Kota Peluang Intervensi Swasta

Oleh: Leni Ummu Najid
(Pemerhati Masalah Sosial)

Bagi masyarakat Kalimantan, khususnya Kaltim dan Kalteng, bulan agustus adalah bulan yang dinanti. Bulan ini menjadi penentu bagi dua kandidat kuat lokasi ibu kota negara yang baru. Saat itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) rencananya mengumumkan lokasi pasti pemindahan. Seperti diketahui dua provinsi yang menjadi kandidat ibu kota baru adalah Kaltim dan Kalteng. 

Ditilik dari daya dukungnya Kaltim lebih memiliki keunggulan. Seperti dekat dengan dua bandara di Balikpapan dan Samarinda, Pelabuhan Semayang serta Jalan Tol Balikpapan-Samarinda. Ketersediaan jaringan infrastruktur energi dan air bersih, struktur demografi yang heterogen, dilewati ALKI II di Selat Makassar, bebas gempa bumi dan kebakaran hutan, tak berbatasan langsung dengan batas negara dan memiliki ketersediaan lahan berstatus areal penggunaan lain (APL), hutan produksi berstatus konsesi HTI maupun hutan produksi yang bebas konsesi. 

Dilihat dari sisi sosial, Kaltim merupakan daerah tempat berkumpulnya seluruh etnis, suku, agama dan kelompok. Dan sampai saat ini, wilayah Kaltim tidak pernah terjadi konflik SARA. Menurut Gubernur Kaltim Isran Noor, sudah 90 persen pusat pemerintahan Indonesia pindah ke Kaltim. Penetapan lokasinya pun sudah mengerucut pada dua wilayah yaitu di Sotek kabupaten Penajam Paser Utara dan Bukit Soeharto Kabupaten Kutai Kertanegara. Ini berdasarkan kajian Bappenas RI (https://kaltim.tribunnews.com/2019/08/09/gubernur-isran-sudah-presentasi-di-depan-presiden-sebut-90-persen-ibukota-ri-pindah-ke-kaltim).

Peluang Intervensi Swasta

Pemindahan kota apalagi ibukota bukan masalah sederhana namun masalah multi problematika. Masalah utama yang harus diperhatikan serta dipersiapkan secara matang adalah masalah pendanaan yang diduga tanpa memperhitungkan biaya indirek minimal mencapai nilai ratusan triliun rupiah. 

Pertanyaannya, bagaimana cara memperoleh dan menyediakan dana sebesar itu? Masalah biaya pemindahan ibukota harus ditatalaksana secara optimal baik dari segi kuantitas maupun kualitas tanpa mengganggu pendanaan pembangunan dibidang lain yang lebih dibutuhkan rakyat.

Berdasarkan hasil kajian Bappenas untuk pembangunan ibukota baru dibutuhkan pembiayaan Rp 466 triliun ini didapatkan dari tiga skema pembiayaan untuk ibu kota baru, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan swasta. 

Selain APBN, BUMN akan diminta untuk mendanai peningkatan kapasitas bandara dan pelabuhan. Sedangkan KPBU akan dipakai untuk pembangunan gedung eksekutif, legislatif, yudikatif, sarana pendidikan, sarana kesehatan, museum, hingga lembaga pemasyarakatan (https://kumparan.com/@kumparanbisnis/pemerintah-akan-buat-badan-khusus-untuk-pendanaan-ibu-kota-baru-1rLqkyqqk2R).

Pemerintah juga mendorong swasta untuk membangun perumahan umum, pembangunan perguruan tinggi, sarana kesehatan, MICE dan science technopark, dan shopping mall. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, skema KPBU akan menjadi pendanaan mayoritas yaitu senilai Rp 340,6 triliun. Sedangkan skema kerja sama swasta akan menyumbang pendanaan sebesar Rp 95 triliun. Terakhir, pemerintah telah menganggarkan Rp 30,6 triliun dalam APBN dalam proses pemindahan ibu kota. Pembiayaan tersebut akan menggunakan skema multiyears atau tahun yang dialokasikan dalam lima tahun.

Dari skema pembiayaan yang digagas oleh pemerintah, terlihat pelibatan pihak swasta sangat besar. Porsi swasta ada pada skema KPBU dan skema pembiayaan swasta murni. KPBU sendiri merupakan kerjasama pemerintah dengan badan usaha yang melibatkan swasta dalam pengerjaan infrastruktur. Ini artinya akan banyak investasi yang mengalir untuk pembangunan ibukota baru (https://properti.kompas.com/read/2019/07/08/090000721/peliknya-kpbu-dalam-relokasi-ibu-kota-negara?page=all).

Dalam sistem ekonomi yang kapitalistik seperti sekarang ini, tumpuan pembiayaan memang mengacu pada investor swasta sehingga tidak hanya sibuk memikirkan berapa besar investasi yang diperlukan, dari mana asalnya tapi juga harus berpikir keras bagaimana mengembalikan investasi bahkan menangguk keuntungan dari proyek tersebut. Sistem ekonomi kapitalistik tidak berprinsip bahwa pengadaan infrastruktur adalah bagian dari pelaksanaan kewajiban negara dalam melakukan pelayanan (ri’ayah) terhadap rakyatnya. 

Sejatinya, semua investasi yang masuk ke Indonesia tentu bukan tanpa maksud. Semua pasti memiliki syarat-syarat tertentu yang  lebih banyak menimbulkan kerugian bagi negara. Investasi asing kerap dijadikan alat untuk menjajah dan mengintervensi negera-negara lain termasuk negeri-negeri muslim dengan mengeruk sumber daya alamnya untuk kepentingan para pemilik modal.

Islam Memandang

Dalam sistem ekonomi Islam meniscayakan sebuah negara mengelola seluruh kekayaan yang dimilikinya sehingga mampu membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik. Dengan pengelolaan kekayaan umum (milkiyyah ‘ammah) dan kekayaan negara (milkiyyah daulah) yang benar berdasarkan Islam, tentu menjadikan sebuah negara mampu membiayai penyelenggaraan negara tanpa harus utang, termasuk untuk membangun infrastruktur bagi pemindahan ibukota baru. 

Islam mengatur sistem penanaman investasi asing yakni dengan tidak diperbolehkannya investor asing melakukan investasi dalam bidang yang strategis atau sangat vital. Jika pihak asing  menanamkan investasinya terhadap bidang-bidang yang strategis dan vital, maka bisa dipastikan bahwa hal tersebut akan menjadikan mereka melakukan praktik bisnis seenaknya yang dapat merugikan negara dan rakyat. Karenanya, hal ini jelas diharamkan, sebab bisa menjadi wasilah (sarana) bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslim termasuk kekayaan alam yang dimilikinya.

Tidak hanya itu, Islam juga memandang bahwa pendapatan dari sumber daya alam seperti minyak, gas dan batubara merupakan milik publik yang dilarang untuk diprivatisasi oleh swasta. Semua pendapatan tersebut akan digunakan oleh negara untuk meningkatkan standar hidup warganya dan mengembangkan infrastruktur. Bukan dijual kepada individu atau perusahaan asing di mana negara hanya sedikit mendapatkan keuntungan dibanding mereka.

Dengan demikian, jelaslah hanya sistem ekonomi dan politik Islamlah yang mampu menjamin pembiayaan infrastruktur  negara bagi rakyatnya, dan sistem ini hanya dapat terlaksana secara paripurna  sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para khulafaur rasyidin hingga khilafah utsmaniyyah. Wallahu a’lam bishshawab.
Previous Post Next Post