Khilafah Mengatasi Kekerasan pada Guru di Indonesia



Oleh: Nur Ilmi Hidayah
(Praktisi Pendidik Madrasah)

Kekerasan menimpa guru menimbulkan perih dalam dunia pendidikan. Guru sebagai insan mulia  kini sudah tidak dihormati lagi. Sekolah tidak menjadi tempat aman dan nyaman bagi guru untuk menunaikan tugas mencerdaskan anak bangsa.

Kekerasan terhadap guru setiap tahun masih sering terjadi di negeri ini. Umumnya, para guru yang mendapatkan kekerasan justru adalah guru-guru yang baik dan bahkan sangat baik.

Peraturan pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru pun menegaskan bahwa guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan  keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru dan masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing (pasal 40 ayat 1). Selain itu Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan memperkuat posisi guru dalam menjalankan tugas profesinya.

Landasan yuridis sudah ada. Namun, pada kenyataannya guru masih mengalami kekerasan. Ancaman, intimidasi, bentakan hingga pemukulan terus diterima guru. Ironisnya, sikap tidak terpuji justru diterima guru dari orang tua siswa. Hal ini menunjukkan bahwa; Pertama, implementasi peraturan tersebut belum berjalan secara optimal.

Kedua, orang tua belum memahami peran guru dalam menjalankan tugas keprofesian. Tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik, membina dan membimbing siswa.

Adegan kekerasan yang dilakukan Dilan dalam film Dilan 1990 an adalah representasi fenomena perundungan siswa terhadap guru. Dilan yang tidak terima ditegur karena pindah barisan saat upacara, memukul gurunya. Saat sidang di ruang kepala sekolah, Dilan tidak meminta maaf. Ia menyalahkan sikap sang guru yang dianggap kasar.

Aksi seperti yang dilakukan Dilan terjadi dalam kenyataan. Ada rentetan kejadian perundungan guru-siswa yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Seorang guru yang berinisial Il di MTs. Keppe Kab. Luwu Prov. Sulawesi Selatan tahun 2015 dihadang oleh siswanya di tengah jalan saat guru tersebut pulang dari sekolah. Guru tersebut dikira menyimpan keris yang disita oleh Urusan Kesiswaan, karena guru tersebut adalah guru bimbingan konseling, maka kecurigaan siswanya tertuju padanya.

Dari Kab. Luwu, kekerasan terhadap guru beralih ke wilayah Kab. Takalar prov. Sulawesi Selatan. Di SMP Negeri 2 Galesong, seorang guru honorer kena keroyok karena menampar siswa yang menghinanya dengan sebutan 'anjing'. (koran harian Fajar, bulan Oktober 2018).

Federasi Sarikat Guru Indonesia (FSGI) merefleksikan masifnya kasus kekerasan di sekolah karena ketidakoptimalan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang digagas Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sekolah menjadi tempat berbahaya bagi warganya. Masalah tersebut berpangkal dari ketidakjelasan aturan mengenai tata tertib. Padahal jika aturan tertulis dikombinasikan kepada semua sivitas sekolah, sanksi tetap bisa diberikan tanpa guru harus merasa khawatir terhadap reaksi siswa.

Salah Siapa Akhirnya Terjadi Kekerasan Terhadap Guru?

Ada beberapa hal yang dapat memicu perilaku negatif siswa yang kerap dijuluki atau dilabeli 'bandel' atau 'nakal' di waktu SD maka akan membentuk konsep diri bahwa dirinya 'bandel' atau 'nakal' di SMP dan SMA. Ada lagi siswa yang mempunyai kecenderungan gangguan emosi. Ia dapat menahan emosinya di waktu-waktu tertentu. Faktor terakhir adalah, apabila siswa teridentifikasi terlalu sensitif, ia sangat peka terhadap perkataan dan perbuatan negatif yang menyinggung dirinya.

*Solusi dalam Daulah Khilafah*

Sederet potret buram kekerasan terhadap guru menjadi bukti kegagalan sistem kapitalisme yang diterapkan, di antaranya sistem pendidikan generasi saat ini. Sistem pendidikan sekuler kapitalis telah menyita sebagian besar waktu dan tenaga siswa untuk mengabaikan aspek pembentukan kepribadian yang kuat. Sekolah sebagai institusi pendidikan alih-alih mencetak generasi yang berkualitas yang memiliki kepribadian yang kuat sesuai dengan tujuan pendidikan, namun menghasilkan generasi yang menciptakan banyak masalah, salah satunya melakukan kekerasan terhadap gurunya.

Potret buram generasi sebenarnya dapat dituntaskan dengan memperbaiki sistem hidup yang mempengaruhi pemahaman dan perilaku generasi. Untuk itu dibutuhkan peran dari berbagai unsur diantaranya; sekolah, keluarga, masyarakat dan negara. Keseluruhannya bertanggung jawab dalam membentuk kepribadian yang dibangun atas nama iman dan takwa. Semuanya harus bersinergi untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan generasi.

Keluarga merupakan institusi pertama dan utama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap generasi. Di sanalah pertama kali dasar-dasar keislaman ditanamkan. Anak dibimbing orang tuanya bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang Pencipta, Allah Swt.

Rasulullah Saw bersabda, "Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah). Ayah dan ibunyalah kelak yang menjadikan dirinya yahudi." (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Daud dan an-Nas'i)

Orang tua wajib mendidik anak-anaknya tentang perilaku dan budi pekerti yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Bagaimana anak diajarkan untuk memilih kalimat-kalimat yang baik, sikap sopan santun, kasih sayang terhadap sesama. Mereka diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan. Dengan begitu, kelak terbentuk pribadi anak yang shalih dan terikat dengan aturan Islam.

Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah para malakat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah atas apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. at-Tahrim:6)

Masyarakat yang menjadi lingkungan anak menjadi aktivitas sosialnya, mempunyai peran besar juga dalam mempengaruhi baik buruknya proses pendidikan. karena anak merupakan satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masarakat. Masyarakat yang terdiri dari sekumpulan orang yang mempunyai pemikiran dan perasaan yang sama, serta interaksi mereka diatur dengan aturan yang sama, tatkala masing-masing memandang betapa pentingnya menjaga suasana kondusif bagi pertumbuhan generasi muda, maka semua orang akan sepakat memandang mana perkara-perkara yang akan membawa pengaruh positif dan mana yang membawa pengaruh negatif bagi pendidikan generasi muda.

Negara wajib mengontrol dan menindak tegas hal-hal yang bisa merusak generasi muda, terutama media yang memberi pengaruh buruk dalam pendidikan dan pembinaan anak.

Peran negara yang seperti itu tidak akan terwujud dalam tatanan sistem yang kapitalis. Hanya negara yang menerapkan Islam secara kaffah-lah yang mampu melaksanakan peran strategis ini. Oleh karena itu, sudah saatnya menghapus potret buram generasi muda dalam tatanan sistem kapitalis ini dengan tatanan terbaik dari Sang Maha Pencipta, Allah Swt. Hanya tatanan Islam dalam institusi khilafah Islamiyah-lah yang mampu menghapus potret buram generasi muda ini menjadi potret cemerlang dan gemilang.

Wallahu a'lam bishawab.
Previous Post Next Post