Perihnya Harga Bawang Merah



Oleh: Novia Roziah
 ( Blogger)

Di era 90-an terdapat kisah rakyat yang cukup masyhur. Kisah bawang merah dan bawang putih. Kedua tokoh utama ini digambarkan sebagai kakak beradik yang tinggal di sebuah desa yang terpencil. Bawang merah merupakan tokoh antagonis, yang selalu menindas bawang putih. Si bawang merah selalu diliputi iri hati, sehingga tak pernah sehari pun dia lupa untuk menindas dan menyakiti bawang putih. Setiap mendengar kisah itu diperdengarkan di radio-radio, sontak pendengar dibuat sedih, marah dan  gemas akan sikap bawang merah

Tapi, kali ini berbeda. Bawang merah tetap membuat masyarakat gerah dan gemas. Namun, bukan karena sikap antagonisnya, melainkan karena harganya  yang melonjak drastis akhir- akhir ini. Tidak hanya bawang merah, mayoritas harga kebutuhan pangan menanjak. Kenaikan tertinggi terjadi pada harga bawang merah sebesar 5,92 persen perkilogram (kg) menjadi Rp35.800,00 (25/3/2019) CNNIndonesia

Selain bawang merah, bawang putih juga mengalami kenaikan, sebesar 2,23 persen. Harga cabai merah besar naik 4,03 persen. Lalu harga cabai merah keriting naik 2,14 persen. Kenaikan bahan pangan Ini akan berdampak pada kenaikan bahan-bahan serta jasa yang lain.

Korban Pertama

Dengan kenaikan harga ini, kalangan yang akan mendapat dampak pertama kali adalah rumah tangga. Banyak Emak yang akan mengeluhkan betapa sulitnya mengelola uang belanja, karena harga-harga kebutuhan dapur hampir semua meroket.

Bisa saja, masakan yang tersaji di meja makan akan berkurang baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Bayangkan saja. Di Indonesia, bawang merah, bawang putih, cabai sudah menjadi seperti bahan pokok yang harus selalu ada di setiap dapur warganya. Ketika harganya meroket, bukan tidak mungkin jika masyarakat tidak mampu membeli dan akhirnya, kesulitan untuk mengolah makanannya.

Dari sini akan memicu permasalahan yang lain. Kenaikan harga bahan pangan, akan membuat para Emak mengalami stress. Stress yang terjadi sebenarnya bukan karena satu sebab ini saja, tapi efek domino dari kenaikan bahan pangan ini, akan mempengaruhi kestabilan rumah tangga. 

Jangan heran, jika ada rumah tangga yang mengalami cekcok hanya karena masalah sepele. Misalnya kurang uang belanja. Para suami, sudah bekerja keras seharian, tapi yang mereka dapatkan tidak signifikan. Sedangkan di sisi lain, pemerintah dengan begitu mudahnya menaikkan harga-harga bahan pangan rakyatnya. Yang pasti perilaku pemerintah ini akan berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa yang lain. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi.

Seharusnya pemerintah bersungguh-sungguh untuk mengurus dapur setiap keluarga rakyatnya. Kenaikan harga yang tidak diimbangi dengan kebijakan yang lainnya, misalnya perbaikan UMR tentu akan menghadirkan gejolak ditengah-tengah masyarakat.

Pandangan Islam Dalam Kenaikan Harga

Secara individual, ketika harga-harga mengalami kenaikan, sebagai  seorang muslim tidak boleh terguncang jiwanya. Keyakinan bahwa Allah yang memberi rizki dan menentukan segala sesuatu tidak boleh hilang. Itu dari sisi sikap individu terhadap rizki. Namun, dari sisi hukum syariat manusia diwajibkan untuk mengatasinya. Bukan berpangku tangan dan diam saja melihat kenaikan harga.

Islam telah memberikan solusi bagaimana mengatasi kenaikan harga tersebut. Jika melambungnya harga karena faktor “alami” yang menyebabkan kelangkaan barang, maka disamping kita dituntut untuk bersabar, Islam juga mewajibkan negara untuk mengatasi kelangkaan tersebut dengan mencari suplay dari daerah lain.

Pada akhir tahun 17 H, di Madinah terjadi musim paceklik parah yang dikenal dengan sebutan ‘am ramadah. Khalifah Umar ra mengirim surat kepada Amru bin Al Ash, gubernur Mesir yang isinya:
“Dari hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, kepada Amru bin Al Ash: salaamun ‘alaik ba’du, demi umurku wahai Amru tidakkah engkau peduli jika engkau dan orang yang bersamamu kenyang, sementara aku dan orang yang bersamaku binasa (karena kelaparan), (kirimkanlah) bantuan!”
Kemudian Amru bin Al Ash membalas surat tersebut:
“Kepada hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, dari hamba Allah, Amru bin Al Ash, amma ba’du, aku penuhi seruan engkau, aku penuhi, sungguh telah kukirim kepadamu unta-unta (dengan muatan makanan diatasnya), yang awal rombongannya akan sampai kepada engkau, sementara ujung rombongannya masih ada di tempatku, waasalamu ‘alaika wa rahmatullah” (Imam As Suyuthi(w.911 H), Husnul Muhadharah fi Tarikh wal Qahirah, 1/156. Maktabah Syamilah)

Jika seluruh wilayah dalam negeri mengalami hal yang sama, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor yang tentunya sambil memperhatikan kondisi dalam negeri.

Akan tetapi, jika melambungnya harga dikarenakan pelanggaran hukum syara’, maka penguasa harus mengatasi hal tersebut. Rasulullah Saw sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan ‘inspeksi’ agar tidak terjadi penipuan harga maupun penipuan barang/alat tukar, beliau juga melarang penimbunan. Bahkan khalifah Umar, melarang orang yang tidak mengerti fikih untuk melakukan bisnis. Para pebisnis secara berkala diuji apakah mengerti hukum syara terkait bisnis atau tidak. Jika tidak faham, maka dia dilarang untuk berbisnis. Hal ini dilakukan, karena jika terjadi kemaksiatan ekonomi, maka akan mengganggu stabilitas perekonomian.

Jika yang melakukan kemaksiatan justru adalah penguasa (dengan mengabaikan hukum syara’) maka masyarakatlah yang harus mengambil peran untuk meluruskan hal itu. Ketika khalifah Muawiyah berkhotbah pasca pencabutan subsidi kepada masyarakat, dan beliau berkata di atas mimbarnya “Dengarlah oleh kalian dan taatilah”, mendengar hal itu maka berdirilah Abu Muslim seraya berkata;”Tidak (wajib) mendengar dan ta’at hai Muawiyah” Muawiyah bertanya, “Mengapa hai Abu Muslim? ” 
Maka Abu Muslim menjawab, “Bagaimana engkau bisa menyetop subsidi, padahal dia bukan hasil kerja engkau, bukan hasil kerja bapakmu, bukan pula hasil kerja ibumu?” Akhirnya Muawiyah sadar dan tidak jadi menghentikan subsidi tersebut (Mawaridudh Dham’an Li Durusiz Zaman, 4/117).

Begitulah Islam mengatasi kenaikan harga. Tentunya semua akan terlaksana jika ditopang oleh penerapan syariat Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafah 'ala Minhajjin Nubuwwah. Baik oleh individu maupun negara. Hingga terwujudlah rahmatan  lil 'alamin.

Wallahua’alam bisshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post