Impor Tiadatara, Guru Sengsara di Negeri Sendiri

Oleh : Wulan Amalia Putri, SST 
(Staf Dinas Sosial Kab. Kolaka)

Berbagai tanggapan mewarnai wacana “impor” guru asing yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani. Meskipun kemudian kembali diluruskan oleh Menteri pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Efendi. Menurut Mendikbud, yang dimaksud Menko Puan bukan “mengimpor’ melainkan “mengundang” guru atau instruktur luar negeri untuk program Training of Trainer. "Salah satu pertimbangan Menko PMK Puan Maharani dengan mendatangkan instruktur atau guru dari luar negeri untuk meningkatkan kemahiran instruktur atau guru Indonesia. Juga bisa lebih efisien dari pada mengirim instruktur atau guru Indonesia ke luar negeri," ujar Mendikbud di Jakarta, Minggu (12/5/2019). 

Impor Guru Asing Menuai Kritik 
Meskipun wacana “impor” guru telah coba dijelaskan oleh Mendikbud, namun reaksi keras dari sejumlah organisasi guru terus bergulir. Salah satunya oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI). Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim mengatakan, rencana “impor” guru yang disampaikan Puan sangat tidak masuk akal. Apalagi jika melihat pada terjadinya Surplus lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) saat ini, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 300.000 lulusan setiap tahun. "Padahal kebutuhan guru kita setahun hanya 40.000 guru, sementara lulusan pendidikan guru 300ribu guru per tahun. Surplus, tapi ini kita malah mau 'impor' guru, sungguh mengerikan dan mengherankan," tegas Ramli di Jakarta, Sabtu, 11 Mei 2019. (medcom.id/ 11 Mei 2019)
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga memberikan catatan kritis menanggapi wacana “impor” guru ini. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) kebanjiran keluhan dari anggotanya, guru-guru di seluruh Indonesia. Menanggapi keluhan tersebut, FSGI menyampaikan 4 (empat) catatan kritis. Pertama, FSGI meminta Menko PMK memaparkan lebih detail bagaimana status guru luar negeri tersebut, apakah sekadar pelatih guru atau menjadi guru tetap di Indonesia. Kedua, jika alasannya adalah nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) secara nasional yang masih rendah, yakni di sekitar angka 67,00 (dari skala 100) pada 2017, maka seharusnya sudah menjadi kewajiban pemerintah memberdayakan dan melatih guru-guru di dalam negeri. Ketiga, FSGI menilai jika impor guru ini benar-benar terjadi, kebijakan tersebut merupakan bentuk keputusasaan pemerintah dalam melatih dan memberdayakan guru. Dan keempat,  SGI mengaku memahami jika persoalan pendidikan di Tanah Air masih menumpuk. Namun menurut Satriwan, persoalan masih rendahnya kualitas pendidikan, solusinya bukan dengan mengimpor guru.

Tanggapan kritis ini memang beralasan. Sebab, jika melihat pada jumlah guru dan lulusan LPTK, jumlah guru cukup banyak, bahkan surplus. Berdasarkan data kemenristekdikti 2013, jumlah LPTK yang notabene “pabrik guru” mencapai 429 lembaga, terdiri dari 46 LPTK negeri dan 383 LPTK swasta. Jumlah mahasiswa keseluruhannya mencapai 1.440.770 orang. Rata-rata lulusan LPTK diperkirakan berjumlah 300.000 (tiga ratus ribu) lulusan tiap tahun, sementara kebutuhan guru hanya 40.000 (empat puluh ribu) guru per tahun. Diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi ledakan jumlah lulusan LPTK.

Melihat data di atas, kebijakan impor guru memang tidak tepat. Alasan selanjutnya adalah bahwa negara juga telah memberikan suntikan dana yang tidak kecil bagi LPTK. Jumlah LPTK juga tidak sedikit. Kemendikbud sendiri memiliki 14 P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan), termasuk LP2KS (Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah) dan 34 LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) yang merupakan mantan Balai Pelatihan Guru (BPG). Jadi, begitu banyak lembaga dan anggaran yang dikeluarkan, kebijakan impor guru sangat tidak realistis.

Jika pun bukan impor guru asing, melainkan mengundang guru asing, maka hal ini pun harus diperjelas. Memang, sasaran utama mengundang guru asing adalah untuk peningkatan pembelajaran vokasi di SMK juga pemeblajaran science, technology, engineering dan mathematics (STEM). Namun, bukankah telah dilakukan pengiriman guru ke luar negeri untuk kursusu jangka pendek? Mendikbud bahkan berharap bawa program pengiriman guru ini terus berlajut setelah dikirim sebanyak 1.200 guru ke luar negeri. Sehingga target pengiriman guru kursus ke luar negeri sebanyak 7.000 guru tahun ini bisa tercapai," kata Mendikbud lagi. (tirto.id, 12/05/2019).

Lalu apa yang guru-guru harapkan? Perbaikan sistem kurikulum belajar mengajar, melatih guru berkompeten dan berkualitas sebagai tenaga pendidik, peningkatan dan kelengkapan standar sarana dan prasarana sekoleh, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan bagi guru (termasuk guru honorer) dan alokasi anggaran pendidikan di level pemerintah daerah untuk pelatihan guru berkualitas adlah sederet harapan para guru. Bukan impor guru Asing. 

Islam Punya Solusi
Masalah guru bukanlah masalah yang baru terjadi hari ini. Islam telah memberikan pembelajaran dari kisah historis para Khalifah. Hal ini didasari oleh hadis Rasulullah dan tindakan Rasululah SAW dalam mengurusi masalah Pendidikan di masa hidupnya. “Seorang Imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim), adalah hadis yang menjadi landasan akan kewajiban pemerintah untuk mengurusi segala urusan masyarakat, termasuk masalah pendidikan.

Negara berkewajiban mengatur segala aspek berkenaan dengan sistem pendidikan, bukan hanya persoalan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Keseriusan Rasululah dalam masalah ketersediaan guru nampak saat beliau menetapkan agar para tawanan perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Menurut hukum Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Maal (kas negara).

Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam menjelaskan bahwa seorang kepala negara berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat.“Barangsiapa yang diserahi tugas pekerjaan dalam keadaan tidak memiliki rumah maka hendaklah ia mendapatkan rumah. Jika ia tidak memiliki isteri maka hendaklah ia menikah. Jika ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mendapatkannya. Bila ia tidak memiliki hewan tunggangan hendaklah ia memilikinya. Dan barang siapa yang mendapatkan selain itu maka ia telah melakukan kecurangan” .Haditsini memberikan hak kepada pegawai negeri (pejabat pemerintahan) untuk memperoleh gaji dan fasilitas, baik perumahan, isteri, pembantu, ataupun alat transportasi. Semua harus disiapkan oleh negara. 

Sebagai perbandingan, Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar ( 1 dinar = 4,25 gram emas) (sekitar 29 juta rupiah dengan kurs sekarang). Begitu pula ternyata perhatian para khalifah bukan hanya tertuju pada gaji para pendidik  dan biaya sekolah, tetapi juga sarana lainnya, seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja’far bin Muhammad (wafat 940M) yang sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan kepada para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberikan pinjaman buku secara teratur. 

Seorang ulama Yaqut Ar Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya. 

Berdasarkan sirah Nabi saw. dan tarikh Daulah Khilafah Islam (lihat Al Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban negara yang diambil dari kas Baitul maal (kas negara). Sistem pendidikan bebas biaya tersebut berdasarkan ijma’ shahabat yang memberi gaji kepada para pendidik dari baitul maal dengan jumlah tertentu. Contoh praktisnya adalah Madrasah Al Muntashiriah yang didirikan Khalifah Al Muntahsir di kota Baghdad. Pada Sekolah inisetiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar. Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian. Begitu pula dengan  Madrasah An Nuriah di damaskus yang didirikan pada abad keenam hijriyah oleh khalifah Sultan Nuruddin Muhammad zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi. 

Alhasil, apa yang dibangun dan pelayanan yang diberikan pada masa Islam sangatlah berkualitas tinggi. Karena itu, tidak heran jika kualitas ilmuwan yang lahir di massa Islam pun tidak bisa diragukan oleh kalangan manapun. Melihat betapa memadainya fasilitas sarana prasarana, kurikulum serta gaji guru pada masa Islam, tidak salah kiranya jika kita menjadikannya sebagai teladan dalam aplikasi penerapan Sistem pendidikan. Pemikiran manusia berbatas, namun berkah serta hikmah dari aturan Allah mampu menembus ruang dan waktu. Wallahu a’lam Bishawwab. 
Previous Post Next Post