Sex Education ala Liberal


Oleh: Yuliyati Sambas, S.Pt.
Komunitas Penulis Bela Islam (AMK)


Film Dua Garis Biru yang demikian viral dan menuai pro kontra telah tayang perdana di bioskop di Indonesia pada Kamis (11/7/2019).

Film diperankan Dara (Zara JKT 48) dan Bima (Angga Yunanda).

Bima dan Dara adalah sepasang kekasih yang masih duduk di bangku SMA.
Sampai akhirnya, mereka melanggar batas yang menyebabkan Dara hamil. Bima dan Dara harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat. (Tribunnews.com, 24 Juli 2019)

Menjadi sebuah anugerah ketika kehamilan terjadi pada sepasang lelaki dan wanita yang ada dalam ikatan sah pernikahan. Namun dirasa petaka yang menjerumuskan ketika terjadi pada sepasang kekasih di luar ikatan suci yang dibenarkan syariat.

Sebagian kalangan berkomentar bahwa film tersebut bisa dijadikan sarana sex education yang akan mengajak para muda-mudi yang nota bene sedang dalam masa pubertas untuk menjauhi free sex yang bisa berbuah kehamilan yang tak diinginkan di luar pernikahan.

Jauh panggang dari api, yang ada bukannya akan mengarahkan para generasi masa depan menjauhi seks, yang terjadi justru akan mengenalkan pada remaja terkait stimulus ke arah terbangkitkannya naluri seksual mengarah pada nafsu di luar kendali.

Bagaimana tidak, yang memerankan filmnya artis cantik dan pemuda ganteng. Mereka berlagak bak pasangan yang senantiasa melakukan aktivitas kedekatannya atas nama cinta. Namun mereka tak menyadari bahkan terbutakan bahwa justru petaka menunggu di belakang mereka ketika selangkah demi selangkah dosa dikecap.

Hal ini menjadi sebuah keniscayaan karena habitat hidup kita berada pada sistem kapitalisme yang mengedepankan budaya kebebasan di segala lini kehidupannya. Kebebasan berperilaku dan berekspresi salah satunya. Seolah ada ungkapan "mumpung muda kasihlah kesempatan seluas-luasnya kepada remaja untuk merasai indahnya masa muda, jangan banyak dikekang". Maka tak heran ketika pemikiran ini telah meracuni diri kaum tua (para orang tua) mereka akan memberi ijin  (= kebebasan yang kebablasan) kepada anak remajanya untuk berpacaran, mengekpresikan keinginan hatta nafsu hewani yang alamiah melekat pada setiap diri (di saat tidak mendapatkan benteng aturan agama).

Ditambah dengan iklim sekuler yang ada menjadikan tiap individu meski berpikir agama namun mereka hanya menjadikannya sebagai ranah aturan dalam beribadah secara ubudiyah kepada Allah SWT saja, sementara kehidupan, gaya hidup, norma dan keseharian mereka bebaskan untuk mencari pelampiasan sesuai dengan keinginan pribadi.

Padahal sejatinya bahwa manusia itu hidup mesti mengikuti tata aturan yang jelas agar terarah. Bukannya bebas ala liberalis demokratis sebagaimana yang digaungkan di tengah umat saat ini. Aturan dari Sang Maha Pencipta-lah yang jelas-jelas sudah pasti kebenarannya.

Adapun terkait sex education versi Islam adalah edukasi yang paling indah, sopan, dengan tanpa kehilangan makna pendidikannya. Edukasi yang didasarkan pada Wahyu Sang Khaliq, Yang Maha Mengetahui hakikat baik dan buruk.

Dimulai sejak dini, dari ketika anak sudah mulai bisa diajak berkomunikasi secara verbal. Anak dikenalkan dengan perbedaan jenis kelamin, dipisahkan ranjang dan selimut untuk masing-masing individu sekalipun sama jenis. Lebih jauh bahwa masing-masing diajarkan memiliki batasan aurat yang wajib untuk ditutupi. Ada juga perintah untuk menghindari campur baurnya antara lelaki dan wanita yang bukan mahram (ikhtilat), juga larangan untuk berduaan menyepi diantara pria wanita asing (khalwat). Jika pun sudah masuk usia baligh dengan segala naluri seksual (gharizah an-nau) yang melekat maka kewajiban buat tiap diri senantiasa menjaga kehormatan dengan menundukkan pandangan jika bertemu dengan yang lain.

Dari semua aturan Islam yang demikian rinci dan terarah tersebut menjadikan para remaja akan disibukkan baik dari sisi pemikiran dan aktivitas fisiknya hanya untuk perkara kebaikan: meraih prestasi di masa muda, mempelajari sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan dan teknologi yang nantinya dibutuhkan untuk menjalani kehidupan di masa mendatang, serta memiliki luang waktu yang banyak untuk menggali tsaqafah Islam yang kelak dibutuhkan untuk mamandu kehidupannya dunia hingga akhirat.

Maka hanya dengan penerapan Islamlah umat secara keseluruhan dapat menjalani kehidupan dengan mulia, termasuk diantaranya para remaja. Bukan dengan menjalani kehidupan ala Barat dengan prinsip liberalisme dan sekularismenya. 

Tentu untuk mengkonter semua ini dibutuhkan berbagai pihak yang saling bersinergis: individu masyarakat, keluarga, lingkungan sekolah, dan negara sebagai pembuat kebijakan yang akan menerapkan aturan-aturan Islam terjalankan dengan sempurna (kaffah).

Wallahu a'lam bi ash-shawab
Previous Post Next Post