Menyudahi Pemilu Rasa Bencana


Oleh : Ayin Harlis 
Narasumber Kajian Muslimah MQ Lovers Bekasi

Dua ratus tujuh puluh dua jiwa petugas KPPS melayang. Diduga kelelahan menghitung suara hasil pemilu 17 April lalu menjadi penyebab sakit dan meninggalnya para petugas KPPS tersebut. Hampir merata, petugas KPPS yang meninggal berasal dari 19 provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. (news.detik.com, 27/04/2019)

Belum tuntas para petugas KPU menghitung suara rakyat, kedua pasangan calon telah mendeklarasikan kemenangan masing-masing. Tim Kampanye Nasional paslon Joko Widodo – Ma’ruf Amin telah mendeklarasikan kemenangannya hari Jumat, 19 April lalu. Mereka mengklaim kemenangannya berdasarkan quick count beberapa lembaga survey independen yang telah diumumkan ke publik.

Sementara itu, paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tak tinggal diam merespon klaim kemenangan kubu rival. Badan Pemenangan Nasional mendeklarasikan kemenangannya berdasarkan data hasil perhitungan real count internal. Tak tanggung-tanggung, menurut hasil perhitungan tersebut, paslon nomor urut 02 ini unggul 62% (news.detik.com, 22 April 2019)

Media sosial seperti biasa menciptakan opini baru dengan hastag #KPUjangancurang. Opini viral ini diawali unggahan video dan gambar yang menunjukkan perbedaan data yang terpublikasi di situs KPU dengan dokumentasi C1. Kecurigaan KPU tidak netral menyeruak, sementara hasil perhitungan resmi baru akan diumumkan tanggal 22 Mei mendatang.


Catatan Pemilu dalam Demokrasi

Demokrasi mengusung sebuah konsep vox populi vox dei. Suara rakyat suara Tuhan. Kekuasaan di tangan rakyat. Demokrasi menempatkan rakyatlah yang menentukan siapa pemimpinnya dan kebijakan apa yang diterapkannya.

Demokrasi menghadapi tantangan zaman saat wilayah suatu negara sangat luas. Jumlah penduduk ratusan juta. Sebagai solusinya, demokrasi mempersilakan rakyat menitipkan suaranya kepada wakil yang mereka percaya untuk membuat undang-undang bersama kepala negara yang akan mereka pilih juga.  

Ditetapkanlah wakil-wakil untuk setiap dapil-dapil serta tingkatan daerah. Tak heran kertas suara pemilihan anggota legislatif macamnya ada empat untuk DPRD Tingkat II, DPRD Tingkat I, DPR, DPD. Belum lagi calonnya ada beberapa. Untuk memuat foto mereka semua butuh kertas suara yang lebar tentunya. Untuk membuka dan melipatnya lagi butuh waktu lebih lama dari kertas biasa. Itu belum untuk menghitungnya, tentu dibuka dan dilipat lagi. 

Tak berhenti sampai di situ, demokrasi harus menjawab bagaimana jika rakyat tak mempercayai wakilnya? Ide pemilihan langsung lahir dari syak wasangka ini. Pilpres dan pilkada menjadi ajang uji coba. Pemilihan anggota legislatif langsung pilih nama, bukan partainya. Karena memilih nama, strategi kampanye pencitraan kader unggulan menggejala. Meskipun kader lainnya nyata akhlaknya durjana, partai membiarkan saja. Tinggal memecatnya kalau sudah masuk kolom berita.

Ratusan juta yang punya hak suara itu tersebar seantero nusantara. Hingga di pulau terluar dan daerah perbatasan sana. Atau di puncak gunung yang kalau mau kesana hanya bisa jalan kaki saja. Jangan tanya soal sinyal dan teknologi digital. Tidak ada. Walhasil teknologi manual masih diandalkan. Logistiknya digotong, kardus suaranya dipikul. Kalau suara mereka diabaikan, katanya melanggar kesetaraan. Bukankah mereka rakyat juga yang berarti suaranya suara tuhan juga?

Pasca pelaksanaan pemilu, rakyat memasuki masa harap-harap cemas yang panjang. Karena manual, waktu penghitungan hasil pemilu menjadi lama. Kalah jauh dengan kecepatan quick count. Sementara sebagai sebuah metodologi ilmiah statistik, quick count tak bebas dari salah. Masa penantian panjang ini, rawan siasat kecurangan, strategi penggiringan opini, dan kong-kalikong antar pemain demi kesepakatan-kesepakatan politik yang menguntungkan kedua belah pihak. Belum tentu kesepakatan itu menguntungkan rakyat.

Daftar pemilih yang banyak, wilayah yang luas, kondisi geografis yang heterogen, teknologi yang masih manual menjadi deretan panjang penyebab sulit dan rumitnya pelaksanaan pemilu dalam demokrasi. Tak ayal, Pemilu adalah hari raya demokrasi yang melelahkan sekaligus mahal. Meski tinggi, biaya pemilu 24 triliyun masih ditambah lagi biaya sosial dan politik bangsa dengan adanya ratusan jiwa melayang, moral integritas dipertaruhkan, dan perpecahan berkembang. 

Demi apakah semua itu diupayakan? Jawabannya untuk merealisasikan jargon demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Inilah asal muasal pemilu berubah rasa menjadi bencana bagi sebuah bangsa. Sebuah konsep yang salah sejak mula. Menuhankan rakyat adalah awal petaka demokrasi sejak dilahirkannya.


Bagaimana memilih pemimpin dalam Islam?

Islam tidak mengharamkan pemilu untuk memilih pemimpin dan wakil yang dikehendaki rakyat. Hanya saja, karena pemilu adalah cabang sebuah sistem politik pemerintahan, maka ia tak akan lepas dari aturan-aturan Islam lain yang ada dalam sistem tersebut. Lebih utama lagi, pemilu dalam Islam dilandasi konsep mendasar ketaatan kepada tuhan yang sebenarnya, Allah.

Pemilu dalam Islam dilakukan untuk memilih pemimpin negara, yakni khalifah, yang akan melaksanakan hukum syara terhadap warga negara. Pemilu memilih wakil dilaksanakan untuk memilih representasi rakyat dalam rangka check and balance terhadap tugas khalifah (Abdurrahman, 2018). 

Pemilu memilih khalifah hanya dilakukan setelah khalifah wafat, hilang salah satu syarat menjadi khalifah dalam dirinya, serta diberhentikan Mahkamah Madzalim akibat kezalimannya menetapkan aturan selain dari Allah.  Pemilu menjadi agenda insidental bukan rutinan. Ditambah lagi, proses pemilihan khalifah tidak boleh lebih dari 3 hari. Dengan demikian tidak ada ruang pencitraan dan perencanaan strategi politik curang. Sangat berbeda dengan demokrasi yang menetapkan masa jabatan. Pemain politik dapat merencanakan tak tik dan manipulasi memenangkan pemilu agar dapat berkuasa.

Secara teknis, calon khalifah ditentukan oleh Mahkamah Madzalim berdasarkan syarat-syarat menjadi khalifah yaitu laki-laki, baligh, berakal, merdeka, muslim, adil, dan mampu. Calon-calon ini kemudian dibatasi enam orang oleh Majelis Umat. Diseleksi lagi hingga mengerucut dua orang kandidat. Demikianlah yang dicontohkan para sahabat dalam memilih pengganti Umar bin Khatab hingga mengerucut kandidat Usman dan Ali.

Adapun teknis memilih wakil rakyat dalam Majelis Umat dilaksanakan secara berjenjang. Maksudnya, rakyat memilih wakil dalam Majelis Wilayah orang-orang yang merupakan tokoh dalam komunitasnya dan representasi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Majelis Wilayah inilah yang akan melanjutkan pemilihan anggota Majelis Umat di tingkat pusat. Pemilu semacam ini sangat hemat meskipun dilakukan secara rutin setelah lima tahun masa jabatan majelis umat berakhir.

Perlu dipahami, pengangkatan khalifah hukumnya fardhu kifayah. Tidak harus dipilih langsung oleh semua rakyat. Maka sah-sah saja Majelis Umat yang memilih dan mengangkat khalifah. Dengan demikian fardhu kifayah pengangkatan khalifah terpenuhi. Selanjutnya dilakukan bai’at in’iqod oleh Majelis Umat dan seluruh rakyat wajib bai’at taat.

Ringkasnya, pemilu dalam Islam berlangsung cepat dan sederhana. Stabilitas negara dapat dijaga. Tak memakan banyak biaya apalagi nyawa.

Wallahu 'alam bi ash-showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post