapitalisasi hutan dan lahan gambut berupa pemberian hak konsesi kepada korporasi perusahaan baik kepada kebun kayu atau sawit ini lebih berbahaya. Ratusan titik api dilahan yang luasnya ratusan ribuan hektar lebih berbahaya dibandingkan milik masyarakat yang lebih sedikit. 

Jangan Salahkan Warga Membakar Lahan

Keberpihakkan rezim terhadap korporat begitu besar. Pemerintah cenderung menyalahkan masyarakat dan membela korporasi. Dalam hal penegakkan hukum pun, tidak ada tindakan yang tegas. Hanya pada korporat tertentu itu pun sering "masuk angin", alih-alih menghentikan jera juga tidak. Termasuk intervensi terhadap lahan rakyat tetapi milik perusahaan tidak, kasus lahan dimenangkan perusahaan, individu kalah dalam hukum.

Kesalahan dalam pengelolaan hutan dan lahan, yakni kepemilikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara sebagai milik umum. Namun, diserahkan kepada swasta/perusahaan termasuk pemilik modal tidak terlepas dari penerapan sistem Kapitalisme. Karakter Kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu sebagai premis ekonomi. Sehingga wajar jika dalam pengelolaan hutan hanya dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH (Hak Pengusaha Hutan) yang diberikan oleh penguasa.

Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang lebih mementingkan kemanfaatan telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas. Ditambah lagi, sistem Kapitalisme juga telah menjadikan para penguasa abai dalam mengurus rakyatnya termasuk dalam menyelesaikan persoalan karhutla. Terbukti, dengan marak dan berulangnya karhutla di berbagai daerah seolah menunjukkan para penguasa tidak serius dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Karhutla pada musim kemarau terutama, berulang terjadi. Tampak dibiarkan saja, bahkan diduga sengaja untuk kepentingan pembersihan lahan dengan biaya murah. Pemerintah yang menfasilitasi kapitalisasi lahan dan lahan gambut berupa hak konsesi kepada sejumlah korporasi. Tindakan ini sebagai pintu kejahatan karena ratusan titik api ditemukan di wilayah konsesi. Hal ini lebih berbahaya dibanding lahan milik masyarakat yang lebih sedikit.

Solusi Islam Maslahat dalam Pembukaan Lahan

Berbagai progam pemerintah, seperti slogan spanduk cegah kebakaran hutan, sosialisasi kepada masyarakat, termasuk progam restorasi gambut, dll tidak sekalipun menyentuh persoalan. Bahkan memfasilitasinya dengan mereduksi persoalan ideologis paradigmatik ke persoalan teknis dan teknologi. Sama halnya, tidak ada pencegahan karhutla yang ada pasca karhutla, bertindak setelah terjadi karhutla hanya dengan memadamkan api, bukan mencegah asap dari awal.

Solusi Islam dalam pembukaan lahan berawal dari tata kelola Islam terhadap hutan dan lahan. Islam memiliki beberapa ketentuan dalam pengelolaan hutan dan lahan, di antaranya hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara. 
Ketentuan ini didasarkan pada hadits Rasulullah:
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api." (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).

Selain itu, pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing). Selain itu, negara wajib melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hutan. Dalam kekhilafahan atau pemerintahan Islam fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). 

Muhtasib misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan. Muhtasib bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan.

Dalam hal sanksi/hukum negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan. Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan). Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara.

Demikianlah ketentuan Islam dalam tata kelola hutan dan lahan. Jika ketentuan ini dilaksanakan di bawah naungan negara Islam tentu saja akan mampu mencegah dan mengatasi kerusakan hutan termasuk karhutla yang disebabkan oleh tangan manusia. 

Negara berfungsi sebagai raa'in (pemelihara urusan umat). Dalam hal ini sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut sehingga hak setiap individu publik terjamin dalam memperoleh manfaatnya. Negara juga berfungi sebagai junnah (tameng) khususnya tameng bagi hutan dan lahan gambut yang merupakan harta publik. Penerapan pandangan Islam menjadi kunci solusi persoalan menahun karhutla termasuk pembebasan lahan tanpa pembakaran. Hal ini mengharuskan pelaksanaan syariah Islam dalam bingkai Khilafah.
Wallahu'alam...
Previous Post Next Post