Kebebasan Hakiki dalam Syariat

Oleh : Uqie Naima
(Akademi Menulis Kreatif4)

"Katakanlah olehmu tentang kebenaran walaupun pahit terasa.."  (al Hadits).
Aturan negeri ini memanglah membingungkan. Katanya rakyat diperhatikan haknya, katanya dilindungi undang-undang hajat hidup orang banyak, diberikan kebebasan berbicara, berperilaku, beragama dan bebas dalam kepemilikan. Namun beberapa tahun ini, jauh sebelum pesta demokrasi April 2019 berlangsung, upaya-upaya masyarakat untuk mengkritisi penguasa atas kebijakannya menjadi buah simalakama.

Perlakuan yang mengarah kepada pembungkaman semakin hari semakin nyata. Penguasa seolah enggan direpotkan dengan berbagai gugatan masyarakat karena kecewa dengan kepemimpinannya. Tak perduli saat ratusan guru honorer menuntut keadilan di depan Istana Negara, meradang saat aksi umat “212” diadakan di Monas dan sekitarnya. Bahkan menyasar ulama-ulama yang bersebrangan dengan penguasa. Isu-isu dihembuskan, bahwa tuntutan rakyat itu bentuk anarkisme, mengarah kepada perpecahan dan penggulingan rezim. Parahnya lagi oknum aparat kepolisian yang sejatinya menjadi pelayan masyarakat, mengamankan dan melindungi umat tampak tebang pilih. Dukungan dan perlindungannya hanya untuk rezim yang bertahta. Dengan lantangnya menyuarakan siap melawan dan tembak ditempat bagi siapa saja yang beraksi, merangsek masuk ke istana negara. Jadilah aparat pemerintah menjadi musuh umat. Rakyat terus dibuat kecewa dengan sikap pemimpin dan bawahannya.

Kekecewaan tersebut semakin bertambah manakala aturan pemerintah begitu mudah menjerat warga negara RI dengan UU karet plus pasal karetnya. Rakyat tidak boleh nyinyir, tidak boleh kritis, tidak boleh menghujat, tidak boleh menolak keputusan apapun yang keluar dari pemimpin negeri ini. Terlebih lagi saat rakyat disodorkan fakta ketidakadilan dalam sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal gugatan kecurangan dalam pilpres lalu. Bukan soal menang kalah pasangan yang didukungnya, tapi kesan ketidakberpihakan MK pada keadilan kadung menempel dibenak umat.

Demokrasi yang dielu-elukan sepertinya menjadi jalan sempit nan terjal bagi suara-suara keadilan. Suara-suara orang tersakiti dan terzholimi, suara-suara yang bercita-cita mendapatkan perhatian agar hidup mereka lebih baik dan sejahtera, berharap aturannya dan sistemnya diganti, kini coba dibungkam dengan segala cara. Pasalnya, suara-suara itu bersebrangan dengan visi dan misi penguasa yang ada. Hal ini sangat berbeda dengan Islam,  Allah SWT senantiasa memerintahkan hambaNya yang mukmin untuk amar makruf nahyi munkar melalui dakwah individu maupun kelompok. Apakah objek dakwahnya individu, masyarakat ataukah penguasa, dia muslim maupun non muslim, semuanya berhak mendapatkan seruan. Terlepas seruan itu diterima ataukah ditolak tidak menjadi sebab dakwah terhenti, karena memang tidak ada batas minimal dan maksimal.

"Serulah olehmu (Muhammad) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan dengan pengajaran yang baik.... " (TQS. An Nahl : 125).
"Dan hendaklah ada diantara kalian (umat) menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Itulah mereka orang-orang yang beruntung" (TQS. Ali Imron : 104).

Kritik terhadap penguasa terkadang juga harus dilakukan secara terang-terangan manakala kezholimannya semakin nyata membahayakan umat, dan hal ini  merupakan seutama-utama jihad. Rasulullah Saw bersabda :
“Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) kepada penguasa yang zhalim.” (HR Abu Dawud 4346, Tirmidzi No 2265 dan Ibnu Majah No 4011).

Lalu bagaimana jadinya ketika kewajiban itu dipersulit dengan praktik yang disebut pembungkaman ? 

Seorang mukmin akan memahami pentingnya menjalankan kewajiban, terlebih kewajiban atas dasar perintah Allah. Tak ada perjuangan tanpa pengorbanan, tak ada jalan tanpa kerikil dan duri tajam. Sesungguhnya setiap kesulitan akan diiringi kemudahan (QS. Al Insyirah [94] : 5-6).

Kondisi saat ini, ditengah sistem buatan manusia, membuat kerinduan terhadap sistem Islam semakin membara. Gambaran keagungan Islam dalam riayah pemimpin penerap syariah melalui shirah nabawi dan tarikh khulafa seolah ril dipelupuk mata.  Inilah sistem yang shahih sekaligus menjadi solusi hakiki permasalahan tak berujung.  

Syariah Islam memberikan arahan kepada siapa saja yang diangkat menjadi pemimpin, ia  harus menerapkan aturan Islam dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pemimpin harus betul-betul menjadi junnah (pelindung) sekaligus menjaga agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak umat, baik muslim maupun non muslim selama ia termasuk warga negara ataupun dalam perlindungan negara. Pemimpin hakiki akan berupaya  tidak menzholimi rakyatnya dengan berbagai tindakan preventif. Sekiranya harus dikenakan sanksi, maka itu berdampak jera dan juga penebus dosa (jawazir dan jawabir). Pelakunya menjadi jera dan terlepas dari tuntutan dosa dihadapan Allah kelak. Begitulah kritik dalam syariat Islam, bukan dilandasi kebencian tapi karena sayang satu sama lain. Antara umat dengan umat, antara umat dengan penguasa atau sebaliknya ada dalam koridor syara'.
Wallahu a'lam bi ash Shawab.
Previous Post Next Post