Korupsi Buah Penerapan Demokrasi Yang Rusak dan Bathil

Penulis : Ilma Kurnia P, S.P 
(Pemerhati Generasi)

Berita dikabarkan heboh dengan tertangkapnya seseorang anggota partai politik dalam  kasus korupsi. Dikutip dari laman detiknews.com (17/03/ 2019) bahwa Kementerian Agama (Kemenag) kembali didera skandal korupsi jual beli jabatan lewat Ketum PPP Romahurmuziy (Rommy). 

Prof Hibnu Nugroho menyerukan perubahan radikal di lembaga berslogan 'Ikhlas Beramal' itu. Dalam catatan yang dikuti skandal korupsi tidak hanya dilakukan elite pejabatnya, tapi hingga tingkat bawah. Romy yang menjadi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menjadi ketua umum partai kelima yang dijerat KPK dalam kasus korupsi. Sementara itu empat ketua umum lainnya berasal dari Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan. Kini Romy menambah daftar politisi Indonesia dan ketua umum partai yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi. KPK mengumumkan penetapan tersangka terhadap anggota DPR itu. Romahurmuziy menjadi Ketua Umum Partai kelima yang dijerat KPK. Dalam kasus ini, Romy diduga sudah menerima uang dengan total Rp 300 juta dari dua pejabat Kementerian Agama di Jawa Timur. 

Mereka adalah Kepala Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin dan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muafaq Wirahadi. Dalam keterangan resminya, KPK menyebut kesulitan ‘hidup’ parpol itu mengakibatkan partai politik bergantung pada para ‘pemilik modal’ demi membiayai organisasinya. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata pun mengatakan bahwa selama ini, hampir 80% kasus yang ditangani KPK terkait dengan tokoh partai politik. 

Lagi – lagi kasus korupsi akan terus terjadi inilah fakta politik dalam demokrasi. Betapa besar mahar yang harus dikeluarkan untuk bisa menjabat sekedar kepala daerah atau DPRD. Biaya politik yang mahal menjadikan mereka menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan uang demi pembiayaan partai politiknya. Sungguh tragis, Jika mereka akhirnya terpilih menjadi DPRD ataupun kepala daerah bahkan kepala negara bisa dipastikan akan banyak upaya untuk mengembalikan uang yang sudah mereka keluarkan di masa kampanye. 

Maka tak heran jika korupsi menjadi salah satu jalan pilihan bagi politisi ini. Bagaimana bisa tugas mereka sebagai pelayan rakyat bisa berjalan secara optimal? Inilah ironi perpolitikan di era demokrasi. Politik yang harusnya adalah aktivitas untuk mengurusi urusan rakyat, akhirnya hanya sekadar pepesan kosong. Tak sedikit politisi negeri ini yang awalnya nampak memiiki keimanan dan keterikatan kepada hukum syariat Allah SWT, nyatanya tergerus juga dengan budaya korupsi. 

Semua ini akibat diterapkannya sistem kapitalis menjadikan standar perbuatan adalah manfaat semata, hal ini menjadikan orang-orang hidup hanya berorientasi mendapatkan materi (uang) yang sebanyak-banyaknya tanpa melihat halal dan haramnya.  Sistem politik dalam demokrasi juga menuntut mahar yang sangat mahal sehingga untuk mendapatkan pendanaan yang besar, banyak dari politisi mengambil peluang dari korupsi. 

Hal ini adalah akar masalah pokok mengguritanya korupsi di negeri ini. Solusi terbesar agar korupsi tidak terus berlanjut pastinya adalah dengan meninggalkan sistem kapitalis-demokrasi. 

Karena Islam sebagai agama yang sempurna harusnya menjadi pilihan utama untuk menjalakan sistem perpolitikan di negeri yang mayoritas muslim ini. Demokrasi dengan budaya korupsinya seharusnya menjadi satu pelajaran yang menjadikan kita semakin yakin untuk meninggalkan sistem rusak ini. Karena, hal ini akan sangat berbeda ketika Islam menjadi sistem yang menaungi negeri ini. Dalam Islam, Partai politik memiliki peran yang jelas.Peran ini bukan untuk kekuasaan, tetapi memiliki peran untuk memastikan bahwa setiap urusan dan permasalahan rakyat bisa terselesaikan dengan Islam. 

Mereka yang terjun dalam partai politik bukan karena dorongan untuk meraih kekuasaan, tetapi didorong oleh landasan aqidah mereka yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar di tengah-tengah umat. Begitu pula seseorang yang diberikan amanah di dalam pemerintahan, harus faham bahwa kekuasaan ini adalah amanah yang sangat besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Sehingga mereka bukan bekerja untuk kesenangan diri atau golongan mereka, tetapi sejatinya sebagai pelayan rakyat semata. Wallahu A’lam bi Shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post