Memaknai Bulan Dzulhijah*

Oleh : Oom Rohmawati 
Member Amk

Bulan Dzulhijjah adalah bulan dimana kaum muslim menunaikan ritual ibadah yang penuh dengan makna, yang diawali dengan peristiwa sejarah ketaatan satu keluarga yaitu Nabi Ibrahim as beserta istri dan anaknya Siti Hajar dan Ismail. Allah Swt menurunkan perintah kurban kepada Nabi Ibrahim as untuk menguji seberapa ikhlas ia melepas putra yang dinantikan sejak lama. Tepat saat sang putra usia 13 tahun, ia menerima perintah Allah Swt untuk menyembelih putranya. Kisah ini tertuang dalam surat ash-Shafat ayat 102-105. 

Dalam kisah Nabi Ibrahim as tersebut terkandung makna yang mendalam untuk dijadikan pelajaran oleh umat Islam bahwa antara kepentingan pribadi dan perintah agama (Allah Swt) maka dahulukan perintah Allah Swt, tidak hanya tenaga, harta tapi nyawa pun siap dikorbankan. 

Sebentar lagi jutaan umat muslim dari penjuru dunia berkumpul di tanah suci Makkah, menggemakan kalimat tauhid bersama harapan keinginan disertai keimanan dan tujuan sama yakni Allah Allah dan Allah Swt tidak ada yang lain. Walau dengan perbedaan kulit, bahasa, bangsa apalagi perbedaan ras, dan golongan tertentu. Mereka datang memenuhi panggilan dan seruan-Nya: "Aku menjawab panggilan-Mu, ya Allah tidak ada sekutu bagi-Mu. Sungguh segala pujian, kenikmatan dan kekuasaan adalah milik-Mu."

Mereka disatukan dalam satu ikatan yang kuat yaitu akidah Islam. 
Saling tolong menolong tidak ada amarah, caci maki atau perdebatan yang akan memancing emosi. Namun mengapa persatuan, kasih sayang antara sesama muslim semua itu tidak berkelanjutan? Persatuan umat saat berhaji baru sebatas menciptakan ikatan spiritual tanpa sistem. Sama persis dengan ibadah shalat Jumat atau shalat berjamaah hanya saat itu saja. Umat berkumpul di satu tempat dalam satu waktu dan setelah itu bubar begitu saja tidak terealisasi dalam kehidupan.

Semestinya ibadah haji menjadi konferensi akbar untuk membangun kesadaran umat, bahwa mereka kini telah bercerai berai tidak lagi menjadi umat yang satu. Padahal banyak sekali permasalahan yang mesti di selesaikan bersama. 

Mereka sibuk dengan egonya masing-masing hingga tidak peduli dengan saudaranya sendiri. Padahal bukankah sesama muslim itu bersaudara? Rasulullah Saw pernah bersabda:

_"Barang siapa ketika bangun tidur, dan dia tidak memikirkan muslim yang lain maka mereka tidak termasuk golonganku."_ (Alhadits)

Sekarang ini pengangguran di mana-mana, kemiskinan yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak kejahatan, kriminalitas, dan lain sebagainya. 
Bahkan kezaliman-kezaliman yang menimpa kaum muslim di negara lain seperti Uighiur, Suriah dan Palestina tidak ada pembelaan dari saudara muslim lainnya, bukankah Allah Swt berfirman:

"Kaum mukmin itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) kedua saudara kalian itu dan takutlah terhadap Allah supaya kalian dapat rahmat." (TQS al-Hujurat [49]: 10). 

Ironisnya beberapa negara muslim seperti Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab justru memberikan dukungan kepada pemerintah komunis Cina yang melakukan kezaliman terhadap umat muslim Uighiur. 

Inilah ketiadaan pemerintahan yang menerapkan sistem Islam kaffah. Jadi kaum muslim harus membangun kembali persatuan yang hakiki dengan menerapkan rangkaian syariat Allah Swt, agar Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam bisa terwujud. 

Alhasil, mari kita rekatkan kembali ikatan ukhuwah Islamiyah, satukan hati. Campakkan ego kebangsaan, kelompok yang telah membuat kita bercerai-berai yang menjadikan musuh mudah menguasai kita. 

Mari kita mulai kalimat tauhid sebagai pemersatu kita. Sungguh kita itu umat yang satu. Bertuhankan yang satu Allah SWT, berhukum satu Alquran. Dengan persatuan di bawah kalimat tauhid itulah Allah Swt yang akan menolong dan memuliakan kita. Ingatlah firman Allah Swt,

"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan." (TQS. al-Anfal [8]: 24)

_Wallahu a'lam bi ash-shawab_
Previous Post Next Post