Menggenjot Pendapatan Negara Lewat Pajak, Rakyat Terpalak

Oleh : Miniarti Impi, ST
Member WCWH

Dana Moneter International (IMF) belum lama ini merilis hasil assessment terhadap perekonomian Indonesia dalam laporan bertajuk Article IV Consultation tahun 2019. Meski secara keseluruhan perekonomian Indonesia dinilai positif, IMF menyoroti kinerja penerimaan negara yang masih rendah, terutama pajak.  

Untuk mengatasi itu IMF merekomendasikan Strategi Penerimaan Jangka Menengah atau Medium-Term Revenue Strategy (MTRS) untuk diterapkan pemerintah khususnya direktorat jenderal pajak (DJP). Salah satunya, memperluas basis pajak yang sudah berlaku. IMF menyarankan pemerintah untuk tidak menurunkan batas PPN baik secara umum maupun untuk UMKM, sebelum menghapus kebijakan pembebasan PPN dan merampingkan PPh Badan.

Adapun MTRS tersebut oleh IMF dinyatakan mestinya mampu meningkatkan pendapatan negara sekitar 5% dari PDB selama lima tahun ke depan, untuk membiayai belanja prioritas infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan jaring pengaman sosial. (kontan.co.id)

Untuk itu, demi mendorong kesadaran wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan berbagai cara. Termasuk mengeluarkan tagline bayar pajak semudah isi pulsa. Ide itu tak hanya sekedar  wacana. Ditjen pajak akan bekerja sama dengan e-commerce seperti Tokopedia untuk mempermudah pembayaran pajak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperingatkan wajib pajak bahwa mereka tak bisa lagi menghindarkan diri dari kewajibannya.  Ditjen pajak kini bisa mengendus harta sekalipun disembunyikan. Sri Mulyani mengatakan bahwa Indonesia saat ini sudah ikut dalam pertukaran data perpajakan secara otomatis atau Autumatic Exchange of Information (Aeol). Dari situ negara-negara yang tergabung didalamnya akan mendapatkan data informasi perpajakan secara otomatis.  (detikfinance)

Pajak, Alat Pemalak Rakyat
Dalam sistem ekonomi kapitalis, sumber utama penerimaan negara diperoleh dari pajak dan utang. Dalam sistem kapitalis ini negara dan pemerintah akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan dana besar dari pajak, baik dari pajak rakyat maupun dari pajak korporasi-korporasi yang beroperasi di Indonesia. 

Penerapan pajak di berbagai barang dan jasa sangat membebani perekonomian. Pajak mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, harga barang meningkat karena di dalam mata rantai proses produksi setiap tahapannya dikenakan pajak. Pajak adalah kezhaliman yang dibungkus dengan peraturan sehingga negara merasa berhak untuk mengambil harta yang sebenarnya bukan menjadi miliknya. Tidak mengherankan jika banyak orang menghindari pajak.

Ironis memang, negara yang dikenal serba kaya ini ternyata tak punya modal buat pembangunan. Apatah lagi untuk memberi rakyatnya sedikit kesejahteraan. Pajak yang katanya jadi cara sistem memaksa pemilik modal berbagi keuntungan, dan lantas diberi istilah keren sebagai fungsi redistribusi pendapatan, nyatanya cuma teori yang jauh dari kenyataan. Bahkan pada faktanya, orang kaya sering mendapat keringanan dari kewajiban pajak. Terbukti, ada pembebasan pajak barang mewah, tax holiday, dan lain-lain. Sementara rakyat kecil, tetap saja harus rela terposisi sebagai korban, terpinggirkan dan hanya mewarisi kerusakan lingkungan. Ujung-ujungnya, gap sosial semakin lebar.

Sepanjang negeri ini menerapkan sistem kapitalis neoliberal, negara memang dipastikan tak akan pernah mampu mewujudkan kesejahteraan. Alih alih untuk menggenjot pendapat negara, pajak merupakan sebuah kedholiman terhadap rakyat yang dibungkus dengan jargon manis.  Yang terjadi justru negara makin tergadai dan kehilangan fungsi asasinya sebagai pengurus dan penjaga rakyat. Terlebih, penerapan sistem kapitalisme neoliberal justru membuka jalan penjajahan kapitalisme global.

Negara dengan sistem ini bahkan akan menjadi sumber dan pelaku kezaliman utama atas rakyatnya sendiri. Padahal Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (QS Asysyura [42]: 42)

Pajak Dalam Pandangan islam
Islam telah melarang seluruh bentuk pungutan apapun nama dan alasannya. Pungutan yang diambil oleh negara dari rakyatnya harus memiliki landasan atau legislasi syar’i. Allah Swt berfirman: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lainnya diantara kamu dengan jalan yang bathil” (TQS. Al-Baqarah [2] : 188)

Pungutan yang tidak ada dasar hukum Islamnya disebut dengan ghulul (kecurangan). Tindakan ghulul diharamkan berdasarkan firman Allah Swt: “Barangsiapa berbuat ghulul (curang terhadap harta) maka pada hari kiamat ia akan datang membawa (harta) dicuranginya itu”. (TQS. Ali Imran [3] ; 161)
Rasulullah saw memasukkan para pemungut pajak sebagai shahib al-maks, yaitu harta (pungutan/retribusi) yang diambil secara tidak syar’i. Pelakunya diganjar dengan siksaan yang pedih dan kehinaan. Sebagaimana hadist Rasulullah Saw “ Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut maks (yakni harta pungutan/retribusi yang tidak syar’i).

Di dalam sistem perekonomian Islam, pungutan pajak seperti dalam sistem ekonomi kapitalis dan yang berlaku seperti saat ini tidak pernah ada. Islam tidak mengenal pajak, yang ada adalah dlaribah. Dharibah adalah harta yang diwajibkan Allah Swt kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada saat kondisi di Baitul Mal tidak ada harta/uang, sementara ada pembiayaan yang wajib dilakukan dan akan menimbulkan bahaya bagi kaum Muslim. 

Dharibah atau pajak dalam Islam hanya memiliki satu fungsi, yakni fungsi stabilitas dan bersifat insidental. Dia hanya dipungut saat kas negara kosong dan dipungut dari orang-orang kaya yang beragama Islam saja. Jadi tidak dikenakan pada seluruh warga negara sebagaimana yang terjadi sekarang. Dan manakala problem kekosongan kas negara tadi sudah teratasi, maka pajak pun harus dihentikan.

Inilah dasar kebijakan pajak dalam Daulah Khilafah. Allah telah mewajibkan kepada negara dan umat untuk menghilangkan bahaya itu dari kaum Muslim. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak boleh mencelakakan orang lain dan tidak boleh mencelakakan diri sendiri” (HR Ibn Majah dan Ahmad).

Dengan demikian, dalam sistem kapitalis pajak merupakan sumber utama pendanaan negara. Sebaliknya, dalam sistem Islam, ia hanya digunakan sebagai penyangga dalam kondisi darurat untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Untuk itu  pajak dalam Islam tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman, ia hanya digunakan sebagai penyangga dalam kondisi darurat untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Bahkan pajak, akan dipandang sebagai bentuk kontribusi warga negara yang berkelebihan harta atas urusan umat yang berimplikasi pahala dan kebaikan. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.
Previous Post Next Post