Kekeringan dan Krisis Air Bersih Bukan Sekedar Fenomena

Oleh : Dr. Marini Wijayanti, S.Si., M.Si (Dosen UNSRI)

Kepala Bidang Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Djatmiko menyebut musim kemarau tahun ini diprediksi akan lebih kering, dan terasa panas terik dari pada tahun sebelumnya. Ia mengatakan salah satu faktor penyebab kekeringan itu adalah akibat fenomena El Nino. El Nino merupakan fenomena memanasnya suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur. 

Dampak dari El Nino yang terjadi di sejumlah daerah Indonesia adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan. Fenomena El Nino bersamaan dengan musim kemarau sehingga dampak yang dirasakan adalah kemaraunya menjadi lebih kering dibanding tahun 2018. Namun, Hary menyatakan kekeringan yang diprediksi tahun ini tak terjadi seperti pada 2015 silam. Pada 2015 lalu, El Nino bergerak dari lemah hingga kuat sehingga membuat musim kemarau panjang. Sementara tahun ini, sambungnya, fenomena El Nino terindikasi dalam kategori lemah hingga tujuh bulan ke depan. Perkembangan musim kemarau yang ada di Indonesia, daerah atau luasan wilayah indonesia yang sudah memasuki musim kemarau sekitar 37-38 persen berarti sisanya masih hujan (BMKG, 2019). 

Menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB, Dr. Sutopo Purwo Nugroho (Alm.), bahwa bertambahnya jumlah penduduk otomatis kebutuhan air makin meningkat. Ironisnya kerusakan daerah aliran sungai, degradasi lingkungan, makin berkurangnya kawasan resapan air, tingginya tingkat pencemaran air, rendahnya budaya sadar lingkungan dan masalah lainnya juga menyebabkan pasokan air makin berkurang. Daya dukung lahan telah terlampaui sehingga pengelolaan sumber daya air menjadi lebih rumit. Kekeringan selalu berulang setiap tahun. 

Karena itu, perlu upaya yang terpadu dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah darurat kekeringan dan krisis air yang melanda sejumlah wilayah tersebut. Upaya jangka pendek adalah bagaimana memenuhi kebutuhan air saat musim kemarau hingga memasuki musim penghujan nanti. Upaya yang dilakukan pemerintah dan pemda adalah droping air bersih melalui tangki air. Namun demikian, upaya jangka panjang juga harus dilakukan dengan peningkatan dan perbaikan kualitas lingkungan, reboisasi dan penghijauan, pengelolaan DAS terpadu,pembangunan bendung dan waduk, revitalisasi embung dan saluran irigasi, dan konservasi tanah dan air. Upaya yang keberlanjutan dalam penanganan kekeringan melalui berbagai program ini perlu dukungan semua pihak, bahkan harus menjadi gerakan bersama. Jika tidak, maka Indonesia tidak akan pernah bebas dari darurat kekeringan dan krisis air bersih yang tiap tahun selalu menjadi ancaman yang menakutkan (Azis, 13 September 2017).

Pada tahun 2015 Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan seluruh isi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) karena kentalnya penguasaan sumber daya air dan swastanisasinsehingga membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pengelolaan air yang merugikan rakyat. Masalah pengelolaan air telah diatur dalam konstitusi yakni UUD 1945 pada Pasal 33 Ayat (3) yang berbunyi, ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat”. 

Dengan demikian, memberikan ruang yang lebih besar kepada pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menjalankan amanat konstitusi. Sesuai dengan amanat konstitusi, mengharuskan PDAM diposisikan sebagai unit operasional negara dalam merealisasikan air sebagai barang yang ”dikuasai negara”. PDAM juga bukan sebagai perusahaan yang berorientasi pada keuntungan secara ekonomis, tetapi harus memperhatikan fungsi sosial dan keadilan. Komersialisasi air memerlukan persyaratan pengusahaan sumber daya air yang harus diatur ketat yakni perlunya keterbukaan informasi dan konsultasi publik atas rencana pengusahaan sumber daya air (Rofiq, 9 Maret 2015). Pada kenyataannya, privatisasi PDAM tetap terjadi, contohnya Mahkamah Agung (MA) pada akhir November 2018 telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait kebijakan swastanisasi air di Jakarta. 

Putusan PK mahkamah tersebut pada intinya membolehkan privatisasi air di Ibu Kota. Akan tetapi, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air tetap mendesak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghentikan kebijakan swastanisasi air yang sudah berlangsung sejak Juni 1997. Menurut mereka, putusan MA itu dinilai tidak memengaruhi wewenang Anies untuk memutuskan kerja sama antara Perusahaan Daerah PAM Jaya dengan dua perusahaan swasta yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra). Swastanisasi pun berkembang dan berlanjut hingga sekarang meskipun dengan syarat yang lebih ketat (Mulia, 2019). 

Salah satu imbasnya adalah perizinan mendirikan perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang relatif mudah, akhirnya mendorong berdirinya ratusan perusahaan air minum dalam kemasan di negeri ini. Eksploitasi air oleh perusahaan AMDK menimbulkan bahaya yang sangat mengerikan dan mengancam kehidupan masyarakat negeri ini. Hal ini karena perusahaan air minum dalam kemasan melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber air bersih yang dimiliki masyarakat. Perusahaan air minum dalam kemasan berlomba-lomba mengeksploitasi sumber-sumber air yang masih tersisa, menghancurkan mata air pegunungan (akibat pengeboran kantong aquifier di bawahnya). 

Hasilnya, sumur, sawah dan sumber-sumber air bersih masyarakat yang melimpah menjadi kering kerontang. Hal inilah yang dirasakan oleh penduduk yang tinggal di kaki gunung Salak dan daerah-daerah lainnya yang sebelumnya hidup di tengah melimpahnya sumber air yang ada di lingkungan mereka, namun sejak berdiri perusahaan-perusahaan AMDK di lingkungan tersebut, mereka mengalami krisis air yang luar biasa (Susrini, 2013). 

Pengelolaan Sumber Daya Air Dalam Islam

Islam memandang bahwa air diposisikan sebagai harta milik umum, bukan sebagai barang komersial, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya: ”Kaum muslimin itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api”. (HR Abu Daud). Inilah paradigma pengelolaan sumber daya air dalam Islam. Konsekuensinya, penguasa tidak memiliki hak sedikitpun untuk mengambil sumber air dan menyerahkan pada individu tertentu. Penguasa hanya diberikan tanggung jawab dan kewenangan mengelolanya agar terpenuhi kebutuhan air bersih bagi seluruh masyarakat. 

Berdasarkan paradigma tersebut, maka Islam tidak akan membiarkan sumber daya air dan pengelolaan industri air bersih perpipaan dikuasai oleh korporat-korporat swasta maupun negara asing karena itu dapat mengarah pada salah satu bentuk penjajahan asing atas negara. Islam juga melarang keras untuk membiayai pembangunan sumber daya air melalui hutang yang mengakibatkan negara terjajah. Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an surat An-Nisa ayat 141 yang artinya,”…Allah SWT sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin”. 

Islam memandang bahwa penguasa berhak untuk ‘memagari’ lahan-lahan konservasi yang merupakan tempat cadangan air tanah dan wajib memulihkan fungsi-fungsi sumberdaya air yang telah rusak sekaligus memelihara dan menjaga agar tidak rusak (An Nabhani. T. An-Nizhomul Iqtishody fil Islam. Darul Ummah. Beirut. 2004). Islam juga memandang air sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat yang harus dapat diakses dengan mudah oleh tiap individu masyarakat. Sehingga industri air bersih perpipaan harus dikelola secara efektif dan efisien oleh negara sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan individu masyarakat. Untuk itu maka negara harus memanfaatkan berbagai kemajuan sains dan teknologi dan memberdayakan para pakar terkait. 

Pengaturan masalah sumber daya air adalah salah satu kebijakan Islam yang terintegrasi dengan sistem aturan lainnya berlandaskan syariat Islam. Sumber-sumber pemasukan negara dan pos-pos pengeluarannya telah diatur sedemikian rupa sehingga mampu membiayai dan menyejahterakan masyarakat. Sistem inilah yang dikenal dengan Daulah Khilafah Islamiyyah yang telah terbukti dalam sejarah mampu memberikan keamanan dan kesejahteraan kepada rakyatnya selama 13 abad abad lamanya (Susrini, 2013).


Referensi:
1. Azis, A. 2017. https://tirto.id/indonesia-darurat-kekeringan-dan-krisis-air-bersih-cwtr
2. Rofiq, A. 2015. Revisi UU tentang Sumber Daya Air. https://nasional.sindonews.com/read/973808/18/revisi-uu-tentang-sumber-daya-air-1425867564
3. Susrini, R. 2013. Krisis Air Buah Kapitalisasi Pelayanan Air Bersih (Catatan Terkait Hari Air Sedunia 2013). https://www.globalmuslim.web.id/2013/04/krisis-air-buah-kapitalisasi-pelayanan.html
4. Mulia, WC. 2019. Tolak Putusan PK, Masyarakat Tetap Desak Anies Setop Privatisasi Air, Minggu, 10 Februari 2019 - 22:11 WIB
5. BMKG, 2019. BMKG Prediksi Musim Kemarau 2019 Lebih Kering dari Tahun Lalu https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190704105626-20-408974/bmkg-prediksi-musim-kemarau-2019-lebih-kering-dari-tahun-lalu
Previous Post Next Post